"lantas ?"
"kamu seharusnya lebih memahami perempuan, Pram" tatapan sayu Marieta menyapu wajah Prama
"hehe .. aku paham, Sayang. Aku paham. Bukankah perempuan mesti diperhatikan,"
"lalu, apa demikian caranya ? kamu membuat janji di tempat ini ! datang telat lagi ! aku mengerti statusku, Pram. Dan aku sadar. Tapi setidaknya - ah," Marieta menggeleng pelan. Ia tak meneruskan kalimatnya.
Angin yang menerobos menggerai rambut mayang Marieta. Lalu lalang penumpang yang berpindah destinasi terdengar menetap-netap di atas selasar. Sesekali tatap mata mereka menilik Marieta dan Prama dengan tatapan penasaran.
"maafkan aku, Sayang. Sekali lagi maafkan aku. Aku janji takkan mengulanginya. Tapi -"
Prama menghentikan kalimatnya. Dipandandanginya paras oval Marieta yang cantik. Matanya yang bening, bibir merahnya yang tipis terbelah, dagunya yang tertakik eksotik, akan tetapi Marieta terkesan tak peduli dan malah membuang wajah.
"kamu kau mesti faham, Sayang. Barusan aku menjemput Sita. Sore ini dia les piano," Prama mengiba
"aku mengerti, Pram. Dia putri kesayanganmu. Sedangkan aku, sekian kali diposisikan nomer seratus pun aku tak pernah protes," timpal Marieta bersedih. Tatap matanya menukik jatuh.
"sudahlah, Marieta. Aku tak bermaksud seperti itu. Sekali lagi maafkan aku. Setidaknya apa kau tak berbahagia menjumpaiku ?"
Jemari Prama menegakkan dagu Marieta. Tatap mata mereka bertemu. Serasa energi purba mengalir, Marieta menghambur memeluk Prama seakan takut kehilangan. Prama kemudian mendekap Marieta dan mengelus lembut rambutnya.