Yang lebih sakit lagi, di rumah sakit itu dia membawakan undangan pernikahannya dengan sahabat karibku sendiri, setelah aku memaafkan dia yang.... hhhh."
"Iya, Mbak juga ga bakal lupa kejadian waktu itu. Tapi itu delapan tahun yang lalu, Tin. Melihat kamu pulih seperti ini, Mbak juga ikut seneng. Hanya saja..."
"Hanya apa, Mbak? Kata maaf semacam apalagi yang akan kuberikan setelah tahu dia tidur dengan sahabatku sendiri? Lalu tiba-tiba dia datang membawa undangan nikah itu?
Apa dia juga peduli, berapa kali terapi yang harus aku kunjungi, dan berapa lama aku harus opname di rumah sakit gara-gara depresi atas ulahnya? Belum lagi bagaimana dengan perasaan keluargaku? Pernikahanku dengannya, waktu itu tinggal satu bulan lagi, Mbak."
Kenangan dan sakit hati ini seakan meluap dari dalam diriku. Amarah yang meledak mengajakku beranjak pergi meninggalkan Mbak Watik yang masih termangu dengan wajah yang penuh kesedihan.
Seminggu sudah aku berada di kota kelahiranku ini. Aku menikmatinya. Yang kuharapkan aku tak bertemu dengan Rakhyan Mahesa.
"Jadwal selanjutnya kemana kita?" tanyaku pada Ranti.
"Besok kita harus sudah di Jakarta, Tin."
"Jadi kalau masih ada urusan di sini, ada baiknya segera diselesaikan hari ini, supaya besok kita bisa free berangkat ke Jakarta." lanjutnya
"Urusan? Engga, lah. Berangkat sekarang juga ga papa."
"Tin, loe kira gue ga tahu? Masih ada satu urusan loe yang belum elu kelarin," akhirnya logat Betawi Ranti keluar juga.