Namun antonim kata itu benar adanya. Bukan wacana semata. Ketika ada kata bahagia maka ada kata duka di seberang sana. Hal itu yang kemudian kualami.Â
Tepat lima tahun usia anakku, ibu meninggal dunia. Suamiku kena PHK. Duniaku seolah runtuh. Aku kehilangan semangat hidup.Â
"Ya Allah, dosa apa yang hamba perbuat sehingga Engkau beri cobaan seperti ini," rintihku dalam doa yang terucap.
Kami pindah ke rumah mertua karena suamiku malu dengan tetangga. Ia tidak mau membantu usaha warung makanku. Terpaksa warung itu kututup.
Kupikir ia akan segera mencari pekerjaan lagi. Ternyata hanya makan, tidur dan ngopi saja kerjanya setiap hari. Parahnya, ia mulai keluar malam untuk mabuk-mabukkan. Awalnya aku masih sabar. Tetapi ketika adik ipar mulai nyinyir, aku mulai bersuara.
"Sampai kapan kamu akan begini, Mas? Anak kita mulai sekolah tahun depan. Butuh biaya banyak. Tabunganku mulai habis untuk kebutuhan kita sehari-hari."
"Lagipula adikmu mulai gerah dengan kehadiranku" ujarku.
"Jangan cerewetlah. Aku pusing mendengar celotehmu."
Aku tersentak. Tidak percaya ia akan menghardikku.
"Cerewet katamu? Baru pertama aku bicara seperti ini, Mas. Itu pun karena aku tak tahan dengan sindiran adikmu. Aku bukan benalu. Kamu saja yang tak mau mandiri. Lebih memilih pulang ke rumah orang tua daripada melanjutkan hidup di kontrakan," kataku sambil melipat pakaian yang baru saja kuangkat dari jemuran.Â
Tiba-tiba...