Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #11

15 Januari 2024   15:48 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aditya duduk di kursi berlengan, derit lembut kulit memeluknya seperti seorang teman lama. Saat dia menyesap kopinya, pikirannya melayang kembali ke beberapa minggu yang lalu. Kemenangan-kemenangan kecil tampak terpatri dalam ingatannya: keberhasilan delegasi sebuah proyek di tempat kerja, menolak jam kerja tambahan yang mengganggu waktu pribadinya, mendedikasikan malam hari untuk berjalan-jalan santai di taman kota tempat simfoni alam dimainkan hanya untuknya.

Dia tersenyum tipis, menyadari dampak positif keputusan ini terhadap kesejahteraannya. Ada rasa ringan yang baru ditemukan dalam langkahnya, kejernihan dalam pikirannya. Dia hampir bisa mendengar suara Agnes, kebijaksanaannya merupakan dorongan lembut yang membimbingnya sepanjang jalan ini.

"Kenikmatan sederhana," dia mengingatkan dirinya sendiri, sambil menikmati tetes terakhir kopinya. "Itu adalah sapuan kuas dari sebuah mahakarya yang lebih besar."

Belakangan, saat Aditya berjalan melewati koridor ramai di tempat kerjanya, hiruk-pikuk dering telepon dan rekan-rekan yang berceloteh menarik perhatiannya. Kotak masuknya berupa panggilan sirene, email-email yang menumpuk seperti pegunungan digital yang menunggu untuk ditingkatkan. Suara Rizky membelah dengungan, mercusuar godaan.

"Adit, ayolah. Kami membutuhkanmu untuk yang satu ini. Hanya beberapa jam tambahan malam ini. Bagaimana?"

Aditya terdiam, tangannya melayang di atas mouse. Dia merasakan tarikan, keinginan untuk kembali ke pola lama, untuk membuktikan nilainya melalui kerja keras yang tiada henti. Namun kemudian, ia teringat akan ketenangan malam yang tenang itu, perbincangan mendalam dengan Siti Aisyah dan Lilis yang menyegarkan jiwanya.

"Terima kasih sudah memikirkanku, Rizky," jawab Aditya dengan ketenangan yang ia perjuangkan, "tapi aku sudah membuat komitmen untuk malam ini. Aku percaya tim bisa bertahan tanpa aku."

Alis Rizky berkerut bingung, namun ia mengabaikannya dan berbalik. Aditya memperhatikannya pergi, merasakan gelombang kelegaan bercampur kebanggaan. Itu adalah kemenangan kecil lainnya, penegasan lain bahwa dia mampu menjunjung tinggi batasan yang telah dia tetapkan untuk dirinya sendiri.

Kembali ke mejanya, dia mengeluarkan buku catatan, halaman-halamannya berisi refleksi dan aspirasi. Saat membalik-baliknya, dia menemukan kutipan dari mentor mereka yang dia tulis beberapa bulan lalu:

"Kenikmatan hidup yang sederhana adalah mata uang dari jiwa yang seimbang."

Hatinya membengkak karena kebenaran kata-kata itu. Ini adalah kompasnya, yang menunjuk ke utara sebenarnya. Dengan setiap tantangan, setiap momen godaan, dia merasa lebih kuat, lebih selaras dengan keseimbangan rumit yang dia cari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun