Lama aku terdiam. Mencermati setiap kalimat yang diucapkan Dewi. Ada perasaan malu mendadak terbersit di hatiku.
"Dewi, bagaimana kalau gedung itu aku serahkan kepadamu dan teman-temanmu?" ujarku setelah berpikir sejenak. Wajah Dewi seketika sumringah.
"Sekarang aku yakin, kita memang ditakdirkan memiliki kesamaan yang utuh. Bukan hanya kemiripan wajah, tapi juga hati. Aku senang bisa bertemu denganmu," tanpa sungkan wanita yang mirip aku itu merangsek maju, memelukku. Dan aku---dengan haru menyambut pelukannya.
Kami berdua berpelukan sangat lama.
"Kau pasti merindukan rumahmu dengan segala keindahan alamnya," aku berbisik di telinganya. Dewi mengangguk. "Juga kangen Edo, tentunya," aku menggodanya.
"Dia bukan pacarku. Edo hanya sahabatku. Oh ya, dia tadi mengontakku. Kelihatannya--Edo jatuh hati padamu," Dewi mengulum senyum. Aku membuang wajah ke luar jendela. Menyembunyikan wajahku yang memerah.
"Black, oh, ya, Black! Sopirmu itu, ia sangat baik kepadaku. Selama tinggal di sini, dia selalu...setia menjagaku," Dewi berkata malu-malu.
"Ya, aku tahu," ujarku seraya melirik bayangan Black, yang sejak tadi berdiri di dekat jendela. Menguping pembicaraan kami.
***
Malang, 12 Maret 2019
Lilik Fatimah Azzahra