Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #11

15 Januari 2024   15:48 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:02 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ngopi bareng ibu di akhir pekan," renungnya sambil membayangkan hangatnya berbagi cerita sambil menikmati secangkir kopi aromatik. "Dan makan malam bersama teman-teman setidaknya sekali dalam sebulan."

Hatinya membengkak memikirkan hal itu, ruang batinnya dipenuhi dengan montase wajah tersenyum dan denting gelas---sebuah harmoni hubungan pribadi yang telah dikesampingkan.

"Satu langkah pada satu waktu," bisiknya pada dirinya sendiri, menyadari bahwa integrasi perubahan-perubahan ini akan terjadi secara bertahap, sebuah tarian yang lambat, bukan lari cepat yang tergesa-gesa.

Malam semakin larut, menimbulkan bayangan di ruang tamunya, dan Aditya bangkit untuk menyalakan lampu. Cahayanya menyinari ruangan dengan rona emas, cahaya yang melambangkan jalan yang dia ukir untuk dirinya sendiri.

"Adit, kamu bisa melakukannya," dia menegaskan, merasakan beban ekspektasinya menjadi lebih ringan seiring dengan setiap kata yang diucapkan. Bayangannya di jendela mengangguk ke arahnya, sebuah perjanjian diam antara dirinya yang dulu dan orang yang ingin dia jadikan.

"Seimbang seperti rasa kopi pahit dan manis yang berpadu sempurna," tutupnya, senyuman tersungging di bibirnya, saat ia membayangkan hari-hari ke depan---hari-hari yang penuh dengan tindakan penuh tujuan dan jeda yang disengaja, sebuah kanvas menunggu warna-warni kehidupan yang seimbang.

Dengung detak jantung kota memudar menjadi gumaman jauh saat Raden Aditya Wirawan melangkah memasuki kesunyian kedai kopi, tempat refleksi dirinya. Aroma biji kopi yang baru digiling menyelimutinya, menenangkan badai yang muncul di dalam dirinya.

"Adit," panggil Lilis dari balik meja kasir, senyum hangatnya melengkung seperti uap dari cangkir panas. "Kelihatannya kamu sedang banyak pikiran."

"Benar, Lil," desahnya, lalu duduk di kursi favoritnya, kursi kulit usang itu mengikuti bentuk tubuhnya yang familiar. "Saya merasa berat memikirkan harapan orang lain dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat."

"Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang," jawab Lilis sambil menggeser latte yang dibuat dengan cermat ke seberang meja, buihnya berputar-putar dengan indah.

"Memang," sela Siti Aisyah, suaranya yang lembut terdengar di sela-sela obrolan toko. Dia duduk di sampingnya, tangannya yang sudah tua memegang secangkir kopi hitam tradisional. "Tapi kamu harus ingat, kebahagiaanmu juga penting."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun