Wajah Amel seketika berubah mendung, matanya berlinangan.
"Yaang, beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Selama ini ... selama ini ... kau hanya diam. Kenapa?"
Abram menghela nafas.
"Aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Kinanti ... meski dia bisa memberiku ... keturunan. Seperti yang kuidamkan selama ini," suara Abram hampir saja tak terdengar.
"Bagaimana pun, kita sudah pernah saling berucap janji. Dalam senang, dalam susah, kita akan selalu bersama-sama. Saling bergandeng tangan, menghadapi semuanya, berdua." Suara Abram makin tercekat.
Ia berusaha keras untuk tidak menangis.
Yaa, menangis. Ia menyesali kebodohannya sendiri, gampang tergoda. Oleh seorang teman lama, teman yang tak lagi dijumpainya dalam waktu lama.
Dipeluknya tubuh ringkih itu makin erat, seolah ingin memindahkan segala rasa gundah hati Amel ke dalam hatinya sendiri.
Ia tahu, kenyataan ini akan sangat mengguncang perasaan Amel. Ia yang cacat, ia yang berkekurangan. Ia tak mungkin lagi memberinya keturunan.
"Kenapa, Kamas?" tanya Amel, patah.
"Bukankah Kamas sangat menginginkan keturunan? Lalu ... kenapa Kamas?" parau dan tercekat suara Amel. Ia hampir hampir tak bisa menguasai diri.