Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik dalam tiga macam, yaitu: (i) makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (ii) mahabbah (jalan cinta, pengorbanan, dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabi’ah al-Adawiyah); (iii) ma’rifah (jalan pengetahuan). Menurutnya, ma’rifah adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Tuhannya, maka semakin pula dia dekat, khusyu, dan mencintai-Nya. Hakikat ma’rifat bagi Dzun al-Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Al-Haq (Truth) adalah cahaya mata hati seorang arif dengan anugerah dari-Nya, yang sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifat, sosok arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab).
Dzun Al-Misri membagi ma'rifat menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, Ma’rifat al-tauhid. Doktrin bahwa seorang beriman bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah diaterima. Kedua, Ma’rifat al-hujjah wa al-bayan. Ia adalah ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar, dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argumen penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut. Ketiga, Ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardhiyah. Ia adalah ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Tuhan dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati, bukan akal.
Al-Bustami. Sosok al-Bustami adalah orang pertama yang memakai istilah fana’ sebagai kosakata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme Hindu-Budha.
Sehingga konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya mencapai ekstase (fana’), dimana terjadi penyatuan antara “yang mendekat” (muraqib, yakni sufi) dan “Yang Didekati” (muraqab, yakni Allah). Nah, pada konteks ini diketahui bahwa Bustami memilah antara konsep ibadah dan ma’rifat, dimana ahli ibadah (ritual normatif) dipersepsikan sebagai sosok yang jauh untuk bisa meraih ma’rifat (tingkat spiritualitas hasil pendakian sufistik).
Menurut Harun Nasution, bahwa ittihad (yang menjadi teori sentral dari al-Bustami) tampak sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu pada yang lainnya bisa saling berseru: “Hai aku!” (Ya ana!).
Konsep fana' sebenarnya memiliki beberapa pemaknaan yang bisa diikhtisarkan sebagai berikut: (i) ungkapan majazi bagi penyucian jiwa dari hasrat-hasrat keduniawian; (ii) pemusatan akal untuk berfikir tentang Allah semata dan bukan selainnya; (iii) peniadaan secara total kesadaran atas eksistensi diri dengan meleburkan kesadaran dalam eksistensi Tuhan semata.
Inilah yang disebut sebagai fi al-fana’ fana’ (“peniadaan dalam peniadaan”) atau baqa’ fi Allah (menyatu dalam Tuhan).
Al-Junaid. Di adalah sosok yang bernama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Nehawandi al-Baghdadi. Dia dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan istilah-istilah dari Al-Qur'an. Dia digelari sayyid al-taifah dan juga tawus al-ulama’ (burung merak para ulama). Dia menjadi sosok teladan dalam dunia kesufian.
Mazhab tasawawufnya dikenal terikat kuat dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Wacana cinta mistiknya senantiasa menuju pada “ketenangan jiwa” (sahw) sebagai kontra wacana dari praktik kesufian yang berciri kemabukan (sukr).
Menurutnya, fana’ hanyalah sarana menuju baqa’. Jika fana’ menimbulkan perasaan bersatu dengan Allah karena peleburan sifat diri manusia, maka baqa’ adalah perpisahan dari perasaan itu untuk kembali menjadi hamba Allah. Karena itu, tidak ada yang lebih baik dan menyenangkan daripada menjadi hamba Allah di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Jadi, ada pengandaian keterjarakan kembali. Acapkali fana' itu prosesnya teramat panjang sehingga ada yang menyebutnya sebagai fana al-fana’. Kaum malamatiyah (aliran sukr) kerap berhenti di fana’, dimana fenomena syatahat sering terjadi. Mereka bukannya meneruskan pada baqa’.
Al-Hallaj. Pernah dengar tokoh sufi paling kontroversial sejagat? Dia adalah Mansyur al-Hallaj.