Pada tahap ini, otoritas perpajakan merumuskan rencana pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. Data, laporan, atau pengaduan yang diterima menjadi dasar dalam mengidentifikasi wajib pajak dengan tingkat risiko ketidakpatuhan tinggi. Langkah-langkah utama meliputi:
- Pemilihan Wajib Pajak: Proses ini didasarkan pada kriteria risiko, seperti data laporan mencurigakan atau pengaduan dari pihak ketiga.
- Penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2): Surat ini memberikan mandat resmi kepada auditor untuk melaksanakan pemeriksaan.
2. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan
Proses pemeriksaan dimulai dengan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) untuk mengklarifikasi ketidaksesuaian data yang ditemukan. Jika klarifikasi tidak memadai, DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) untuk memberikan landasan formal dalam memulai pemeriksaan.
Langkah-Langkah Utama:
- Pengumpulan Data: Auditor meminta dokumen pendukung seperti laporan keuangan dan bukti transaksi.
- Verifikasi dan Analisis: Auditor menilai kepatuhan wajib pajak berdasarkan data yang diperoleh. Hasil analisis ini menjadi dasar dalam menyusun temuan awal.
3. Tahap Penyampaian Temuan
- Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP): Dokumen ini memuat temuan dan penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak.
- Tanggapan dari Wajib Pajak (WP): WP diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau keberatan secara tertulis.
4. Tahap Penyelesaian Akhir
- Pembahasan Akhir: Jika ada perbedaan pendapat, DJP mengundang wajib pajak untuk diskusi terbuka dan transparan.
- Risalah Pembahasan Akhir: Hasil pembahasan dicatat sebagai dokumen resmi yang mencerminkan kesepakatan atau keputusan akhir.
- Quality Assurance: Seluruh proses diperiksa kembali untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman yang berlaku.
5. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
Tim auditor menyusun LHP yang mencakup seluruh temuan dan rekomendasi hasil pemeriksaan. Jika ditemukan pelanggaran atau kekurangan pembayaran pajak, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau dokumen resmi lainnya yang menetapkan kewajiban perpajakan wajib pajak.
Dengan mekanisme yang sistematis ini, pemeriksaan pajak tidak hanya menjadi instrumen untuk menegakkan kepatuhan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
Dialektika dalam audit bukan hanya soal menemukan kesalahan, tetapi juga memahami, menyelaraskan, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang berkelanjutan. Baik Dialektika Hegelian maupun Hanacaraka menawarkan pendekatan unik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan praktis
Relevansi Konseptual dalam Sistem Perpajakan Indonesia