Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #11

15 Januari 2024   15:48 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keseimbangan tidak ditemukan begitu saja," bisik Aditya dalam hati, pena sudah siap di atas kertas. "Itu tercipta. Dibuat. Hidup."

Dan dengan itu, dia mulai menulis, tinta mengalir ke halaman itu dengan bebas sesuai dengan komitmennya terhadap kehidupan yang dia pilih---satu momen yang indah dan penuh makna.

Aroma biji kopi yang baru digiling tercium di udara, simfoni pahit-manis yang mengalun mengikuti irama hati Aditya. Dia duduk di kafe favoritnya, menimang cangkir hangat di antara kedua telapak tangannya, mengamati uap yang membentuk pola ular di depannya. Di sini, ia menemukan pelipur lara---perlindungan sementara dari hiruk-pikuk harapan dan tanggung jawab yang menunggu di luar.

"Raden Aditya Wirawan," panggil barista itu dengan anggukan hormat sambil meletakkan cangkir lagi di meja kasir. "Espresso seperti biasa."

"Terima kasih," jawab Aditya sambil menyunggingkan senyuman kecil yang tak sampai ke matanya. Dia menyesapnya, rasa yang kuat membawanya kembali ke masa sekarang.

"Sepertinya kamu sedang bergulat dengan pikiran berat di sana," kata Agnes sambil duduk di kursi di seberangnya. Pengamatannya yang tajam diperlunak oleh nada main-main dalam suaranya.

"Ah, itu hanya tarian biasa antara aspirasi dan kewajiban," renungnya sambil meletakkan cangkirnya dengan penuh pertimbangan.

"Masih berusaha menemukan keseimbanganmu?" Fajar ikut bergabung, pertanyaannya lebih merupakan pernyataan pengertian dibandingkan rasa ingin tahu.

"Selalu," aku Aditya, pandangannya beralih ke jendela tempat tetesan air hujan saling berkejaran di kaca. "Tetapi saya belajar untuk terombang-ambing oleh angin daripada berdiri kaku melawannya."

"Kedengarannya puitis, tapi praktiknya seperti apa?" desak Agnes, pikiran analitisnya mencari contoh nyata.

"Ini soal pilihan secara sadar," jawabnya, jari-jarinya mengetuk meja dengan irama yang tidak menentu. "Mengatakan 'tidak' ketika pekerjaan menuntut terlalu banyak waktu untuk menjauh dari minat saya. Mengatakan 'ya' pada momen-momen yang memenuhi saya, meskipun hal itu tampak tidak penting bagi orang lain."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun