Abram mati kutu. Sungguh, hal hal kecil seperti itu tak dipikirkannya lebih dulu. Ia seakan lupa, Amel adalah pribadi yang teliti, cermat dan cenderung perfeksionis.
Ia menepuk jidat. Menyesali kebodohannya sendiri.
~.~.~.~.~.~.~
 "Amel, kau masih ingat Kiran? Temen kuliah dulu yang sering kau titipi pesan untukku?" tanya Abram, hati-hati.
"Kiran? Yang mana? ... Yang giginya gingsul, pipinya 'dekik' sebelah?" sahut Amel, sambil mengingat-ingat.
"Iyaa ... Kau sering memanggilnya 'gingsul', jawab Abram. Kelegaan terpancar di wajahnya.
"Dialah istri Pak Ikhsan, yang memesan kain kain batik ini. Dia pula, yang memilihkan batik ungu ini untukmu," jelas Abram.
Amel manggut-manggut. Melihat wajah istrinya yang berseri-seri, laki-laki itu tersenyum. Berharap kemarahan Amel menguap seperti yang sudah-sudah.
Tiap kali, ketika bertengkar atau salah satu diantara mereka ada yang marah, tak ada perbincangan untuk membahas ketidakberesan itu setelahnya.
Masing-masing dari mereka akan menghindar, memilih diam atau membiarkan suasana itu dalam beberapa hari. Untuk kemudian, kemarahan itu menguap dengan sendirinya.
Abram maupun Amel tahu, hal itu tak baik. Apalagi dibiasakan hingga bertahun-tahun. Memendam kekecewaan, kemarahan berlama-lama itu akan berimbas pada daya tahan tubuh mereka, terutama Amel.