Aku dan ibu sudah puluhan tahun bekerja di rumah Non Arum. Sejak ia kecil dan tuan masih ada. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Aku lebih tua darinya. Kami tumbuh bersama. Ia anak tunggal. Aku juga.Â
Ia anak tuan besar sementara aku hanya anak pembantu. Ibuku terpaksa bekerja sebagai asisten rumah tangga sejak bapak meninggal. Demi kelangsungan hidup kami. Untungnya ibu mendapat majikan yang baik. Sehingga ibu boleh membawa serta aku saat bekerja.
Aku menyebut keluarga ini sempurna. Berkecukupan, baik, dermawan dan tidak sombong. Tetapi laut tak selamanya tenang. Pasti ada riak ombak walau kecil. Bahkan badai yang datang tanpa diduga.
Begitu pula kehidupan mereka. Sejak kematian tuan, kehidupan ibu nyonya sedikit banyak mulai goncang. Ditambah dengan masalah Non Arum yang ingin menikah tetapi calonnya bukan kriteria ibu nyonya.
Ibu nyonya sudah menjodohkan Non Arum dengan kerabat dekatnya. Tentu saja Non Arum tidak mau. Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa.Â
Proses lamaran sampai tanggal pernikahan sudah ditentukan. Kondisi rumah pun menjadi panas. Non Arum dan ibu nyonya sering cekcok. Puncaknya hari ini. Undangan sudah disebar namun Non Arum ingin membatalkannya. Tentu saja ibu nyonya murka.
"Kamu mau bikin malu mama! Mau melihat mama mati!"Â
Non Arum tak menyahut. Tak lama ibu nyonya memanggilku itu. Rupanya Non Arum mau pergi.
"Aduh, maaf Non maaf," teriakku tiba-tiba.
Saat kepalaku membentur kepala Non Arum akibat motor yang berhenti secara mendadak.Â
"Makanya jangan nglamun. Cepat turun!" perintah Non Arum.