Mohon tunggu...
Emil WE
Emil WE Mohon Tunggu... road and bridge engineer -

Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Koridor

28 Desember 2010   23:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:16 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"lantas ?"

"kamu seharusnya lebih memahami perempuan, Pram" tatapan sayu Marieta menyapu wajah Prama

"hehe .. aku paham, Sayang. Aku paham. Bukankah perempuan mesti diperhatikan,"

"lalu, apa demikian caranya ? kamu membuat janji di tempat ini ! datang telat lagi ! aku mengerti statusku, Pram. Dan aku sadar. Tapi setidaknya - ah," Marieta menggeleng pelan. Ia tak meneruskan kalimatnya.

Angin yang menerobos menggerai rambut mayang Marieta. Lalu lalang penumpang yang berpindah destinasi terdengar menetap-netap di atas selasar. Sesekali tatap mata mereka menilik Marieta dan Prama dengan tatapan penasaran.

"maafkan aku, Sayang. Sekali lagi maafkan aku. Aku janji takkan mengulanginya. Tapi -"

Prama menghentikan kalimatnya. Dipandandanginya paras oval Marieta yang cantik. Matanya yang bening, bibir merahnya yang tipis terbelah, dagunya yang tertakik eksotik, akan tetapi Marieta terkesan tak peduli dan malah membuang wajah.

"kamu kau mesti faham, Sayang. Barusan aku menjemput Sita. Sore ini dia les piano," Prama mengiba

"aku mengerti, Pram. Dia putri kesayanganmu. Sedangkan aku, sekian kali diposisikan nomer seratus pun aku tak pernah protes," timpal Marieta bersedih. Tatap matanya menukik jatuh.

"sudahlah, Marieta. Aku tak bermaksud seperti itu. Sekali lagi maafkan aku. Setidaknya apa kau tak berbahagia menjumpaiku ?"

Jemari Prama menegakkan dagu Marieta. Tatap mata mereka bertemu. Serasa energi purba mengalir, Marieta menghambur memeluk Prama seakan takut kehilangan. Prama kemudian mendekap Marieta dan mengelus lembut rambutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun