Sejujurnya, Abram sangat ingin mengangguk. Meng-iya-kan pertanyaan Amel barusan.Â
Ia sungguh merindukan buah hati. Rengekannya, tawa cerianya, tatapan mata polosnya ... suatu hal yang hanya mampu dibayangkannya, hanya sempat diangankannya saja.
Ia tak pernah tega mengungkapkan keinginannya pada Amel. Sejak operasi pengangkatan kista yang membengkak di indung telur istrinya itu, hingga berujung pada pengangkatan rahim. Agar nyawa Amel tertolong.Â
'Bagaimana harus menjawabnya? Apakah aku harus jujur, mengatakan apa yang kumaui? Nanti ... nanti aku melukai hatinya. Tapii ... kalau aku bohong, suatu saat nanti pasti akan terbongkar', batin Abram.
"Kamas, kok diam?"
Kelam sorot mata Amel seolah sembilu yang mencabik-cabik hati Abram.Â
Tak henti-hentinya ia merutuki dirinya sendiri, kenapa mudah sekali tergelincir oleh pesona masa lalu.
'Bodohnya aku ... bodoh ... bodoh!' gerutunya dalam hati.
"Yaang, bagaimana harus kujawab pertanyaanmu?" keluhnya.Â
"Kalau aku jujur, aku takut kau akan terluka. Kalau pun aku bohong, pasti kau akan jauh lebih sakit karena kubohongi?'
"Jujurlah, Kamas. Aku sudah siap mendengar apapun. Tak akan mengubah sikapku. Tak akan kutarik lagi ucap maafku." Â