Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Pahlawanku] Nona Majikan dan Sepenggal Kisah Cintanya

17 Agustus 2019   00:07 Diperbarui: 19 Agustus 2019   13:19 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://allevents.in

"Ismaaaaa!!!"

Aku langsung melempar serbet makan saat mendengar namaku dipanggil dengan suara melengking seperti di hutan.

"Sana cepat. Nanti keburu ke sini sambil ngoceh-ngoceh," kata ibu yang sedang menata meja makan dengan mimik khawatir.

"Iiiya, Bu."

Aku bergegas menuju ruang tengah.

"Ada apa ibu nyonya?" kataku begitu tiba di ruang tengah.

Wajah ibu nyonya terlihat tegang.

"Cepat susul Non Arum di garasi. Ia mau pergi naik motor. Kamu langsung naik ke motornya ya? Jangan biarkan ia pergi sendiri."

"Tapi bagaimana kalau Non Arum marah ibu nyonya? Saya ta..."

Belum selesai aku bicara, ibu nyonya sudah menyambar.

"Saya lebih marah kalau sampai Non Arum pergi sendiri sementara kamu masih berdiri di sini."

"Bbbaiklah ibu nyonya. Saya akan susul Non Arum."

Aku kembali bergegas. Kali ini menuju garasi. Terlihat Non Arum sedang menuntun sepeda motornya keluar dari garansi.

"Non Arum tunggu. Saya ikut."

Non Arum menoleh. Tapi hanya sekilas. Ia kembali menuntun sepeda motornya. Setengah berlari aku menghampirinya lalu menahan sepeda motornya dari belakang.

"Aduh, kamu apa-apaan sih Isma. Cepat minggir."

"Enggak mau. Nanti ibu nyonya marah. Saya disuruh ikut Non Arum," sahutku.

Non Arum, gadis cantik dihadapanku ini menghela napas kesal. Sesaat kemudian.

"Ya sudah. Cepat buka gerbangnya."

Aku segera membuka pintu gerbang. Setelah itu cepat-cepat duduk manis di atas motor. Dibonceng oleh Non Arum yang melaju dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. 

Mungkin ini yang dikhawatirkan oleh ibu nyonya. Takut terjadi apa-apa. Non Arum anak semata wayangnya. 

Ibu nyonya adalah majikan ibuku.  Aku memanggil ibu nyonya kepada mamanya Non Arum untuk membedakan pemanggilan terhadap ibuku sendiri. 

Aku dan ibu sudah puluhan tahun bekerja di rumah Non Arum. Sejak ia kecil dan tuan masih ada. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Aku lebih tua darinya. Kami tumbuh bersama. Ia anak tunggal. Aku juga. 

Ia anak tuan besar sementara aku hanya anak pembantu. Ibuku terpaksa bekerja sebagai asisten rumah tangga sejak bapak meninggal. Demi kelangsungan hidup kami. Untungnya ibu mendapat majikan yang baik. Sehingga ibu boleh membawa serta aku saat bekerja.

Aku menyebut keluarga ini sempurna. Berkecukupan, baik, dermawan dan tidak sombong. Tetapi laut tak selamanya tenang. Pasti ada riak ombak walau kecil. Bahkan badai yang datang tanpa diduga.

Begitu pula kehidupan mereka. Sejak kematian tuan, kehidupan ibu nyonya sedikit banyak mulai goncang. Ditambah dengan masalah Non Arum yang ingin menikah tetapi calonnya bukan kriteria ibu nyonya.

Ibu nyonya sudah menjodohkan Non Arum dengan kerabat dekatnya. Tentu saja Non Arum tidak mau. Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. 

Proses lamaran sampai tanggal pernikahan sudah ditentukan. Kondisi rumah pun menjadi panas. Non Arum dan ibu nyonya sering cekcok. Puncaknya hari ini. Undangan sudah disebar namun Non Arum ingin membatalkannya. Tentu saja ibu nyonya murka.

"Kamu mau bikin malu mama! Mau melihat mama mati!" 

Non Arum tak menyahut. Tak lama ibu nyonya memanggilku itu. Rupanya Non Arum mau pergi.

"Aduh, maaf Non maaf," teriakku tiba-tiba.

Saat kepalaku membentur kepala Non Arum akibat motor yang berhenti secara mendadak. 

"Makanya jangan nglamun. Cepat turun!" perintah Non Arum.

"Iiiya, Non."

Aku segera turun. Begitu juga Non Arum. 

"Nih, gantian kamu yang di depan bawa motornya," ucap Non Arum dengan entengnya.

"Apa Non? Saya yang bawa motornya? Enggak, enggak. Jangan main-main. Saya enggak bisa naik motor Non," kataku dengan suara panik. 

"Tapi kamu bisa naik sepeda kan?"

"Iya, bisa," sahutku.

"Ya, sudah. Cepat naik. Nanti aku beritahu dari belakang," ujar Non Arum sambil meraih tanganku supaya memegang stang motor. Dan ia melepas tangannya dari stang motor. Tentu saja aku cepat-cepat memegang stang motor tersebut karena motornya oleng.

"Aduh Non. Saya takut."

"Sudah tenang saja. Kamu ikuti saja aba-abaku dari belakang. Naik motor matic itu mudah. Cuma memainkan rem dan gas."

Maka begitulah. Atas instruksi Non Arum, motor yang kukendarai melaju perlahan. Tentu saja agak goyang-goyang. Karena ini pertama kalinya aku naik motor dan langsung di jalan raya. Aku takut bukan main. Sesekali berteriak kalau ada motor yang berlawanan arah. Aku takut jatuh. 

"Kalau bawa motornya seperti ini kapan sampainya? Ayo ambil ke kanan. Fokus ke depan dan tarik gas dengan perasaan."

"Non, saya takut ketabrak. Motor dibelakang kencang-kencang lajunya."

"Biar saja ditabrak. Biar mati sekalian,"sahut Non Arum dengan entengnya.

"Astagfirullah. Jangan bilang begitu Non. Mati bukan akhir dari segalanya.. Justru awal kehidupan yang baru dan abadi," kataku sambil menyelipkan beberapa nasihat agama yang kudengar saat mengaji.

Non Arum diam saja. Aku tak peduli ia mendengar atau tidak. Aku hanya menyampaikan kebenaran yang kuketahui.

Sejak itu Non Arum selalu mengajakku jika keluar rumah. Tentu saja dengan aku yang memegang kemudi alias yang membawa motornya. Tiap kali aku menolak karena takut jatuh. Dengan entengnya ia berujar, "Biar mahir. Kalau sering-sering bawa motor kan cepat bisa kamunya."

Aku mengiyakan dalam hati. Non Arum dengan sabar memberi pengarahan dari belakang.  Sedikit demi sedikit aku mulai luwes membawa motornya. Mulai berani menyalip kendaraan lain. Hubunganku dengan Non Arum pun lebih luwes. Layaknya teman. Ia jadi sering curhat mengenai sikap mamanya. Serta apa yang terjadi di rumah.

Sayang kebersamaan itu tak berlangsung lama. Setelah menikah, Non Arum tinggal dengan suaminya. Terakhir mengunjungi ibu nyonya, terjadi pertengkaran hebat. Non Arum menangis begitu juga dengan ibu nyonya. 

Beberapa hari kemudian ibu nyonya memanggil ibuku. Usai pertemuan itu kami tak bekerja lagi di rumah ibu nyonya. Rumah itu akan dijual dan ibu nyonya pindah ke Semarang untuk tinggal bersama adiknya. Begitu penjelasan ibu.

                               * * * * *

Di satu sisi aku senang. Itu artinya ibuku tak harus bekerja sebagai asisten rumah tangga lagi. 

"Ibu istirahat saja di rumah. Biar aku yang bekerja. Aku akan mencari pekerjaan apa saja yang penting halal," kataku.

Ibu mengiyakan. Tetapi entah dalam hatinya. Karena tak lama ibuku jatuh sakit.

"Badan ibu sakit semua malah kalau tak dibawa bergerak. Ibu mau bekerja lagi ya? Nyuci gosok juga gak apa-apa. Lagi pula ibu kasihan sama kamu yang harus bekerja sendiri  sampai malam."

Hatiku teriris. Siapa yang tega melihat ibunya nyuci gosok di rumah orang? Cukup sekali saja menjadi asisten rumah tangga. 

Dulu kami bertahan lama karena majikan ibu sangat baik. Belum tentu majikan berikutnya akan sama baiknya.

Aku bingung jadinya. Aku memang sudah mendapatkan pekerjaan. Tetapi hanya pelayan toko. Gajinya tak banyak. Waktuku habis tercurah di toko. Kebersamaanku dengan ibu jelas berkurang. Mungkin ibu kesepian.

Setelah memikirkan segala sesuatunya. Kuputuskan keluar dari pekerjaan. Aku akan membuka usaha warung nasi. Biar ibu yang memasak. Aku yang melayani pembeli. Masakan ibu cukup enak. Dengan begini ibu mempunyai kegiatan baru. 

Alhamdulillah ibu setuju. Usaha warung nasi kami pun semakin maju. Dari sini pula akhirnya aku bertemu dengan sang jodoh. 

Atas restu ibu kami menikah. Tak lama  kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang rupawan. Perpaduan wajahku yang manis dan wajah suamiku yang tampan kata ibu.

"Arek iki mbesok gede dadi rebutan loh Nduk. Ganteng lan manis. Koyok ibu bapa'e," ujar ibu saat menimang-nimang anakku.

"Dadio prio sing ngerti lan sayang ambe wong tuo yo ngger."

Aamiin sahutku mendengar ibu mengucapkan kata-kata pengharapan pada anakku. Aku senang melihat rona bahagia di wajah ibu. Kebahagiaan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Namun antonim kata itu benar adanya. Bukan wacana semata. Ketika ada kata bahagia maka ada kata duka di seberang sana. Hal itu yang kemudian kualami. 

Tepat lima tahun usia anakku, ibu meninggal dunia. Suamiku kena PHK. Duniaku seolah runtuh. Aku kehilangan semangat hidup. 

"Ya Allah, dosa apa yang hamba perbuat sehingga Engkau beri cobaan seperti ini," rintihku dalam doa yang terucap.

Kami pindah ke rumah mertua karena suamiku malu dengan tetangga. Ia tidak mau membantu usaha warung makanku. Terpaksa warung itu kututup.

Kupikir ia akan segera mencari pekerjaan lagi. Ternyata hanya makan, tidur dan ngopi saja kerjanya setiap hari. Parahnya, ia mulai keluar malam untuk mabuk-mabukkan. Awalnya aku masih sabar. Tetapi ketika adik ipar mulai nyinyir, aku mulai bersuara.

"Sampai kapan kamu akan begini, Mas? Anak kita mulai sekolah tahun depan. Butuh biaya banyak. Tabunganku mulai habis untuk kebutuhan kita sehari-hari."

"Lagipula adikmu mulai gerah dengan kehadiranku" ujarku.

"Jangan cerewetlah. Aku pusing mendengar celotehmu."

Aku tersentak. Tidak percaya ia akan menghardikku.

"Cerewet katamu? Baru pertama aku bicara seperti ini, Mas. Itu pun karena aku tak tahan dengan sindiran adikmu. Aku bukan benalu. Kamu saja yang tak mau mandiri. Lebih memilih pulang ke rumah orang tua daripada melanjutkan hidup di kontrakan," kataku sambil melipat pakaian yang baru saja kuangkat dari jemuran. 

Tiba-tiba...

"Auuuwwww!"

Aku memekik tertahan karena kaget dan kesakitan. Rambutku dijambak dari belakang.

"Mas, kamuuu..." kataku dengan suara tercekat.

"Sekali lagi kamu menjelek-jelekkan keluargaku. Aku tak segan-segan memukulmu," desis suamiku dengan tangan yang masih menjambak rambut ini dan sebelah tangannya lagi mencengkeram wajahku. 

Setelah itu ia keluar dari kamar sambil membanting pintu. Aku benar-benar shock. Tidak menyangka suamiku yang tampan bisa sekasar ini. Untung anakku sedang bermain di luar. Jadi tidak melihat kelakuan bapaknya. Untung juga ibu sudah tiada. Sehingga tidak melihat anak semata wayangnya diperlakukan seperti ini.

Mengingat ibu, air mataku jatuh. Aku menangis. Ibuku saja tidak pernah mencubit. Suami yang baru lima tahun bersama malah tega menyakitiku. Hatiku sakit sekali diperlakukan seperti ini. Hanya salat dan sabar yang bisa kulakukan.

Tetapi ketika suamiku berani memukul hanya karena fitnah yang dilontarkan adiknya. Kesabaranku hilang.

"Ceraikan aku! Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku akan keluar dari rumah ini. Anak aku bawa!" teriakku.

Dengan menggendong si buah hati dan menjijing tas berukuran sedang, aku mencium tangan ibu mertua. Meski hati ini enggan. Aku tetap pamit dengan sopan.

Herannya, mereka semua diam saja. Mungkin mereka menganggap aku beban. Tidak bekerja, memiliki anak pula. Jadi keluarnya aku dari rumah justru meringankan beban.

                                * * * * *

Ya, Allah. Batinku merintih. Suami yang seharusnya mengangkat derajat kami justru berkelakuan bejat. Benar, mabuk dan judi itu bisa membutakan mata hati orang. Aku korbannya.

Aku jadi memahami, kenapa ada perceraian? Kenapa ada orang yang ingin bunuh diri? Karena tak kuat menanggung beban hidup yang berat.

Bayangkan? Tidak punya pekerjaan, tak punya sanak saudara, tak punya tempat tinggal, harus menghidupi anak. Aku yang hanya memiliki satu anak saja pusing. Apalagi mereka yang memiliki banyak anak?

Tetapi anak merupakan amanah dari Allah. Seperti apapun kondisinya, aku harus menjaga amanah ini. Dengan uang tabungan rahasiaku. Aku mulai menata hidup.

Mencari kontrakan, mencari sekolah yang baik agar anakku terjaga dan terarah. Aku pun bisa bekerja dengan tenang. Aku harus mencari uang tetapi waktu dengan anak tetap terjaga. Aku tidak ingin ia terabaikan akibat kesibukanku mencari uang. Tapi kerja apa?

Tiba-tiba tukang ojek online melintas di depanku. Seketika itu juga kuputuskan untuk menjadi tukang ojek online. Itu pekerjaan yang tepat pikirku. Waktu kerjanya bisa kuatur sendiri. Semangatku berkobar merencanakan semua  itu.

Begitu sadar tak memiliki motor, perasaan ku seperti dihempaskan dari ketinggian. Untung pemilik kontrakannya baik, berkat bantuannya aku bisa membeli motor bekas dengan sisa tabungan yang ada.

Puluhan tahun aku berjuang di jalanan demi anak. Tak terlintas untuk menikah lagi. Trauma. Alhamdulillah aku dikaruniai anak yang baik dan pintar. Bea siswa di perguruan  tinggi ternama ia sabet. Aku teringat ibu. Anakku seperti ini lantaran doa ibu juga. Ibu. Aku menangis menyebut namanya.

Tangis dari segala tangis adalah saat melihat anakku mengenakan toga. Di sebuah gedung yang megah. Di antara orang tua lain yang bisa jadi mereka adalah pengusaha dan orang-orang berada. Aku berdiri menyaksikan anakku wisuda. 

Bibirku bergetar kala menyebut satu nama. Nona majikan. Di manakah dia kini? Jasanya luar biasa.  Berkat dirinya aku bisa naik motor. Bisa menjadi ojek online. Hingga bisa menghantar anakku meraih gelar sarjana. (EP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun