Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Layung di Bibir Senja

11 Juni 2019   08:08 Diperbarui: 11 Juni 2019   08:17 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudut ruang yang disediakan toko buku terbesar di kota kecilku, benar-benar sempit. Tapi cukuplah, untuk peluncuran buku perdanaku. 

Aku memilih kota kecil ini, karena di kota inilah aku pertama kali memberanikan diriku untuk menulis sebuah artikel. 

Ya, meski saat itu aku bukan penulis handal seperti kata orang sekarang. Aku sudah menyelesaikan 5 buku. Dan ini bukuku yang ke-6. 

" Tak, tuk, tak, tuk..."

Suara sepatu Ranti membawa ingatanku pada ingatanku, delapan tahun yang lalu. Bunda memberikanku sepatu dengan suara yang sama seperti itu.

"Ayo, Kartini. Cepetan. Fans kamu udah nunggu tuh," dengan cepat Ranti menggandeng tanganku.

"Berapa buku yang harus aku tandatangani hari ini, Ranti?"

"Kira-kira 300 buku. Kita batasi itu. Makanya ayo, cepetan. Sebelum mereka semua bubar."

Launching bukuku tidak berlangsung lama. Hanya beberapa jam saja. Tidak seperti saat di Bandung. Hampir sehari penuh.

"Sudah kan, antriannya? Aku mau ada acara sama Mbak Watik."

"Udah tuh, hari ini launching bukumu dah kelar. Selamat, ya. Mau ketemu ama Mbak Watik lagi? Ampe jam berapa, ntar?" tanya Ranti.

Belum sempat kujawab pertanyaan Ranti, tiba-tiba datang di hadapanku, seorang lelaki yang umurnya tak jauh beda dariku. Datang dengan nafas yang tersengal sambil membawa bukuku. 

"Apa masih boleh minta tanda tangannya, Mbak?"

"Oh, boleh," jawabku ramah dengan melempar sebuah senyuman.

"Ternyata Mba Kartini itu memang manis ya?"

Aku hanya tersenyum. 

"Jangan senyum terus, Mbak. Bisa-bisa saya kena diabet nih. Terlalu manis."

Sekali lagi, aku hanya tersenyum simpul mendengar kata-katanya.

"Oh iya, tolong tulis di buku itu, dari Kartini, untuk Raka," pinta lelaki itu lagi.

"Sudah Mas Raka. Ini bukunya,"

"Oh saya bukan Raka. Ini sepupu saya minta tolong agar saya yang minta tanda tangannya Mbak Kartini. Mumpung launching buku di sini."

"Sampaikan salam saya, ya."

Setelah laki-laki aneh itu pergi, aku segera menghampiri warung makan Mbak Watik, yang letaknya tak jauh dari toko buku itu. 

"Waduh tamu agungku sudah datang," sambut Mbak Watik, teman mainku sejak kecil ternyata tak pernah berubah.

"Iya, aku kangen masakan Mbak Watik. Ayam goreng rempah plus sambal matangnya. Hmmmh, dari Bandung udah kecium harumnya, Mbak."

"Non...benernya nih Mbak Watik mau ngomong soal Rakhyan. Kamu masih ingat?"

Aku hampir tersedak saat mendengar nama itu. 

Siapa yang bisa lupa. Rakhyan Mahesa. Nama yang kubenci. Nama yang seandainya bisa kuhapus, maka akan kutiadakan dari muka bumi ini.

"Tin, Rakhyan sekarang ada di ruang ICU. Kanker otak telah merenggut kasadarannya. Dia koma. Sudah hampir satu bulan ini," lanjut Mbak Watik.

Kuputar bola mataku, kuhela nafas panjang. 

"Tin, aku tahu. Kejadian 8 tahun yang lalu itu menyakitimu. Tapi, tolonglah. Kalau kamu punya waktu, jenguklah Rakhyan barang sejenak saja."

"Tapi apakah dia juga peduli, saat aku harus dirawat di rumah sakit gara-gara ulahnya itu. Mbak, undangan pernikahan itu seharusnya atas namaku. 

Yang lebih sakit lagi, di rumah sakit itu dia membawakan undangan pernikahannya dengan sahabat karibku sendiri, setelah aku memaafkan dia yang.... hhhh."

"Iya, Mbak juga ga bakal lupa kejadian waktu itu. Tapi itu delapan tahun yang lalu, Tin. Melihat kamu pulih seperti ini, Mbak juga ikut seneng. Hanya saja..."

"Hanya apa, Mbak?  Kata maaf semacam apalagi yang akan kuberikan setelah tahu dia tidur dengan sahabatku sendiri? Lalu tiba-tiba dia datang membawa undangan nikah itu?

Apa dia juga peduli, berapa kali terapi yang harus aku kunjungi, dan berapa lama aku harus opname di rumah sakit gara-gara depresi atas ulahnya? Belum lagi bagaimana dengan perasaan keluargaku? Pernikahanku dengannya, waktu itu tinggal satu bulan lagi, Mbak."

Kenangan dan sakit hati ini seakan meluap dari dalam diriku. Amarah yang meledak mengajakku beranjak pergi meninggalkan Mbak Watik yang masih termangu dengan wajah yang penuh kesedihan.

Seminggu sudah aku berada di kota kelahiranku ini. Aku menikmatinya. Yang kuharapkan aku tak bertemu dengan Rakhyan Mahesa.

"Jadwal selanjutnya kemana kita?" tanyaku pada Ranti.

"Besok kita harus sudah di Jakarta, Tin."

"Jadi kalau masih ada urusan di sini, ada baiknya segera diselesaikan hari ini, supaya besok kita bisa free berangkat ke Jakarta." lanjutnya

"Urusan? Engga, lah. Berangkat sekarang juga ga papa."

"Tin, loe kira gue ga tahu? Masih ada satu urusan loe yang belum elu kelarin," akhirnya logat Betawi Ranti keluar juga.

"Urusan apa?"

"Rakhyan Mahesa,"

"Kok jadi dia sih?"

"Tin, loe ga bisa bohong ma gue. Sakit and amarah loe itu bakal loe pertahanin ampe kapan?"

"Biarin aja. Itu namanya karma, Ran."

"Trus apa bedanya loe ama dia?"

Aku terdiam atas ucapan Ranti. Entah mengapa, beberapa hari ini, perkataan Mbak Watik juga memenuhi kepalaku.

"Udah, gue tahu elu, Tin. Ada baeknya loe selesaikan sekarang ama dia. Tahu ga, apa yang paling berharga di dunia ini?"

Aku hanya meliriknya.

"Waktu, Tin. Jangan sampe loe nyesel ntar."

Perkataan Ranti ternyata cukup ampuh untuk membawa langkahku menyusuri lorong rumah sakit tempat Rakhyan dirawat.

Ruang ICU yang terletak di samping taman, membuatku harus berjalan memutari lorong ini.

Bau alkohol segera menyengat hidungku. Sempat membawa kenangan saat Bunda dulu dirawat di rumah sakit ini juga.

"Mbak Kartini?" tiba-tiba satu suara yang tak asing memecah lamunanku.

"Anda...."aku mencoba mengenali orang itu.

"Iya, Mbak. Saya yang minta tanda tangan buat Mas Raka, kemarin waktu Mbak Kartini ada launching buku."

"Jadi, kakak Anda dirawat di sini juga?"

"Di ICU, Mbak. Sudah satu bulan ini. Saya temennya. Keluarganya minta tolong saya untuk gantian njagain Mas Raka."

"Oh ya, sakit apa dia?"

"Mbak,....Apa Mbak Kartini sudah lupa sama Mas Rakhyan?"

Rakhyan.....Raka, oh mengapa tak pernah terpikirkan olehku, jika ternyata Raka adalah Rakhyan.

"Jadi, Rakhyan Mahesa itu Raka? Lalu Anda?"

"Perkenalkan, Mbak. Nama saya, Bo'ing. Bo apostrof trus ing. Gitu nulisnya,"jawabnya sambil cengar-cengir.

"Jadi, boleh saya cerita, Mbak?" mendadak wajah Bo'ing berubah serius.

Aku duduk di sebuah kursi tunggu, dan Bo'ing mengikuti duduk di sebelahku.

"Sejak menikah dengan sahabat Mbak Kartini, tiga tahun kemudian mereka bercerai. Anak mereka, Chloe, diasuh sama Mas Raka. Ibunya sudah menikah lagi.

Kehidupan Mas Raka selama ini hanya untuk Chloe, Mbak. Waktu tahu Mbak Kartini sudah bikin buku, lalu dia hunting semua buku Mbak Kartini.

Koleksinya sudah 5 buku. Semua launching buku Mbak Tini di hadirinya. Katanya pengen ketemu Mbak. Tapi ga berani deket."

"Kenapa?"

"Mas Raka nyesel, kalau sudah bikin sakit hatinya Mbak Tini."

"Memang begitu, kan?" jawabku dengan nada jengkel.

"Mbak, buat Mas Raka, Mbak Kartini itu satu-satunya cinta dia. Hatinya hanya buat Mbak Tini."

"Oh ya? Jangan mudah percaya."

Bo'ing terdiam dan menunduk.

"Sepuluh tahun Mas Raka menderita kanker otak, Mbak. Apa Mbak Tini sudah tahu itu?" pertanyaan Bo'ing sangat menusuk hatiku.

Yang kuingat, memang Rakhyan dulu terkadang sering mengeluh pusing. Tapi, ia tak pernah bercerita tentang kanker otak yang dideritanya.

"Mas Raka tak ingin Mbak Tini tahu. Jadi dia sembunyikan semua itu."

Kutelan ludahku, sesak dadaku mendengar penuturan Bo'ing. 

"Hampir setengah tahun kankernya semakin parah. Hingga akhirnya, dia koma selama sebulan ini.

Setelah bercerai dengan istrinya, kegemarannya hanya satu. Membaca dan hunting buku-buku Mbak Tini. Hanya itu."

"Lalu mengapa dia tidak menemuiku?" nada suaraku hampir tak terdengar.

"Rasa bersalahnya membuat Mas Raka tak punya nyali setiap bertemu Mbak Tini. Jadi dia selalu minta tolong saya yang antri minta tanda tangan Mbak Tini.

Katanya, hari-hari itu penting buat Mbak Tini. Itu mimpi Mbak Tini untuk bisa menjadi penulis buku terkenal. Dan dia ga mau merusaknya." 

Air mataku segera mengalir. Bukan .... Tapi aku ingin segera berlari memeluk Rakhyan. Air mataku mengalir tambah deras. 

"Oh ya, Mas Raka sempat heran, mengapa Mbak Tini cuma pengen bikin tujuh buku? Padahal menurutnya Mbak Tini bisa bikin berpuluh-puluh buku dan semua pasti laris. Best seller."

Aku mengingatnya, delapan tahun yang lalu. Sebelum kujumpai Raka sedang berduaan dengan sahabat dekatku dalam kamar yang sama.

"Rama, suatu hari nanti, aku pasti bisa jadi penulis hebat. Aku akan menulis tujuh buku. Dan semua pasti jadi best seller."

Itulah terakhir kali Rakhyan mencium keningku, di suatu senja yang tak akan kulupakan.

Tanpa kuperdulikan Bo'ing, aku berlari ke ruang ICU. Kuhampiri bilik tempat Rakhyan dirawat.

{PS. writer : puter videonya, trus lanjutin baca ampe habis, jgn lupa kasih rating yha, tq}


Kulihat Rakhyan tergolek tak berdaya diantara tabung oksigen dan beberapa alat medis yang seakan membelitnya.

Di samping tempat tidurnya kulihat beberapa buku yang segera kukenali. Ya, enam buah buku. Semua karyaku.

Kupegang jemari tangannya. Kubisikkan lirih ditelinganya, "Hei, Rama, ini aku Shinta mu."

Kugenggam jemarinya lebih erat, seraya membisikkan kembali, "Rama, aku rindu, bangunlah...sudah enam buku kutulis untukmu. Dan aku masih rindu."

Sempat kulihat ada air mata mengalir dari mata Rakhyan yang masih terpejam. 

"Maaf, ini sudah lewat jam kunjung pasien, Mbak. Silahkan keluar," salah seorang perawat membimbingku yang masih memohon untuk menemani Rakhyan.

Tiba-tiba detak jantung Rakhyan menghilang. Tak terdeteksi di layar monitor. Hanya garis lurus terlihat di sana. 

Suara nyaring detak jantung Rakhyan pun menghilang, tinggal satu suara panjang dari EKG yang terdengar.

Beberapa dokter dan perawat segera berlari mendapatkannya. Sedang perawat yang lain segera memintaku keluar ruang ICU.

Tak kuduga hariku dengan Rakhyan berakhir seperti ini. Tapi bukan ini yang kuharapkan. Tidak. Sekali ini saja, kuingin habiskan waktuku dengannya.

"Bukan seperti ini, Tuhan... Bukan ini yang kuminta, kumohon....." jerit tangisku segera meledak.

Bo'ing memelukku erat. Ada air mata yang mengalir di sudut matanya, setelah salah seorang dokter menyatakan nyawa Rakhyan sudah tak tertolong lagi.

Ya, Rakhyan Mahesa telah pergi. Ia meninggalkan kami berdua tanpa sepatah kata pun yang terucap.

Lirih dalam hatiku, aku berbisik, 'Rama,...ini Shinta, aku rindu ....'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun