Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #11

15 Januari 2024   15:48 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:02 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Benar-benar?" Fajar mengangkat alisnya. "Itu... mengejutkannya Zen dari dirimu."

"Mencoba pendekatan baru," aku Aditya sambil tersenyum kecil. "Stres tidak menghasilkan kopi yang baik, juga tidak menghasilkan keputusan yang baik."

"Justru wajar," Fajar mengakui sambil mengangguk pelan. "Saya akan memberi tahu tim."

"Terima kasih." Aditya melihat Fajar pergi, merasakan ketegangan sedikit mereda. Dia kembali ke mejanya, mengabaikan lampu pesan suara yang berkedip. Sebaliknya, dia membuka kalendernya dan mulai memblokir waktu---sebagian waktunya didedikasikan untuk refleksi, berolahraga, dan malam hari bebas dari pekerjaan. Dia menanam benih untuk taman ketenangan di tengah kekacauan.

Dia kemudian menulis pesan kepada Agnes, meminta nasihatnya dalam menjaga keseimbangan yang rumit ini. Jawabannya datang dengan cepat, setiap kata merupakan benang yang menjalin kekuatan dalam tekadnya.

"Pertahankan arahmu, Aditya," sarannya. "Angin mungkin menderu-deru, tapi kompasmu mengetahui arah utara yang sebenarnya. Percayalah."

"Terima kasih, Agnes," dia mengetik kembali, senyum penuh syukur tersungging di bibirnya. Dukungannya bagaikan mercusuar di tengah lautan keraguan.

Dengan tekad yang mengalir di nadinya, Aditya akhirnya mengangkat telepon, siap menghadapi perbincangan yang penuh gejolak di masa depan. Setiap keputusan, setiap batasan yang ditetapkan, merupakan satu langkah lebih dekat pada harmoni yang ia cari. Perjalanannya akan panjang, penuh dengan saat-saat goyah, tapi dia bertekad.

"Aditya Wirawan ngomong," katanya ke gagang telepon, rasa kopi masih melekat di lidahnya---sebuah pengingat halus bahwa meski pahit, ada manisnya yang bisa dinikmati.

Aroma biji kopi yang baru digiling tercium di apartemen Aditya saat matahari pagi mengintip melalui celah tirai, menampilkan tarian geometris cahaya dan bayangan di seberang ruangan. Dia berdiri di meja dapur, jari-jarinya dengan cekatan menangani pers Prancis dengan kemudahan yang dihasilkan dari latihan pagi yang tak terhitung jumlahnya. Cairan kental berwarna gelap dituangkan ke dalam mug keramik favoritnya---desainnya sederhana namun tetap memberikan kenyamanan seutuhnya.

"Setiap tegukan adalah pengingat," gumamnya pada dirinya sendiri, merasakan kehangatan meresap ke telapak tangannya. "Kesabaran, kehadiran."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun