Ibu mengiyakan. Tetapi entah dalam hatinya. Karena tak lama ibuku jatuh sakit.
"Badan ibu sakit semua malah kalau tak dibawa bergerak. Ibu mau bekerja lagi ya? Nyuci gosok juga gak apa-apa. Lagi pula ibu kasihan sama kamu yang harus bekerja sendiri sampai malam."
Hatiku teriris. Siapa yang tega melihat ibunya nyuci gosok di rumah orang? Cukup sekali saja menjadi asisten rumah tangga.Â
Dulu kami bertahan lama karena majikan ibu sangat baik. Belum tentu majikan berikutnya akan sama baiknya.
Aku bingung jadinya. Aku memang sudah mendapatkan pekerjaan. Tetapi hanya pelayan toko. Gajinya tak banyak. Waktuku habis tercurah di toko. Kebersamaanku dengan ibu jelas berkurang. Mungkin ibu kesepian.
Setelah memikirkan segala sesuatunya. Kuputuskan keluar dari pekerjaan. Aku akan membuka usaha warung nasi. Biar ibu yang memasak. Aku yang melayani pembeli. Masakan ibu cukup enak. Dengan begini ibu mempunyai kegiatan baru.Â
Alhamdulillah ibu setuju. Usaha warung nasi kami pun semakin maju. Dari sini pula akhirnya aku bertemu dengan sang jodoh.Â
Atas restu ibu kami menikah. Tak lama kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang rupawan. Perpaduan wajahku yang manis dan wajah suamiku yang tampan kata ibu.
"Arek iki mbesok gede dadi rebutan loh Nduk. Ganteng lan manis. Koyok ibu bapa'e,"Â ujar ibu saat menimang-nimang anakku.
"Dadio prio sing ngerti lan sayang ambe wong tuo yo ngger."
Aamiin sahutku mendengar ibu mengucapkan kata-kata pengharapan pada anakku. Aku senang melihat rona bahagia di wajah ibu. Kebahagiaan yang tak pernah kulihat sebelumnya.