Pokok-pokok mazhabnya dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (i) Al-Qur'an dan Al-Sunnah; (ii) Ijma’; (iii) Atsar Sahabat; dan (iv) Qiyas (analogi). Pemikiran fiqih ini banyak dianut di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Hanbali. Tokoh terkemuka lainnya dalam bidang hukum Islam adalah Ahmad bin Hanbal (781-855 M) sebagai peletak dasar mazhab Hanbali.
Pada masa perkembangannya, dia mendapati adanya dua metode studi ilmu syariah, yakni metode fikih dan metode hadits. Mazhabnya banyak dianut oleh penduduk Arab Saudi yang berdiri di atas fikih sunnah.
Dasar-dasar pemikirannya sebagai berikut: (i) Al-Nusus. Dalam pandangan Ahmad, nash Kitab dan Sunnah berada dalam tingkatan yang satu, tetapi dengan tingkat kehujjahan yang berbeda dimana sunnah berada sesudah Kitab. Bandingkan dengan pandangan al-Syafi’i sebelumnya; (ii) Fatwa sahabat; (iii) Hadits mursal dan dha’if adil. Beliau menerima mursal baik sahabat maupun bukan. Demikian pula halnya hadits dhaif diterima sebagai dalil jika memang tidak ada riwayat lain dalam hal tersebut termasuk fatwa para sahabat. Tetapi, dhaif di sini tidak dalam pengertian batil atau munkar atau dalam riwayatnya ada perawi yang muttaham. Jadi dalam tipologi dan kategori Ahmad, hadits hanya ada dua, yaitu hadits sahih dan dhaif. Dhaif dalam tipologinya sejajar dengan hasan. Menurutnya: Al hadithu dha’ifi ihabbu ila minal ra’yi (Hadits lemah lebih aku sukai daripada ra’yu (opini); dan (iv) Al-Qiyas (analogi). Metode ini digunakan dalam keadaan terpaksam jika sumber-sumber hukum sebelumnya tidak membicarakan persoalan tersebut.
Pada pertengahan abad ketiga hijriyah atau akhir abad ke-9 M, dimana fenomena mazhab dan aliran fikih telah terbentuk dan berkembang dalam komunitas umat Islam.
Sementara, pemikiran ilmiah tampak mengarah pada kritik dan kodifikasi hadits. Kecenderungan tersebut ditandai melalui karya-karya besar yang belakangan dikenal dengan istilah al-kutub al-sittah (enam kitab hadits) karya para tokoh dari periode tersebut, yaitu: Bukhari (w. 870 M), Muslim (w. 875 M), Ibn Majah (w. 877 M), Abu Daud (w. 889 M), al-Tarmizi (w. 892 M), dan al-Nasa'i (w. 915 M).
Pemikiran Filsafat
Al-Kindi. Tokoh muslim pertama yang dikondang dalam bidang pemikiran filsafat adalah Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak al-Sabah al-Kindi (796-873 M).
Dari berbagai tulisannya nampak bahwa corak pemikirannya bersifat eklektik, yakni memadukan berbagai aliran pemikiran yang beragam. Baginya, “Filsuf adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya.” Jadi, filsafat baginya mencakup teori sekaligus praktek.
Di bidang metafisika atau 'filsafat pertama', al-Kindi mengembangkan pemikiran tentang “Kebenaran Pertama” (First Verum atau al-Haq al-Awwal), yaitu Tuhan Pencipta alam semesta yang dibuktikannya melalui penalaran filosofis menjadi Sebab Pertama (prima causa) bagi tiap-tiap kebenaran yang ada.
Hakikat (esensi) Tuhan, Allah yang memustahilkan manusia untuk memahami-Nya sepenuhnya. Teknik metodologis yang dipakai untuk mengulas hal ini sering memakai pelukisan mirip via negativa-nya Philo. Tuhan dijelaskannya sebagai keesaan mutlak yang bersifat azali dalam dzat dan sifatnya, tidak berjisim (tubuh lahiriah), tidak bergerak, tetapi menggerakkan (Immovable Mover, Ex Machina). Dia bukan benda, bukan bentuk (form), bukan pula kejadian (accident atau aradl) dan tidak dapat tersifati dengan sebenarnya oleh kemampuan pikiran manusia.