"Karina itu cinta pertamaku. Duluuu ... kami hampir tak bisa dipisahkan satu sama lain," suara Abram terdengar mengambang.
"Saat reuni, aku baru tahu bila Karina sudah menjanda. Lebih dari tiga tahun. Kawan kawan sibuk 'menjodohkan' kami kembali. Mereka ... mereka tak mau mendengar protesku."
"Lalu?"
"Karina pernah curhat padaku. Curhat tentang beratnya hidup yang harus dia hadapi. Sendirian. Predikat janda yang disandangnya, membuatnya tak leluasa mencari nafkah."
Tak ada reaksi berlebihan dari Amel. Ia masih memandangi Abram, yang tengah berusaha keras untuk meneruskan kisahnya.
"Aku ... Aku pernah tergoda untuk menjadikannya ... istri. Ia sehat, anak semata wayangnya cakep, berkulit bersih seperti ibunya.
Abram menghentikan ceritanya saat melihat air mata mengalir di pipi istrinya.
"Teruskan, Kamas. Aku menunggu ...," serak Amel.Â
Ia berusaha menahan isaknya.
"Maafkan aku, Yaang. Aku .. Aku ...," Abram kehilangan kata-kata.
Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir kemarahan yang hampir diletupkannya di hadapan Abram. Sudah lama ia menunggu suaminya membicarakan persoalan ini. Menunggu penjelasan duduk perkara sebenarnya.