Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Absensia: Tawaran Berteologi dalam Konteks Postmodernisme

18 Juli 2020   23:41 Diperbarui: 18 Juli 2020   23:43 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

            Selanjutnya ialah Ludwig Wittgenstein. Dalam bukunya yang pertama; "Traktatus Logico-Philosophicus" ia mengatakan sesuatu tentang bahasa yaitu bahwa bahasa menggambarkan dunia. Dari sini muncullah gerakan filsafat Logical Positivism, yaitu aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan.[7]

 

            Dalam perjalanan waktu, Wittgenstein meralat pandangannya di atas yang mengatakan bahwa bahasa memiliki tujuan tunggal yaitu menggambarkan realitas. Ia memunculkan konsep bahasa yang baru yaitu permainan bahasa. Ia mengatakan bahwa bahasa memiliki konteks atau aturan mainnya masing-masing. Contoh bahasa dalam permainan ialah bahasa doa, minta pertolongan dan perasaan cinta.

 

            Permainan bahasa Wittgenstein adalah bentuk penolakan atas kebenaran objektif. Ia tidak setuju bahwa kebenaran itu selaras dengan realitas di luar. Baginya, kebenaran hanyalah sebuah fungsi internal dalam bahasa yaitu terkait dengan konteks di mana bahasa itu dipakai. Segala usaha manusia untuk mencari dan menyatakan kebenaran yang mutlak adalah sia-sia. Yang ada hanyalah perkataan-perkataan belaka. Pernyataan yang benar hanya dalam konteks di mana perkataan itu diucapkan.

 

            Selain dari pada mereka, Ferdinand de Sausure juga berusaha menghancurkan historisisme bahasa kaum modern. Ia mengatakan bahwa bahasa sebagai kebiasaan sosial. Maka perlu kiranya suatu pendekatan anti-historis. Dalam pendekatan ini, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa pemikiran Sausure ini mengarah pada paham strukturalisme.[8]

 

            Selain dari pada pemikir-pemikir postmodern, kaum poststrukturalis juga bereaksi atas pandangan masyarakat modern tersebut. Michael Foucault mengkritik paham masyarakat modern dengan mengatakan bahwa bahasa bukanlah dari manusia tetapi manusia adalah bagian dari bahasa. Menurutnya, kebenaran adalah hasil kesepakatan dari golongan tertentu yang berkuasa demi kepentingannya. Selain dia, ada juga Jacques Derrida yang mengkritik logosentrisme dan metafisika kehadiran. Menurutnya arti kata tidak pernah statis atau tunggal. Arti kata selalu berubah sepanjang waktu bersamaan dengan perubahan konteks. Maka perlu menunda arti atau makna bagi suatu kata.[9]

 

            Martin Heidegger berkata lain. Menurutnya bahasa itu memiliki fungsi revelasi seperti halnya dalam bahasa puisi. Bahasa haruslah menjadi tempat nyaman bagi kebenaran. Maka bahasa yang baik adalah bahasa metaphor. Bahasa yang berintikan metaphor adalah bahasa yang menungkapkan kebenaran. Ada kesadaran baru bahwa realitas pasti sudah terbahasakan. Karenanya saat hendak menyampaikan kebenaran, seseorang harus menyampaikannya melalui bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun