"Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang benar?" Aditya merenung keras-keras, menelusuri tepi cangkirnya, porselennya menempel halus di kulitnya.
"Kau harus mendengarkan dengan hati-hati, Adit," saran Lilis sambil mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilat-kilat karena kesungguhan. "Prioritasmu adalah keseimbangan, bukan?"
"Ya, tapi bagaimana jika keputusanku mengecewakan mereka yang kupedulikan?" Suaranya hanya sekedar bisikan, hilang di tengah denting sendok dan gumaman pengunjung lain.
"Ada pepatah lama," sela Siti Aisyah sambil menyeruput kopinya dengan penuh pertimbangan. "Udara bisa dibuat, tetapi hati nurani lebih sulit untuk diabaikan."
"Kamu harus mengajar mereka mengerti pilihanmu," Lilis menyemangati, menyelipkan seikat rambut ke belakang telinganya. "Waktu bersama keluarga dan teman itu berharga. Mereka akan melihatnya."
"Jadi, bagaimana aku memulainya?" Aditya bertanya, konflik berputar-putar di dadanya seperti susu di latte-nya.
"Mulailah dengan hal-hal kecil," saran Siti Aisyah. "Misalnya, tetapkan batas waktu kerjamu. Katakan tidak ketika perlu."
"Dan jangan lupa untuk terus meluangkan waktu untuk diri sendiri juga," tambah Lilis. "Itu bukan egois, itu esensial."
"Terima kasih," kata Aditya, hatinya sedikit lebih cerah, tawa kecil keluar dari dirinya saat dia membayangkan menjelaskan kepada atasannya tentang berangkat tepat waktu untuk 'me-time'. "Aku akan mencobanya."
"Kita ada di sini untukmu, Adit," Lilis meyakinkannya sambil meremas bahu Adit sebentar---sentuhan yang sama menenangkannya dengan pelukan hangat minuman favoritnya.
"Ingatlah bahwa setiap langkah yang kamu ambil adalah pembelajaran," Siti Aisyah menyampaikan dengan anggukan penuh pengertian. "Kamu tidak sendiri dalam perjalanan ini."