Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Absensia: Tawaran Berteologi dalam Konteks Postmodernisme

18 Juli 2020   23:41 Diperbarui: 18 Juli 2020   23:43 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

            Paradigma absensia adalah paradigma cinta; bahasa absensia adalah bahasa cinta; Allah dalam teologi absensia adalah Cinta.Dalam cinta, manusia didorong sampai pada batas-batas yang mungkin, sepenuhnya berkembang melalui kemampuan kita, melampaui kekuatan kehendak kita dan mendorong sampai pada titik di mana hanya gairah iman, harapan dan cinta sendirilah yang menyala-nyala. Kebenaran cinta adalah melakukan cinta. Cinta hanya bisa dimengerti ketika dilakukan dalam hidup. Pada akhirnya, cinta akan menggiring manusia pada tindakan tulus untuk terbuka terhadap yang lain, yang asing dan yang berbeda.

 

            Selain cinta, term lain yang cukup mampu mencerminkan paradigma absensia adalah kata "tanpa" (without). Tanpa ialah sebuah kata yang persis berada di tengah antara kata "adalah" (is) dan "bukan" (is not). Karena berada di tengah, ia bukanlah is dan juga bukan is not. Kata "tanpa" ini hendak merangkul kedua kata yang lain tersebut. Hal itu bisa dimengerti demikian; God is being adalah pernyataan afirmatif (teologi positif), dan pernyataan "God is not being" adalah pernyataan negatif (teologi negatif) sedangkan "God without being" adalah rangkulan kedua pernyataan di atas. Walaupun ia merangkul namun ia juga serentak menyangkal kedua pernyataan tersebut. Pernyataan dengan kata "tanpa" ini hendak menegaskan bahwa dalam pernyataan itu tersingkap suatu pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar yang bisa dinyatakan. Inilah Allah yang dalam paradigma absensia. Ia adalah Allah yang jauh melampaui dari segala sesuatu yang bisa dipikirkan manusia tentang-Nya.[18]

Mencintai Misteri

            Dalam teologi absensia Allah itu tetaplah misteri dan karenanya kita diundang untuk tetap mencintai misteri ini. Kita mencintai bukan dengan mengerti atau memahami namun untuk mengenal-Nya. Kemisterian Allah bukanlah terletak pada diri-Nya sendiri sebagai yang misteri tetapi hendak menunjukkan keterbatasan manusia dalam rasionalitas dan bahasanya untuk mengenal Allah.Keterbatasan manusia inilah yang membuat Allah itu menjadi misteri sementara Allah telah menyingkapkan diri-Nya untuk dikenal manusia.Kegiatan mencintai misteri ini dapat dilakukan dengan berdoa. Dalam doa kita memang tidak menyebut dan memperkatakan Allah tetapi memanggil-Nya.

            Sejalan dengan ini, Emanuel Levinas juga memberikan suatu penjelasan yang membuat teologi mampu mengajak manusia untuk senantiasa setia mencintai yang misteri tersebut. Bagi Levinas, Allah adalah misteri. Oleh karena Allah adalah misteri, maka mencintai Allah adalah mencintai misteri itu sendiri. Kemisterian itu bisa dirasakan (dialami) dalam pengalaman perjumpaan manusia dengan sesamanya. Dalam perjumpaan itu, manusia bisa menyadari adanya pihak ketiga yang selalu hadir namun berlalu begitu saja, yaitu Allah atau jejak Allah dalam diri sesama. Kesadaran akan jejak ini mengantar manusia pada struktur relasi yang tidak saling memanfaatkan. Struktur inilah yang bisa disebut sebagai situasi cinta. Bagi Levinas, walau Allah adalah misteri namun jejak-Nya tetap bisa kita rasakan dalam perjumpaan dengan sesama.

            Di sisi lain, dengan konsep ini, Levinas mengingatkan bahwa Allah bukanlah sebuah fenomena yang tampak di hadapan manusia, hadir di depan wajah manusia yang bisa diobservasi, dirumuskan atau ditematisasikan. Allah tetaplah misteri. Di hadapan yang misteri ini dimungkinkan terciptanya rasa takjub yang bisa menenggelamkan manusia ke dasar misteri, bersentuhan secara lebih intim dalam relasi dengan misteri itu sendiri. Rasa takjub tidak menuntut pengetahuan logis namun lebih kepada ajakan untuk terus-menerus mencari dan menghasrati.

            Selain Emanuel Levinas, seorang fenomenolog, Michel Henry juga mengatakan sesuatu yang lebih jauh dari sekedar perkara kemisterian Allah. Ia mengatakan bahwa Allah adalah Hidup itu sendiri. Karenanya, pencarian akan Allah yang sesungguhnya berarti pencarian akan sesuatu yang selama ini dialami dalam hidup namun sering terabaikan. Maka bagi Henry, perkara teologi adalah perkara pengalaman hidup itu sendiri. Berteologi berarti perkara gerak kembali kepada hidup itu sendiri yang terbentang luas dengan segala paradoks, ambiguitas, tegangan atau ketidakmungkinan. Singkat kata, teologi itu haruslah mengarah pada hidup dengan segala misterinya.[19]

Pencapaian Paradigma Absensia

            Paradigma absensia merupakan paradigma baru dalam berteologi. Melalui paradigma ini ada dua kesimpulan yang akan tercapai. Pertama adalah bahwa Allah senantiasa mengkomunikasikan Diri melalui getar-getar pengosongan diri dan teologi memberi nama getar-getar transendental itu sebagai getar-getar kenotik. Ini berarti pergaulan manusia dengan Allah selalu ada dalam wilayah pengalaman kenositas Allah.[20]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun