Alam mitos adalah konsep yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan budaya Jawa. Di dalamnya terdapat pandangan bahwa alam semesta dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan gaib  yang tersembunyi dan misterius. Konsep alam mitos menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik dalam ritual keagamaan maupun dalam kehidupan sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa mulai memahami alam dan segala isinya secara lebih rasional dan ilmiah. Mereka mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi di sekitar mereka dan mencari jawaban melalui pengamatan dan penelitian. Dalam proses ini, terjadi pergeseran dari pandangan alam mitos menjadi logos Jawa. Logos Jawa adalah pandangan keilmuan yang didasarkan pada observasi, pengalaman, dan pemikiran rasional. Pandangan ini berkaitan erat dengan filsafat Jawa, yang menekankan  pentingnya menjaga keseimbangan antara batin dan lahir, manusia dan alam, serta spiritual dan material. Dalam pandangan logos Jawa, alam semesta dianggap sebagai sesuatu yang dapat dipelajari dan dimengerti secara ilmiah, namun tetap dipahami sebagai suatu kesatuan yang saling terkait dan saling memengaruhi. Perkembangan logos Jawa tidak hanya terjadi dalam ilmu pengetahuan, namun juga dalam seni dan budaya. Misalnya, dalam seni tari Jawa, terdapat gerakan-gerakan yang menggambarkan perubahan musim, perubahan waktu, dan keadaan alam yang berbeda. Gerakan-gerakan ini didasarkan pada pengamatan dan pengalaman manusia terhadap alam, namun diinterpretasikan dan ditampilkan dalam bentuk seni yang estetis.
Secara keseluruhan, pergeseran dari alam mitos menjadi logos Jawa menunjukkan bahwa masyarakat Jawa dapat mengembangkan pandangan keilmuan yang rasional dan ilmiah tanpa mengabaikan akar budaya dan kepercayaan mereka yang kuat pada alam mitos. Dalam hal ini, logos Jawa dapat menjadi landasan untuk memajukan kehidupan sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan di masa depan.
Dalam mitologi dan filosofi Jawa, perjalanan Sang Bima atau Werkudara dianggap sebagai sebuah kisah yang sarat makna filosofis. Perjalanan tersebut menggambarkan empat tahap dalam mencapai manusia sempurna, yaitu: pramudya, wirangrong, kamandanu, dan awi rawa.
Pramudya merupakan tahap pertama dalam perjalanan menuju manusia sempurna. Pada tahap ini, Sang Bima digambarkan sebagai sosok yang berambisi dan penuh semangat untuk mencapai tujuannya. Namun, ambisi tersebut masih belum terarah dan masih perlu dipahami dengan lebih baik.
Tahap kedua adalah wirangrong, di mana Sang Bima mulai belajar untuk mengontrol emosi dan nafsu dalam mencapai tujuannya. Pada tahap ini, Sang Bima belajar mengendalikan dirinya sendiri, mengenali kekuatan dan kelemahannya, serta memahami tujuan hidup yang sejati.
Kamandanu merupakan tahap ketiga dalam perjalanan Sang Bima. Pada tahap ini, Sang Bima telah menguasai kekuatan dan kemampuannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ia juga belajar untuk mengendalikan kekuatannya dan menggunakan kekuatannya untuk membantu orang lain.
Tahap terakhir adalah awi rawa, di mana Sang Bima menjadi manusia sempurna yang memiliki kemampuan untuk membantu orang lain dan mencapai tujuannya dengan cara yang benar. Pada tahap ini, Sang Bima telah menguasai empat kunci kehidupan, yaitu: kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kasih sayang.
Secara keseluruhan, perjalanan empat tahap Sang Bima mengandung nilai filosofis yang mendalam bagi kehidupan manusia. Kisah ini mengajarkan tentang arti penting kebijaksanaan, kontrol diri, kekuatan, serta kasih sayang dan
kepedulian terhadap orang lain dalam mencapai tujuan hidup yang sejati. Kisah Sang Bima juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara nafsu dan akal, antara tujuan pribadi dan tujuan sosial, serta antara kekuatan dan kontrol diri. Dengan menghayati dan menerapkan nilai-nilai ini, manusia dapat mencapai kedewasaan emosional, spiritual, dan sosial yang lebih tinggi.
Etika tindakan dokrin adalah suatu cara
pandang atau filosofi yang mengarahkan seseorang untuk berperilaku dengan cara yang benar dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Etika tindakan dokrin seringkali berkaitan dengan konsep kepemimpinan, di mana seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan dengan bijak dan bertanggung jawab atas tindakan yang diambil.