Sepeninggal Gareng Cak Geoebg berpikir. Kalau perbuatan korupsi tidak disudahi mulai sekarang, mulai detik ini, kapan korupsi benar-benar hilang dari negeri ini? Revolusi mental mutlak diperlukan. Tapi harus ada yang bisa dijadikan sebagai tuladha. Sebagaimana kata pepatah, ing ngarso sung tuladha. Kalau tidak, percuma saja revolusi mental digaungkan di mana-mana. Sebab jika tuladha yang digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi ternyata terbukti melakukan korupsi, siapa lagi yang bisa dijadikan tuladha. Apalagi kalau sampai dipolitisasi dan dikriminalkan.
Atau, jangan-jangan korupsi adalah anak jadah kebudayaan negeri kita. Dia merupakan hasil persetubuhan kemajuan, kebutuhan, dan kesempatan. Dan sekian motif-motif lain yang dapat dilekatkan padanya. Maka ketika ada yang menuding si anak jadah itu, orang dapat berkata: itu adalah jerih payah kekilafan manusia. Tapi ketika dibutuhkan, si anak diberi makan kenyang dan disuruh ini-itu untuk keuntungannya sendiri.
Cak Gepeng menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai berat memikirkan hal itu. Dia tidak sadar ketika pamit tadi tangan Gareng menyahut sebungkus rokoknya yang ditaruh di atas meja. Ketika hendak menyalakannya sebatang Cak Gepeng baru sadar dan memaki: sontoloyo!
“Mbah, Mbah, mengapa kok ndremimil dewe?” ledek Sri yang tengah menidurkan anaknya. “Iku, Le, Simbah tengah merapal mantra,” godanya lagi.
“Mantra tundung isin!” balas Cak Gepeng menanggapi banyolan dari anaknya. “Sudah sana, segera bawa masuk anakmu. Tidak baik anak kecil di luar malam-malam.”
“Aku macih cumuk, Mbah. Nanti kalau sudah medem aku pindah ke dalam,” balas Sri menirukan suara anak-anak yang masih cadel. Sedang di gendongannya Alfareza masih belum terpejam. Sepertinya dia heran dengan apa yang sedang dikerjakan Cak Gepeng malam-malam begini di teras sendirian. “Apa yang dikerjakan Simbah? Mengapa dia duduk-duduk di luar sendirian?” pikirnya barangkali.
Sore tadi sepulang kerja Cahyo mengajaknya mampir ke warung kopi langganan mereka. Cak Gepeng tidak menolak meski mengatakan ‘mblokek kopi’. Lagipula siapa tahu ada hal penting yang hendak dibicarakan Cahyo yang tidak dapat dibahas di tempat kerja karena ada kawan-kawan yang lain.
Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Usut punya usut, Cahyo tengah bertengkar dengan istrinya. Karena itu dia malas pulang dan menghabiskan waktunya di warung kopi.
“Oalah, Le, Le! Tinggal bersama dalam satu atap kenapa pakai acara nggondok-nggondokan. Kowe nggondok lalu malas pulang. Terus kalau istrimu nggondok apa juga malas pulang?”
“Ngobrol yang lain saja, Mbah. Stress saya. Coba dengar cerita saya. Kemaren Rudi katanya dapat borongan proyek pemerintah. Menggelar sebuah pameran di tengah kota. Aku diajak, mau diberi pekerjaan dekorasi.
“Rejeki, batinku. Tapi jika aku ingat-ingat, aku merasa was-was mendapat pekerjaan seperti itu. Aku khawatir tersandung ketika mengerjakan proyek-proyek seperti itu, tersandung kwitansi blong.”