"Non, saya takut ketabrak. Motor dibelakang kencang-kencang lajunya."
"Biar saja ditabrak. Biar mati sekalian,"sahut Non Arum dengan entengnya.
"Astagfirullah. Jangan bilang begitu Non. Mati bukan akhir dari segalanya.. Justru awal kehidupan yang baru dan abadi," kataku sambil menyelipkan beberapa nasihat agama yang kudengar saat mengaji.
Non Arum diam saja. Aku tak peduli ia mendengar atau tidak. Aku hanya menyampaikan kebenaran yang kuketahui.
Sejak itu Non Arum selalu mengajakku jika keluar rumah. Tentu saja dengan aku yang memegang kemudi alias yang membawa motornya. Tiap kali aku menolak karena takut jatuh. Dengan entengnya ia berujar, "Biar mahir. Kalau sering-sering bawa motor kan cepat bisa kamunya."
Aku mengiyakan dalam hati. Non Arum dengan sabar memberi pengarahan dari belakang. Sedikit demi sedikit aku mulai luwes membawa motornya. Mulai berani menyalip kendaraan lain. Hubunganku dengan Non Arum pun lebih luwes. Layaknya teman. Ia jadi sering curhat mengenai sikap mamanya. Serta apa yang terjadi di rumah.
Sayang kebersamaan itu tak berlangsung lama. Setelah menikah, Non Arum tinggal dengan suaminya. Terakhir mengunjungi ibu nyonya, terjadi pertengkaran hebat. Non Arum menangis begitu juga dengan ibu nyonya.Â
Beberapa hari kemudian ibu nyonya memanggil ibuku. Usai pertemuan itu kami tak bekerja lagi di rumah ibu nyonya. Rumah itu akan dijual dan ibu nyonya pindah ke Semarang untuk tinggal bersama adiknya. Begitu penjelasan ibu.
                * * * * *
Di satu sisi aku senang. Itu artinya ibuku tak harus bekerja sebagai asisten rumah tangga lagi.Â
"Ibu istirahat saja di rumah. Biar aku yang bekerja. Aku akan mencari pekerjaan apa saja yang penting halal," kataku.