Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Devi dan Dewi

12 Maret 2019   08:27 Diperbarui: 12 Maret 2019   08:49 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                              

                         

"Black, kau lihat dia?" aku menoleh ke arah bodyguard sekaligus sopirku. Wajahku menegang.

"Yup, Boss! Wanita itu sangat mirip dengan Anda. Jangan-jangan kalian kembar!" Black sama terkejutnya dengan diriku.

Black mengerem mobil secara mendadak.

 "Turunlah. Bawa wanita itu kemari!" perintahku.

"Oke, beres Boss!" Black melompat keluar. Sementara aku menunggu di dalam mobil dengan perasaan nyaris meledak.

Black muncul kembali ketika mataku mulai pedih. Di sampingnya berjalan seorang wanita yang segalanya mirip aku. Cara berjalannya. Wajah tirusnya. Juga tatapan matanya yang tajam. Wanita itu mengenakan celana jeans warna biru dipadu padan dengan kaos lengan panjang berwarna ungu muda. Warna favoritku.

Black membukakan pintu mobil. Sementara wanita di sampingnya berdiri ragu.

"Masuklah, Nona. Bossku ingin mengobrol denganmu," Black memberi tanda dengan mengangkat satu tangannya.

Wanita itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. Sekilas ia melirik ke arahku. Tiba- tiba ekspresi wajahnya berubah.

 "Hei...siapa Anda? Mengapa wajah kita---mirip?" ia berseru kaget.

"Kemiripan yang sangat menyebalkan!"  aku menyahut sinis. "Ayolah, Black! Jalankan mobil!"

Black mengemudi bagai orang kesurupan. Beruntung jalanan sedang sepi.

Lima belas menit kemudian kami sampai di apartemen milikku yang berada di tengah kota.

"Katakan, apa mau kalian?" wanita yang mirip aku itu tampak enggan turun dari mobil.

"Kau tidak sabaran juga, rupanya. Kita bicara di dalam!" aku mendahului turun. Wanita itu menyisih. Lalu mengikuti langkahku.

"Bukan kemiripan yang mendorongku membawamu kemari. Tapi lebih pada pengaruhmu. Tolong hentikan orasimu untuk mempengaruhi massa demi menghalang-halangi pembangunan pabrik yang tengah kubangun," aku berkata tegas. Ketika kami sudah berada di dalam apartemen.

"Oh, jadi itu tujuanmu membawaku ke tempat ini dengan paksa? Jangan bermimpi. Kamu tidak akan bisa merayuku. Apalagi mengancamku!" Wanita itu menyahut agak emosional.

Aku menggeram.

"Jangan menentangku. Atau--kau akan menyesal nanti," aku mendekatkan wajahku. Hatiku mendidih.

Sesaat kami saling bertatapan.

Dan perang dingin baru saja dimulai.

 "Aduh, nona-nona cantik, jangan berantem. Kalian berdua kalau bersitegang sama-sama menyeramkan!" Black masuk ke dalam apartemen, berusaha melerai kami.

"Oke, aku tidak ingin berlama-lama terjebak dalam pertemuan konyol ini. Antar aku ke rumah dia Black. Sekarang juga!" aku berdiri. Merapikan ujung lengan kemejaku yang kusut.

"Hei, apa maksudmu?" wanita itu mendongakkan kepalanya, kemudian ikut berdiri.

"Kita bertukar tempat! Aku akan menjadi dirimu--dan kamu menjadi aku."

"Kau sudah gila!" wanita yang mirip aku terpekik.

"Ikuti saja permainan ini, Nona. Lalu kita lihat siapa yang akan keluar sebagai pemenangnya." Aku menatap wanita itu. Tak berkedip.

"Baiklah, aku terima tantangan ini. Tapi jangan berharap aku akan berubah pikiran."  Wanita itu balas menatapku.

Kudengar Black tertawa.

"Apa ada yang lucu, Black? " aku menoleh ke arah bodyguard-ku itu.

Seketika Black terdiam.

 ***

Mobil kembali melaju kencang di jalan raya. Kali ini menuju pedesaan tempat di mana aku baru memulai membangun sebuah pabrik industri tekstil.

"Anda yakin dengan keputusan ini, Boss? Rumah Dewi tidak sebagus apartemen Anda, lho,"  Black  berusaha mempengaruhiku.

"Dewi? Jadi nama wanita yang mirip denganku itu Dewi? Sialan. Bahkan nama kami pun hanya berbeda satu huruf!" Aku menyumpah.

"Nama Anda Devi...hahaha."

"Diam kau, Black! Hari ini kau terlalu banyak bicara," aku menegur Black. 

Dan laki-laki bertubuh gempal itu tak berani lagi berkata-kata.

***

Rumah tua milik Dewi tidak seberapa luas. Perabotannya pun sangat sederhana. Tapi it's oke, tidak masalah, cuma beberapa hari aku menjadi dirimu, Nona. Meminjam semua fasilitas rongsokan yang kamu miliki ini sampai tujuanku tercapai.

Seorang perempuan bertubuh gemuk, usia setengah baya, tergopoh menyambutku.

"Kunci kamarmu tadi tertinggal. Bibi menyimpannya,"  wanita tua itu menyodorkan serentetan anak kunci. Aku tertawa dalam hati. Sungguh beruntung nasibku ini. Bahkan wanita gemuk itupun tidak bisa membedakan apakah aku ini Dewi atau bukan.

Kuterima kunci dari wanita yang mengaku sebagai Bibi itu. Dan---agak kebingungan aku mencari kamar Dewi. Untunglah Bibi gemuk itu sudah keluar rumah meninggalkanku.

Baru saja aku memutar anak kunci, terdengar suara ribut-ribut di luar rumah.

"Hai, Dewi, Edo sempat bingung lho. Tadi siang kami kemari tidak menemukanmu. Ponselmu tidak aktif pula. Kami sempat mengira kamu diculik!"

Segerombolan muda-mudi merangsek masuk ke dalam rumah.

"Sekarang lagi musim aktivis diculik," seorang pemuda, salah satu dari mereka menepuk pundakku kuat-kuat. Hampir saja aku menjerit dan menampar pemuda yang kurang sopan itu. Untung aku sadar bahwa aku sedang dalam penyamaran menjadi Dewi.

"Edo, nih Dewi segar bugar!" lagi-lagi salah seorang dari mereka merangkulku.

"Hai, Edo, kok kamu malu-malu sih. Tumben..." masih ada celutukan dari yang lain.

 Aku celingukan. Mana nih di antara mereka yang bernama Edo. Ada empat orang pemuda sedang berdiri menatapku.

"Maafkan kelakuan teman-teman, Wi. Kami memang sempat khawatir. Kamu sih, pergi tanpa pesan," salah satu dari pemuda yang tengah menatapku itu berjalan menghampiri. Aku membatin. Ini pasti Edo. Pacarnya si Dewi sialan itu.

Wajahnya tampan. Tubuhnya tinggi dan atletis. Dia tersenyum menatapku. Pintar juga si Dewi ini memilih pacar. Dan sesaat aku berusaha menghindari tatapan pemuda itu. Bersitatap dengan dia, sungguh, membuat hatiku berdesir.

"Wi, ini berkas pengaduan kita. Tolong kamu pelajari ya," Edo membuka percakapan.

 "Oh, eh, iya..." aku menyahut gugup. 

Astaga. Ada apa denganku ini?

"Wi, kamu tidak apa-apa?" Edo menatapku cemas.

"Aku baik-baik saja," aku mencoba bersikap setenang mungkin.

"Teman-teman, sepertinya Dewi masih lelah. Kita cabut dulu, yuk. Besok saja kita diskusikan lagi masalah ini." Edo menatapku sesaat. 

Sebelum berlalu meninggalkan rumah, pemuda itu tersenyum dengan sungging yang--sungguh tidak bisa kulupakan.

***

 Malam itu aku mempelajari berkas-berkas yang tadi diserahkan oleh Edo. Tapi jujur, otakku kali ini sulit diajak berkonsentrasi. Aku hanya membolak-balik lembar kertas di tanganku tanpa memikirkan apa-apa.

Akhirnya kuputuskan menelpon Black.

"Hallo, Black, apa wanita itu baik-baik saja?"

"Ya, Boss! Nona Dewi baik-baik saja. Dia pun--menanyakan keadaan Anda."

What? Aku mengernyitkan dahi.

"Ya sudah, Black! Besok aku akan menelponmu lagi!"

Gegas aku memutus pembicaraan.

 ***

Pagi yang cerah. Matahari mulai menampakkan diri untuk berbagi kehangatan. Gemericik sungai terdengar mengalun merdu bagai nyanyian peri yang sedang kasmaran.

Aku mencelupkan kedua kakiku ke dalam air sungai yang mengalir bening.

"Bagaimana, Nona Devi?" suara Edo mengagetkanku.

"Kau?"

"Maaf jika aku mengetahui identitasmu. Aku sangat mengenal Dewi. Meski kemarin aku sempat terkecoh sebab kau amat sangat mirip dengannya. Tapi sebagai teman dekat yang cukup lama, aku tidak bisa ditipu."

"Jadi kau sudah tahu siapa aku?"

Edo mengangguk.

"Nona Devi, pikirkan sekali lagi rencanamu mendirikan pabrik di wilayah kami. Apa kamu sampai hati menodai kesucian alam ini dengan limbah pabrik yang tengah kamu bangun itu?"  Edo duduk di sampingku. Suaranya  menyatu dengan gemericik air.

"Burung-burung akan mati karena polusi udara dari penggodokan bahan kimia. Dan ikan-ikan tidak lagi memiliki kekuatan untuk berebut menyentuh kakimu yang indah itu, akibat polutan air."

 Aku terdiam. Batinku mulai goyah. Aku telah menjadi Dewi dalam dua hari ini. Begitu banyak hal yang sudah kuperoleh. Dan sialnya, aku mulai suka dengan suasana alam di sekitar pedesaan ini.

Lalu apa yang  harus kulakukan?

Baru kali ini aku merasa otakku benar-benar buntu.

 ***

Sore hari aku menelpon Black. Minta agar ia segera menjemputku. Aku ingin kembali ke apartemen saat itu juga.

Sesampai di apartemen aku menemukan Dewi tengah asyik membaca. Wanita itu seketika menyingkirkan bukunya begitu melihat kedatanganku.

"Maaf, aku lancang membaca koleksi buku-bukumu. Bagaimana Nona Devi, penyamaranmu sukses?" Dewi memandangku. Aku terbahak.

"Ternyata tidak mudah menyamar menjadi dirimu, Nona Dewi. Kamu sendiri, senang bertukar tempat denganku?" aku balik bertanya.

"Tidak! Aku lebih suka menjadi diriku sendiri," jawaban spontannya membuatku terhenyak.

"Kenapa? Bukankah di sini fasilitas yang kumiliki serba mewah? kau bisa memakainya sesuka hatimu," pancingku.

"Kemewahan yang kamu miliki tidak bisa menggantikan keindahan alam desaku, Nona Devi. Di sini tidak ada suara burung bernyanyi. Tidak ada gemericik sungai yang jernih mengalir."

"Juga tidak ada  pacarmu yang tampan itu?" sergahku. Dewi tersenyum.

"Jadi kamu sudah bertemu Edo?"

"Ya, dialah yang membongkar penyamaranku."

Kali ini Dewi yang tertawa.

"Bagaimana dengan pembangunan pabrik?" Dewi mengalihkan pembicaraan.

"Kamu berharap aku membatalkan pembangunan itu? Atau merobohkannya begitu saja? Kamu tahu tidak berapa dana yang sudah aku keluarkan?" aku melebarkan mataku.

"Aku tidak menyuruhmu merobohkannya, Nona Devi. Lanjutkan pembangunannya, itu hakmu."

"Lalu? Apa yang kau inginkan? Bukankah selama ini kamu menentang pembangunan pabrik itu?" mata kami tanpa sengaja saling bertemu.              

"Hanya sekadar usul, itupun kalau diterima. Alangkah senangnya jika kamu mengalihkan fungsi pabrik itu. Di desa kami belum ada Sekolah Dasar yang memadai. Satu-satunya sekolah yang ada sudah tidak layak ditempati. Kami akan sangat bangga padamu jika kamu mau meminjamkan gedung pabrikmu sebagai tempat belajar bagi anak-anak desa yang juga membutuhkan pendidikan," Dewi berkata begitu tenang dan lancar. Aku terkesima. 

Lama aku terdiam. Mencermati setiap kalimat yang diucapkan Dewi. Ada perasaan malu mendadak terbersit di hatiku.

"Dewi, bagaimana kalau gedung itu aku serahkan kepadamu dan teman-temanmu?" ujarku setelah berpikir sejenak. Wajah Dewi seketika sumringah.

"Sekarang aku yakin, kita memang ditakdirkan memiliki kesamaan yang utuh. Bukan hanya kemiripan wajah, tapi juga hati. Aku senang bisa bertemu denganmu," tanpa sungkan wanita yang mirip aku itu merangsek maju, memelukku. Dan aku---dengan haru menyambut pelukannya.

Kami berdua berpelukan sangat lama.

"Kau pasti merindukan rumahmu dengan segala keindahan alamnya," aku berbisik di telinganya. Dewi mengangguk. "Juga kangen Edo, tentunya," aku menggodanya.

"Dia bukan pacarku. Edo hanya sahabatku. Oh ya, dia tadi mengontakku. Kelihatannya--Edo jatuh hati padamu," Dewi mengulum senyum. Aku membuang wajah ke luar jendela. Menyembunyikan wajahku yang memerah.

"Black, oh, ya, Black! Sopirmu itu, ia sangat baik kepadaku. Selama tinggal di sini, dia selalu...setia menjagaku," Dewi berkata malu-malu.

"Ya, aku tahu," ujarku seraya melirik bayangan Black, yang sejak tadi berdiri di dekat jendela. Menguping pembicaraan kami.

***

Malang, 12 Maret 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun