Bo'ing terdiam dan menunduk.
"Sepuluh tahun Mas Raka menderita kanker otak, Mbak. Apa Mbak Tini sudah tahu itu?" pertanyaan Bo'ing sangat menusuk hatiku.
Yang kuingat, memang Rakhyan dulu terkadang sering mengeluh pusing. Tapi, ia tak pernah bercerita tentang kanker otak yang dideritanya.
"Mas Raka tak ingin Mbak Tini tahu. Jadi dia sembunyikan semua itu."
Kutelan ludahku, sesak dadaku mendengar penuturan Bo'ing.Â
"Hampir setengah tahun kankernya semakin parah. Hingga akhirnya, dia koma selama sebulan ini.
Setelah bercerai dengan istrinya, kegemarannya hanya satu. Membaca dan hunting buku-buku Mbak Tini. Hanya itu."
"Lalu mengapa dia tidak menemuiku?" nada suaraku hampir tak terdengar.
"Rasa bersalahnya membuat Mas Raka tak punya nyali setiap bertemu Mbak Tini. Jadi dia selalu minta tolong saya yang antri minta tanda tangan Mbak Tini.
Katanya, hari-hari itu penting buat Mbak Tini. Itu mimpi Mbak Tini untuk bisa menjadi penulis buku terkenal. Dan dia ga mau merusaknya."Â
Air mataku segera mengalir. Bukan .... Tapi aku ingin segera berlari memeluk Rakhyan. Air mataku mengalir tambah deras.Â