Ibnu Arabi. Dia bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn 'Ali al-Khatami al-Tha'I al- Andalusi (1165-1240 M).
Dia Timur, dia dikenal sosok sufi kenamaan dengan sebutan Ibn Arabi. Di Barat, dia dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), Muhyiddin, bahkan Neo Plotinus.
Dalam pemikiran Ibnu Arabi, bahwa Allah adalah Al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah (ide Allah). Inilah yang membawanya kepada sebuah simpulan yang menyatakan bahwa alam adalah esensi dari Tuhan itu sendiri.
Teori wihdat al-wujud (unity of existence, kesatuan wujud) menegaskan bahwa berbagai bentuk dalam wujud ini pada esensi merupakan substansi wujud Tuhan yang tunggal.
Di sini, Ibnu Arabi membedakan dua pengertian tentang al-Haq: (i) al-Haq fi Dzatih, yakni hakikat mutlak yang transenden; (ii) al-Haq yang bertajalli ke dalam wujud dan dapat ditangkap alat indera manusia sehingga identik dengan makhluk. Lalu, hakikat wujud mempunyai dua sisi. Dari segi dzatnya Dia eka, tetapi dari segi tajallinya Dia aneka.
Prinsip tesisnya adalah bahwa “tidak ada dalam wujud kecuali Allah,” (negasi dan afirmasi, meniadakan dan menegaskan). Seperti ungkapan faman kana wujuduhu bighairihi fahuwa fi hukm al-adam (siapa yang berwujud karena wujud yang lain, maka di sejatinya termasuk tidak ada). Jadi, terdapat kesatuan antara tasybih dan tanzih yang transenden sekaligus imanen dalam konteks. Begitulah yang dikenal sebagai prinsip coincidentia oppositorium atau al-jam’ bayn al-‘adad yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan ontologisme antara yang tersembunyi (al-batin) dan yang manifes (al-zahir), antara yang satu (al-wahid) dan yang banyak (al-katsir).
Konsep sentral dari teori wahdat al-wujud Ibn Arabi adalah tajalliyat al-Haq, yakni menampaknya diri Allah melalui penciptaan alam. Kata jalli dalam sitilah Ibnu Arabi identik dengan konsep faydh (emanasi, pelimpahan).
Konsep dasar inilah yang secara ontologis menghubungkan antara khalik dengan makhluk, yakni yang satu menjadi banyak. Zat Allah yang asli tetaplah azali dan transenden secara absolut. Dalam tajallinya, Ibnu Arabi membedakan antara: (i) tajalli dzati, yakni penampakan diri esensial atau penampakan pada dirinya sendiri dan (ii) tajalli suluqi atau penampakan Allah dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas dalam alam wujud yang konkrit.
Adapun ritual yang paling utama untuk mencapai taraf ini adalah dengan berkhalwat. Dia percaya bahwa seseorang yang berlatih secara benar, disiplin, dan intensif, maka, dia bisa wusul bertemu atau bersambung pada Allah. Puncaknya adalah pencapaian pengetahuan dan kebenaran sejati dengan Tuhan. Seseorang sudah sampai pada tingkat spiritualitas ini dipercaya mampu menembus hijab (tabir) yang selama ini membatasi antara Allah dengan hambanya melalui mata hati (ain bashirah). Bila ini tercapai kesatuan esensi dan rasa seakan telah berakar, dimana dia menjadi anda dan anda menjadi dia.
Sejarah pemikiran menjadi titik tolak perubahan dan pengulangan. Perubahan menandakan perbedaan. Pengulangan berbeda dengan perubahan. Zaman sudah berubah. Pemikiran baru akan dinantikan saat zaman sudah berganti. Titik tolaknya dari sejarah pemikiran.