Â
      Selama ini teologi hanya mengenal dua relasi yaitu afirmasi (teologi positif, katapatif) dan negasi (teologi negatif, apopatif). Dalam relasi ini bahasa dirasa sanggup menangkap realitas namun kenyataannya tidak demikian. Allah sebagai suatu realitas tertinggi justrus tidak dapat dibahasakan. Hal ini jelas bertolak belakang karena para penganut-Nya mengamini bahwa Ia bisa dialami karena senantiasa memberikan diri-Nya tersentuh dalam sejarah hidup manusia. Lantas bahasa teologi yang ada menjadi bahasa yang bisu di hadapan kenyataan-kenyataan manusia yang ambigu.
Â
      Kini teologi menggunakan bahasa metaforis dan atau modelis, yaitu bahasa yang berada di antara bahasa katapatif dan apopatif. Melalui bahasa ini teologi diberi kesadaran bahwa saat hendak berkata-kata mengenai Allah serentak mengindikasikan bahwa kata-kata tersebut terbatas. Inilah paradigma absensia yang mengetahui Allah dalam segala hal namun serentak membedakannya dari segala hal. Allah diketahui melalui pengetahuan dan melalui ketidaktahuan. Artinya ialah mengetahui bahwa kita tidak mengetahui.
Â
      Allah yang dipahami dan dihayati dalam teologi absensia adalah adalah yang hadir dalam peristiwa-peristiwa kenotik, Allah mengosongkan Diri: Allah mengabsensikan kehadiran-Nya. Singkatnya Allah yang misteri itu dimengerti sebagai Cinta. Allah berbahasa kenotik dan manusia menanggapi dengan bahasa absensia.
Â
      Dalam teologi absensia ini, segala ambiguitas dan paradox pengalaman dapat terwadahi dengan baik. Teologi absensia akan melihat bahwa paradox ini bukan lagi sebagai pilihan ini atau itu melainkan sebagai hadiah atau anugerah. Allah mungkin akan selalu tetap tak terpikirkan tetapi Ia juga adalah Allah yang memberikan Diri sepenuh-penuhnya, yang membuka lebar-lebar pintu rumah-Nya.
Â
      Akhirnya, melalui paradigma absensia persoalan mengenai Allah tidak diletakkan dalam posisi afirmasi atau negasi melainkan cinta. Kita diminta untuk berorientasi pada Cinta tersebut. Orientasi tersebut hanya dimungkinkan jika kita berpartisipasi dalam cinta dan partisipasi di dalam cinta itu tidak bisa tidak selain melakukan cinta itu sendiri. Alasannya ialah karena satu-satunya kriteria kebenaran untuk apa yang disebut cinta adalah, meminjam istilah Agustinus, facere veritatem. Dengan cinta yang terlakukan itulah kita berelasi dengan Allah yang adalah Sang Maha Cinta.
Â