Meski sebenarnya, hatinya mendidih setiap kali ingat perbincangan di sosmed suaminya. Obrolan yang prive --sangat pribadi, penuh dengan bujuk rayu dan ungkapan sayang ...Â
Amel menemukan satu hal yang dirasanya 'janggal', tak ada sepatah pun janji yang terucap dari balasan balasan Abram.
Why?
Abram memandangi wajah isterinya. Memastikan bahwa apa yang diucapkan Amel itu sungguh-sungguh dari hatinya, bukan basa basi di bibir saja.
Ia jauh lebih tegar dari yang pernah dibayangkan Abram sebelumnya.
"Tapi kenapa, Yaang? Kau tahu aku sudah ... sudah ...," Abram tak sempat menyelesaikan kata-katanya, telunjuk Amel sudah melintang di bibirnya.
"Aku sudah pernah berjanji, kita akan menua bersama. Duluuu, meski beberapa keluarga menolak pernikahan kita ...," mata Amel menerawang.
"Kita memilih untuk memantapkan langkah. Kita tetap menikah dan menjalani kehidupan ini bersama. Aku masih ingat, kita hanya berbekal pakaian sekoper, dan menyewa kamar kontrakan yang sempit."
Abram diam, menunggu.
"Semenjak itu, aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menerima Kamas seperti apa adanya." Amel mengubah posisi berbaringnya.Â
"Aku akan memaafkan kesalahan Kamas, apapun yang terjadi. Apalagi, semenjak aku tahu, aku tak bisa memenuhi harapanmu," kali ini kata-kata Amel terhenti oleh isakan yang makin keras.