"Ssshhh ... Jangan diteruskan," sergah Abram.
"Tidak, Kamas. Penerimaan Kamas atas kekuranganku, menutupinya dari seluruh keluarga besar dengan kebesaran hati, menenangkan ibu dengan jawaban yang menyejukkan rasa ... Â itu lebih dari cukup, untukku. Aku tahu diri, Kamas."
"Lalu?"
"Aku sudah memaafkanmu, Kamas. Sejak lama. Sejak kutemukan chat itu di ponselmu tahun lalu".
"Ameeell."
"Yaaa. Aku menyadari, setiap pria ingin membuktikan bahwa dirinya mampu membuahi benih, mampu meneruskan keturunan sejak dirinya menikah. Kamas tahu kan, olok-olok mandul itu hampir hampir tak pernah dituduhkan pada pria?" tanya Amel.
Abram mengangguk. Mereka pernah membahas hal itu di tahun ketiga pernikahan.
"Kalau pun, Kamas akhirnya pengin juga mewujudkan pembuktian bahwa Kamas mampu, aku sangat ... sangat mengerti...," helaan nafas Amel terdengar amat memilukan.
"Selama bertahun-tahun, rumah kita sepi dari riuh rendah tawa dan tangisan anak-anak. Kalau pun ada beberapa keponakan, itu tak berlangsung lama. Hanya sehari dua ... Selebihnya, mereka akan pulang bersama orang tua masing-masing."
Dengung suara AC terdengar seperti tangisan hati. Pelan. Tajam menusuk.
"Kamas menginginkannya, kan? Bisa menimang buah hati sendiri, bukan pinjam?" kali ini senyum Amel terlihat. Letih.