"Sampaikan salam saya, ya."
Setelah laki-laki aneh itu pergi, aku segera menghampiri warung makan Mbak Watik, yang letaknya tak jauh dari toko buku itu.Â
"Waduh tamu agungku sudah datang," sambut Mbak Watik, teman mainku sejak kecil ternyata tak pernah berubah.
"Iya, aku kangen masakan Mbak Watik. Ayam goreng rempah plus sambal matangnya. Hmmmh, dari Bandung udah kecium harumnya, Mbak."
"Non...benernya nih Mbak Watik mau ngomong soal Rakhyan. Kamu masih ingat?"
Aku hampir tersedak saat mendengar nama itu.Â
Siapa yang bisa lupa. Rakhyan Mahesa. Nama yang kubenci. Nama yang seandainya bisa kuhapus, maka akan kutiadakan dari muka bumi ini.
"Tin, Rakhyan sekarang ada di ruang ICU. Kanker otak telah merenggut kasadarannya. Dia koma. Sudah hampir satu bulan ini," lanjut Mbak Watik.
Kuputar bola mataku, kuhela nafas panjang.Â
"Tin, aku tahu. Kejadian 8 tahun yang lalu itu menyakitimu. Tapi, tolonglah. Kalau kamu punya waktu, jenguklah Rakhyan barang sejenak saja."
"Tapi apakah dia juga peduli, saat aku harus dirawat di rumah sakit gara-gara ulahnya itu. Mbak, undangan pernikahan itu seharusnya atas namaku.Â