“Mbah, Mbah, mengapa kok ndremimil dewe?” ledek Sri yang tengah menidurkan anaknya. “Iku, Le, Simbah tengah merapal mantra,” godanya lagi.
“Mantra tundung isin!” balas Cak Gepeng menanggapi banyolan dari anaknya. “Sudah sana, segera bawa masuk anakmu. Tidak baik anak kecil di luar malam-malam.”
“Aku macih cumuk, Mbah. Nanti kalau sudah medem aku pindah ke dalam,” balas Sri menirukan suara anak-anak yang masih cadel. Sedang di gendongannya Alfareza masih belum terpejam. Sepertinya dia heran dengan apa yang sedang dikerjakan Cak Gepeng malam-malam begini di teras sendirian. “Apa yang dikerjakan Simbah? Mengapa dia duduk-duduk di luar sendirian?” pikirnya barangkali.
Sore tadi sepulang kerja Cahyo mengajaknya mampir ke warung kopi langganan mereka. Cak Gepeng tidak menolak meski mengatakan ‘mblokek kopi’. Lagipula siapa tahu ada hal penting yang hendak dibicarakan Cahyo yang tidak dapat dibahas di tempat kerja karena ada kawan-kawan yang lain.
Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Usut punya usut, Cahyo tengah bertengkar dengan istrinya. Karena itu dia malas pulang dan menghabiskan waktunya di warung kopi.
“Oalah, Le, Le! Tinggal bersama dalam satu atap kenapa pakai acara nggondok-nggondokan. Kowe nggondok lalu malas pulang. Terus kalau istrimu nggondok apa juga malas pulang?”
“Ngobrol yang lain saja, Mbah. Stress saya. Coba dengar cerita saya. Kemaren Rudi katanya dapat borongan proyek pemerintah. Menggelar sebuah pameran di tengah kota. Aku diajak, mau diberi pekerjaan dekorasi.
“Rejeki, batinku. Tapi jika aku ingat-ingat, aku merasa was-was mendapat pekerjaan seperti itu. Aku khawatir tersandung ketika mengerjakan proyek-proyek seperti itu, tersandung kwitansi blong.”
“Blong bagaimana? Blong seperti rem?”
“Kira-kira seperti itu, Mbah. Aku mau mengerjakan, syaratnya cuma sebagai pelaksana. Kalau menyangkut soal pembayaran dan sebagainya aku tidak mau. Apalagi jika nanti diminta setor kuitansi. Tambah lagi kuitansi yang disetorkan blong. Tapi dia memaksa aku menyerahkan kuitansi jika menerima pekerjaan itu. Sebab aku dijadikan sebagai vendor dalam proyek itu.”
Cak Gepeng mendengarkan Cahyo berbicara tentang Rudi dan proyek penyelenggaraan pameran yang didapat oleh Rudi. Boleh dikatakan yang bernama Rudi orangnya tergolong multi talenta. Proyek-proyek mulai dari pengerjaan taman, dekorasi panggung, event organizer, sampai pekerjaan pembangunan gedung pun dia kerjakan. Kadang dia mengerjakan proyek dengan menggunakan bendera temannya. Kadang temannya mengerjakan proyek dengan meminjam benderanya. Kadang dia ikut tender dengan menggunakan bendera rekanannya. Juga sebaliknya. Pendeknya, si Rudi ini terbilang ulet di bidangnya.
Di rumah, Cak Gepeng teringat kata-kata Cahyo tentang kuitansi-kuitansi blong di warung kopi tadi. Kuitansi-kuitansi blong yang mungkin beredar di proyek pemerintah. Entah apakah maksud kata ‘blong’ yang digunakan itu sebagai kosong dalam artian kuitansi yang sudah ditandatangani dan bermaterai tapi nilai nominalnya kosong. Atau kata ‘blong’ lebih mengacu pada kata dijarah seperti yang digunakan pada kalimat ‘rumahnya baru saja diblong maling’.
Yang jelas di mana ada kuitansi blong, di situ ada angka-angka yang dimetaforakan, dilebih-lebihkan, atau dibuat seolah-olah menyerupai sesuatu yang mirip dengan yang dimaksud.
“Aku kira otak-atik metafora hanyalah pekerjaan para penyair,” celoteh Cak Gepeng.
Maka ketika orang yang menandatangi dan menyerahkan kwitansi blong diminta menjadi saksi di muka pengadilan, pernyataan mereka akan berbunyi: tidak pernah menerima sejumlah uang yang tertera dalam “kwitansi telah terima dari ning ning ning uang sejumlah nong nong nong untuk pembayaran gung gung gung pada tanggal sekian yang ditandatangai oleh saksi.”
Malam ini Cak Gepeng sengaja tidur agak larut. Dia ingin mengetahui apakah benar ada kuitansi blong berseliweran pada proyek pemerintah. Karena itu dia rapal lagi mantra-mantra yang pernah diajarkan oleh guru spiritualnya dulu. Lalu dengan menggedrukkan kakinya ke tanah muncul sosok lelaki berhidung panjang dengan tangan memegang perut yang mulai membuncit. Petruk.
“Ada kabar apa, Truk, Petruk?”
“Njenengan itu, lho, hari raya tidak memberi THR, imlekan tidak ada angpo, sekarang tiba-tiba memanggil terus bertanya ada kabar apa. Mbok ya bertanya, Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Ya sudah, aku ulang. Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Belum, Mbah.”
“Kenapa belum makan?”
“Dimarahi romo, Mbah.”
“Dimarahi? Kenapa?”
“Tabung elpijin romo saya rombeng.”
“Salahmu sendiri kalau sekarang jadi lapar.”
“Iya, Mbah, memang saya salah. Kalau pun benar tapi tidak ada orang yang tahu. Jadi tetap saja salah. Kalau tahu seperti ini, baju Raden Gatotkoco tidak usah saya kembalikan dulu.”
“Sudah, sudah! Kalau lapar segera pergi ke dapur. Mumpung sayurnya baru saja dipanasi.”
“Tidak, Mbah. Itu tadi saya hanya bercanda. Apa iya saya setega itu menjual elpiji romo.”
“Dasar!”
Petruk terkekeh sambil mengambil sebatang rokok di atas meja. Setelah menyalakannya dia duduk di sebelah Cak Gepeng. Dua lelaki dari dua dunia yang berbeda itu segera asyik dalam perbincangan hangat. Seolah-olah kawan lama yang sudah sekian tahun tak saling jumpa.
“Persoalan kuitansi blong,” kata Petruk memulai ceritanya. “Kalau dibilang ada memang benar-benar ada, tapi jika dibuat tidak ada memang kenyataannya tidak ada. Contoh seperti kasus korupsi road show yang diadakan di kota Balikpapan. Seandainya kasus tidak terbongkar, tentu tidak ada cerita tentang kuitansi blong. Yang ada hanyalah suksesnya kegiatan. Padahal menurut hukum ekonomi, suksesnya kegiatan promosi penanaman modal bergantung pada seberapa cepat dan seberapa banyak modal itu kembali dan mendatangkan keuntungan berlipat. Kota yang dipromosikan dalam waktu singkat akan menjadi tujuan pemodal untuk menanamkan investasi di kota itu. Itu kalau saya tidak salam membaca, Mbah.
“Pertanggunjawaban selain secara administratif dalam LPJ, juga harus ada pertanggungjawaban secara ekonomi. Misalnya setahun, dua tahun, atau beberapa tahun lagi terbukti pameran yang diselenggarakan mampu mendatangkan orang-orang dari luar untuk menanamkan modal di kota yang dipromosikan. Tidak hanya megah pamerannya, tapi kosong hasilnya.
“jadi sebelum road show terbukti sukses, sudah terbukti dijadikan ajang bancakan. Ya melalui kuitansi-kuitansi blong yang Anda tanyakan tadi.”
“Bicaramu seperti orang intelektuil, Truk. Apa benar ada persoalan seperti yang kau ceritakan itu?”
“Ini kejadian nyata, Mbah. Setidak-tidaknya, kejadian nyata di dunia pewayangan. Sekarang kasusnya sudah jelas. Den Bagus Dursara (siapa lagi ini, pikir Cak Gepeng) yang memegang jabatan sebagai kepala jawatan penanaman modal sudah tertangkap. Mitra kerjanya, Durasta, yang mandegani perkumpulan depot dan losmen sudah tertangkap. Durgandha yang menjadi pelaksana teknis yang mengundang artis ibu kota juga sudah ditangkap. Persoalan kuitansi blong iku persoalan sepele, Mbah.”
“lalu, yang bukan persoalan sepele apa, Truk, Petruk?”
“Bab sulapan, Mbah. Pagu anggaran yang semula seratus lima puluh enam juta untuk tujuh pameran berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Bayangkan, Mbah, dari seratus lima puluh juta untuk satu pameran, berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Kalau bukan sulapan, apa namanya ini, Mbah?
“Kemudian pagu anggaran yang semestinya melalui tender atau lelang untuk menentukan pelaksananya, tapi langsung ditunjuk menggunakan dasar MoU. Sulapan Limbad kalah, Mbah. Limbad paling-paling hanya bersulap di hadapan penonton. Lha ini, sulapan penontonnya seluruh Indonesia raya. Dan yang dibuat sulapan itu uang rakyat, uang rakyat.”
“Aduh, Truk, bicaramu ndakik-ndakik. Tiga milyar tujuh ratus jika dirupakan uang seberapa banyak?”
“Bisa dipakai untuk selimut kalau Anda kedinginan, Mbah. Dana sebesar itu semestinya harus dilakukan lelang. Akan tetapi proyek iki diswakelolakan. Den Mas Suyudono yang menjabat Walikota Ngastinapura membuat MoU bersama Durasta yang berbunyi optimalisasi potensi investasi daerah di wilayah Astinapura dan kerjasama promosi penanaman modal.”
“Kemudian rayi Den Bagus Dursasana yang menjabat sebagai kepala inspektorat Ngastinapura juga setuju dengan ucapan kangmas Suyudana. Bahkan konon, Den Bagus Dursanana yang memberikan usul seperti itu.”
Lalu Petruk bercerita panjang lebar mengenai proyek road show kegiatan promosi dan kerjasama investasi “shining Astinapura investment exhibition 2014 yang menggunakan dana anggaran kota Astinapura tahun 2014 itu. Dalam uraiannya itu sesekali Petruk menggeleng-gelengkan kepala.
Dia masih tak habis pikir dengan keterangan yang dikemukakan oleh salah seorang saksi. Saksi tersebut mengungkapkan bahwa ada dana dari anggaran itu yang diberikan untuk sebuah tim sepakbola dan SKPD-SKPD sejumlah sekian, untuk Dewan sejumlah sekian, dan untuk si kuli tinta sekian, dan sewa pesawat non-budgeter untuk sarana transportasi Pak Wali.
Petruk tidak mengetahui kebenaran hal yang diungkap oleh salah seorang saksi itu. Apakah hakim menjadikan pihak-pihak yang disebut itu sebagai saksi atau tidak, Petruk tidak tahu. Perut Petruk terasa mual mendengar keterangan selama persidangan sehingga dia harus meninggalkan ruang sidang sebelum waktuya. Pertanyaan ‘apakah uang-uang itu, jika benar ada, seperti semacam upeti yang mesti diserahkan’ mengaduk-aduk perut Petruk saat itu.
“Kalau seperti itu ceritamu, Truk, Petruk, apa aku boleh curiga terhadap proyek-proyek yang dilaksanakan saat ini? Mulai dari penggelembungan anggaran hingga kuitansi-kuitansi blong.”
“Curiga boleh, tapi jangan sampai kecurigaan itu menyebabkan pembangunan negeri ini macet. Yang bisa dilakukan adalah ikut aktif mengawasi proyek-proyek yang tengah dikerjakan. Jadi proyek itu bisa transparan. Caranya bagaimana? Yang paling mudah, kalau menjadi vendor atau bintang tamu, jangan mau bertandatangan di atas kuitansi kosong.”
“Tapi jika yang mengawasi disuguhi roti terus jadi mengantuk bagaimana, Truk? Apalagi pulangnya dapat sangu. Ya, lebih enak ikut, brow.”
“Tidur saja, Mbah, sudah mengantuk! Anda membuat saya iri, yang diomongkan sangu terus” kata Petruk sambil menyentil rokoknya jauh-jauh lalu berdiri hendak meninggalkan Cak Gepeng.
“Sebentar! Sebentar! Kamu mau pergi ke mana?”
“Lha, sudah selesai bukan cerita saya? Anda kalau ingin Petruk bercerita, jangan hanya disuguhi kopi dan rokok. Pulang-pergi membutuhkan bensin, Mbah,” kata Petruk sambil terkekeh. Lalu dalam sekejap dia pun melesat ke langit dan lenyap.
Tinggal Cak Gepeng seorang di teras. Tapi dia tidak sendirian. Bagong dan Gareng sedari tadi bersembunyi di balik atap rumah mendengarkan perbincangan mereka. Cak Gepeng mengetahuinya dan membiarkan kedua penekawan itu asyik dalam persembunyiannya.
“Hayoh, segera keluar kalau tidak ingin aku lempar teklek!”
“Ajauw, Mbah,” teriak Gareng yang lalu turun dari atap.
“Mana temanmu yang satu lagi? Kenapa dari tadi mengintip tidak mau turun?”
“Bagong pulang, Mbah, takut ketahuan Petruk. Maksudku tadi kalian aku kageti, tapi kok sepertinya sedang serius. Jadi batal. Bagong sampai tertidur. Lha, ketika tahu Petruk melesat tat tit, Bagong kaget kemudian menyusul pulang.”
“Kamu tidak ikut pulang?”
“Anu, Mbah, itu...” kata Gareng sambil menunjuk gelas kopi yang telah habis.
“Hmm, tidak kakak tidak adik sama saja! Tunggu, sebentar lagi dibuatkan kopi. Aku bangunkan dulu mbah putrimu biar memasak air. Sekarang kamu duduk dulu di sini, ada yang hendak aku tanyakan,” kata Cak Gepeng yang lalu masuk ke dalam.
“Bertanya apa, Mbah?” tanya Gareng setelah Cak Gepeng kembali duduk bersamanya.
“Soal yang dibicarakan Petruk tadi apakah benar? Aku tidak percaya pejabat-pejabat tinggi bertindak jahat. Seharusnya jabatan itu menyandang sifat satria. Mestinya sekolahnya tingga dan ilmunya ngedab-edabi jika sudah memegang jabatan kepala jawatan penanaman modal atau pun kepala inspektorat. Apalagi sekelas Walikota Ngastinapura.”
“Jangan mudah heran, Mbah,” kata Gareng sambil menerima segelas kopi dari Yu Supi, istri Cak Gepeng, yang cemberut karena dibangunkan malam-malam. “Maturnuwum, Mbah Putri. Belum tidur jam segini?”
“Gara-gara kamu aku jadi bangun. Bertamunya apa tidak kurang larut? Meski orang jauh kalau bertamu juga harus tahu waktu.”
“Kok, kawulo yang dimarahi. Lha ini Mbah Kakung yang memanggil kemari.”
“Modelmu! Sama saja kalian berdua. Sudah jangan bangunkan aku lagi. Aku mau tidur.”
“Sumonggo, Mbah Putri, hehehe,” imbuh Gareng sambil cengar-cengir.
“Jangan mudah heran, Mbah,” Gareng melanjutkan. “Di zaman yang banjir bantuan dan modal dari luar negeri ini tidak ada yang tidak mungkin. Ada anggaran yang harus diserap. Ada anggaran yang harus dikelola. Ada anggaran yang harus dihabiskan. Ketersediaan itu harus dimanfaatkan. Mungkin orang-orang yang mengelola uang ratusan juta itu sadar program-program yang diadakan tidak membawa banyak manfaat.
“Karena itu daripada uang itu habis tak berbekas, lebih baik masuk kantong sendi. Siapa tahu bisa dirupakan mobil. Siapa tahu bisa diwujudkan dalam bentuk tanah. Siapa tahu bisa diputar menjadi saham yang menguntungkan. Siapa tahu juga bisa dijadikan modal maju jadi calon Bupati atau Gubernur. Kalau diberikan kepada anda atau saya, apa hasilnya? Paling-paling habis buat makan sehari-hari.”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan itu, Reng, Gareng?”
“Saya ini merasa kasihan terhadap Den Dursara. Baru saja menjabat sebagai kepala penanaman modal, sudah tersandung kasus korupsi. Meski pun saya tidak mendapat bagian proyek, tetap saja saya merasa trenyuh. Jelek-jelek begini, saya juga pernah ikut proyek yang dikerjakan Den Dursara. Den Dursara hanya menjalankan perintah kang bagus Suyudana. Seharusnya kang baguse itu juga harus diperiksa. Dijadikan saksi. Dan jika perlu diusut. Sebab yang memilih Durasta, yang mengepalai perkumpulan depot dan losmen di Astino, ya kang bagus Suyudono.
“Tidak adil namanya jika kang bagus Suyudono tidak terciprat tlutuhnya. Belum lagi rayi tercinta rayi bagus Dursasana yang menjabat sbeagai kepala inspektorat. Seharusnya semua orang yang terlibat dimintai pertanggungjawaban.
“Konon rayi bagus Dursasana berkata kepada Den Dursara: ‘Sudah dilaksanakan saja, kalau ada masalah kan walikota ikut bertanggungjawab menyelesaikan, beliau tidak mau kegiatan ini ditunda lagi’. Tapi kata-kata ini hanya konon, lho, Mbah.”
“Terus maksud kamu Suyudono juga harus diselidiki?”
“Siapa yang berani? Eyang Bisma matanya langsung melotot jika ada yang membicarakan kang bagus Suyudono. Sepertinya sang prabu tidak boleh diganggu gugat. Eyang Bisma memutuskan, perkara ini harus berhenti sampai Den Bagus Dursara, Durasta, atau Durgandha. Jika perlu si anak kusir suryaputra, Karna, dilibatkan. Atau Durmuka, Bogadenta, Kertarmarma. Siapa saja, asal jangan Suyudono. Sebab Suyudono merupakan simbol negara Astinapura. Jika sampai simbol negara tersandung kasus korupsi, lalu pejabat-pejabat di bawahnya seperti apa? Apa kira-kira tidak mencontoh pimpinannya?”
“Sudah, Reng, Gareng, diam dulu! Kepalaku jadi pusing. Lalu Sengkuni ke mana kok tidak nampak batang keningnya?”
“Jangan Sengkuni, Mbah. Kasihan tokoh satu ini. Dalam Baratayudho sudah dijelek-jelekkan, apa tega di zaman twitteran masih kebagian yang jelek-jelek.
“Jadi, Mbah, begini pesanku. Jika diajak mengerjakan proyek, jangan ditolak. Itu namanya rezeki. Tapi kalau diminta menyerahkan kuitansi blong atau kuitansi kosong, jangan mau. Semoga selalu diberi keselamatan. Semoga esok orang-orang menjadi sadar, jika menyerahkan kuitansi penagihan itu yang bisa dibaca oleh orang banyak, alias diisi dengan nilai nominal yang jelas. Jangan hanya bisa dibaca oleh orang yang sudah tinggi ilmunya, alias tulisannya tidak kelihatan.”
Begitu kalimat terakhir Gareng yang ditutup dengan tawa. Lalu setelah menyeruput kopinya yang penghabisan, dia pamit pada Cak Gepeng. Kemudian melesat terbang, kembali ke alam pewayangan.
Sepeninggal Gareng Cak Geoebg berpikir. Kalau perbuatan korupsi tidak disudahi mulai sekarang, mulai detik ini, kapan korupsi benar-benar hilang dari negeri ini? Revolusi mental mutlak diperlukan. Tapi harus ada yang bisa dijadikan sebagai tuladha. Sebagaimana kata pepatah, ing ngarso sung tuladha. Kalau tidak, percuma saja revolusi mental digaungkan di mana-mana. Sebab jika tuladha yang digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi ternyata terbukti melakukan korupsi, siapa lagi yang bisa dijadikan tuladha. Apalagi kalau sampai dipolitisasi dan dikriminalkan.
Atau, jangan-jangan korupsi adalah anak jadah kebudayaan negeri kita. Dia merupakan hasil persetubuhan kemajuan, kebutuhan, dan kesempatan. Dan sekian motif-motif lain yang dapat dilekatkan padanya. Maka ketika ada yang menuding si anak jadah itu, orang dapat berkata: itu adalah jerih payah kekilafan manusia. Tapi ketika dibutuhkan, si anak diberi makan kenyang dan disuruh ini-itu untuk keuntungannya sendiri.
Cak Gepeng menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai berat memikirkan hal itu. Dia tidak sadar ketika pamit tadi tangan Gareng menyahut sebungkus rokoknya yang ditaruh di atas meja. Ketika hendak menyalakannya sebatang Cak Gepeng baru sadar dan memaki: sontoloyo!
“Mbah, Mbah, mengapa kok ndremimil dewe?” ledek Sri yang tengah menidurkan anaknya. “Iku, Le, Simbah tengah merapal mantra,” godanya lagi.
“Mantra tundung isin!” balas Cak Gepeng menanggapi banyolan dari anaknya. “Sudah sana, segera bawa masuk anakmu. Tidak baik anak kecil di luar malam-malam.”
“Aku macih cumuk, Mbah. Nanti kalau sudah medem aku pindah ke dalam,” balas Sri menirukan suara anak-anak yang masih cadel. Sedang di gendongannya Alfareza masih belum terpejam. Sepertinya dia heran dengan apa yang sedang dikerjakan Cak Gepeng malam-malam begini di teras sendirian. “Apa yang dikerjakan Simbah? Mengapa dia duduk-duduk di luar sendirian?” pikirnya barangkali.
Sore tadi sepulang kerja Cahyo mengajaknya mampir ke warung kopi langganan mereka. Cak Gepeng tidak menolak meski mengatakan ‘mblokek kopi’. Lagipula siapa tahu ada hal penting yang hendak dibicarakan Cahyo yang tidak dapat dibahas di tempat kerja karena ada kawan-kawan yang lain.
Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Usut punya usut, Cahyo tengah bertengkar dengan istrinya. Karena itu dia malas pulang dan menghabiskan waktunya di warung kopi.
“Oalah, Le, Le! Tinggal bersama dalam satu atap kenapa pakai acara nggondok-nggondokan. Kowe nggondok lalu malas pulang. Terus kalau istrimu nggondok apa juga malas pulang?”
“Ngobrol yang lain saja, Mbah. Stress saya. Coba dengar cerita saya. Kemaren Rudi katanya dapat borongan proyek pemerintah. Menggelar sebuah pameran di tengah kota. Aku diajak, mau diberi pekerjaan dekorasi.
“Rejeki, batinku. Tapi jika aku ingat-ingat, aku merasa was-was mendapat pekerjaan seperti itu. Aku khawatir tersandung ketika mengerjakan proyek-proyek seperti itu, tersandung kwitansi blong.”
“Blong bagaimana? Blong seperti rem?”
“Kira-kira seperti itu, Mbah. Aku mau mengerjakan, syaratnya cuma sebagai pelaksana. Kalau menyangkut soal pembayaran dan sebagainya aku tidak mau. Apalagi jika nanti diminta setor kuitansi. Tambah lagi kuitansi yang disetorkan blong. Tapi dia memaksa aku menyerahkan kuitansi jika menerima pekerjaan itu. Sebab aku dijadikan sebagai vendor dalam proyek itu.”
Cak Gepeng mendengarkan Cahyo berbicara tentang Rudi dan proyek penyelenggaraan pameran yang didapat oleh Rudi. Boleh dikatakan yang bernama Rudi orangnya tergolong multi talenta. Proyek-proyek mulai dari pengerjaan taman, dekorasi panggung, event organizer, sampai pekerjaan pembangunan gedung pun dia kerjakan. Kadang dia mengerjakan proyek dengan menggunakan bendera temannya. Kadang temannya mengerjakan proyek dengan meminjam benderanya. Kadang dia ikut tender dengan menggunakan bendera rekanannya. Juga sebaliknya. Pendeknya, si Rudi ini terbilang ulet di bidangnya.
Di rumah, Cak Gepeng teringat kata-kata Cahyo tentang kuitansi-kuitansi blong di warung kopi tadi. Kuitansi-kuitansi blong yang mungkin beredar di proyek pemerintah. Entah apakah maksud kata ‘blong’ yang digunakan itu sebagai kosong dalam artian kuitansi yang sudah ditandatangani dan bermaterai tapi nilai nominalnya kosong. Atau kata ‘blong’ lebih mengacu pada kata dijarah seperti yang digunakan pada kalimat ‘rumahnya baru saja diblong maling’.
Yang jelas di mana ada kuitansi blong, di situ ada angka-angka yang dimetaforakan, dilebih-lebihkan, atau dibuat seolah-olah menyerupai sesuatu yang mirip dengan yang dimaksud.
“Aku kira otak-atik metafora hanyalah pekerjaan para penyair,” celoteh Cak Gepeng.
Maka ketika orang yang menandatangi dan menyerahkan kwitansi blong diminta menjadi saksi di muka pengadilan, pernyataan mereka akan berbunyi: tidak pernah menerima sejumlah uang yang tertera dalam “kwitansi telah terima dari ning ning ning uang sejumlah nong nong nong untuk pembayaran gung gung gung pada tanggal sekian yang ditandatangai oleh saksi.”
Malam ini Cak Gepeng sengaja tidur agak larut. Dia ingin mengetahui apakah benar ada kuitansi blong berseliweran pada proyek pemerintah. Karena itu dia rapal lagi mantra-mantra yang pernah diajarkan oleh guru spiritualnya dulu. Lalu dengan menggedrukkan kakinya ke tanah muncul sosok lelaki berhidung panjang dengan tangan memegang perut yang mulai membuncit. Petruk.
“Ada kabar apa, Truk, Petruk?”
“Njenengan itu, lho, hari raya tidak memberi THR, imlekan tidak ada angpo, sekarang tiba-tiba memanggil terus bertanya ada kabar apa. Mbok ya bertanya, Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Ya sudah, aku ulang. Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Belum, Mbah.”
“Kenapa belum makan?”
“Dimarahi romo, Mbah.”
“Dimarahi? Kenapa?”
“Tabung elpijin romo saya rombeng.”
“Salahmu sendiri kalau sekarang jadi lapar.”
“Iya, Mbah, memang saya salah. Kalau pun benar tapi tidak ada orang yang tahu. Jadi tetap saja salah. Kalau tahu seperti ini, baju Raden Gatotkoco tidak usah saya kembalikan dulu.”
“Sudah, sudah! Kalau lapar segera pergi ke dapur. Mumpung sayurnya baru saja dipanasi.”
“Tidak, Mbah. Itu tadi saya hanya bercanda. Apa iya saya setega itu menjual elpiji romo.”
“Dasar!”
Petruk terkekeh sambil mengambil sebatang rokok di atas meja. Setelah menyalakannya dia duduk di sebelah Cak Gepeng. Dua lelaki dari dua dunia yang berbeda itu segera asyik dalam perbincangan hangat. Seolah-olah kawan lama yang sudah sekian tahun tak saling jumpa.
“Persoalan kuitansi blong,” kata Petruk memulai ceritanya. “Kalau dibilang ada memang benar-benar ada, tapi jika dibuat tidak ada memang kenyataannya tidak ada. Contoh seperti kasus korupsi road show yang diadakan di kota Balikpapan. Seandainya kasus tidak terbongkar, tentu tidak ada cerita tentang kuitansi blong. Yang ada hanyalah suksesnya kegiatan. Padahal menurut hukum ekonomi, suksesnya kegiatan promosi penanaman modal bergantung pada seberapa cepat dan seberapa banyak modal itu kembali dan mendatangkan keuntungan berlipat. Kota yang dipromosikan dalam waktu singkat akan menjadi tujuan pemodal untuk menanamkan investasi di kota itu. Itu kalau saya tidak salam membaca, Mbah.
“Pertanggunjawaban selain secara administratif dalam LPJ, juga harus ada pertanggungjawaban secara ekonomi. Misalnya setahun, dua tahun, atau beberapa tahun lagi terbukti pameran yang diselenggarakan mampu mendatangkan orang-orang dari luar untuk menanamkan modal di kota yang dipromosikan. Tidak hanya megah pamerannya, tapi kosong hasilnya.
“jadi sebelum road show terbukti sukses, sudah terbukti dijadikan ajang bancakan. Ya melalui kuitansi-kuitansi blong yang Anda tanyakan tadi.”
“Bicaramu seperti orang intelektuil, Truk. Apa benar ada persoalan seperti yang kau ceritakan itu?”
“Ini kejadian nyata, Mbah. Setidak-tidaknya, kejadian nyata di dunia pewayangan. Sekarang kasusnya sudah jelas. Den Bagus Dursara (siapa lagi ini, pikir Cak Gepeng) yang memegang jabatan sebagai kepala jawatan penanaman modal sudah tertangkap. Mitra kerjanya, Durasta, yang mandegani perkumpulan depot dan losmen sudah tertangkap. Durgandha yang menjadi pelaksana teknis yang mengundang artis ibu kota juga sudah ditangkap. Persoalan kuitansi blong iku persoalan sepele, Mbah.”
“lalu, yang bukan persoalan sepele apa, Truk, Petruk?”
“Bab sulapan, Mbah. Pagu anggaran yang semula seratus lima puluh enam juta untuk tujuh pameran berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Bayangkan, Mbah, dari seratus lima puluh juta untuk satu pameran, berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Kalau bukan sulapan, apa namanya ini, Mbah?
“Kemudian pagu anggaran yang semestinya melalui tender atau lelang untuk menentukan pelaksananya, tapi langsung ditunjuk menggunakan dasar MoU. Sulapan Limbad kalah, Mbah. Limbad paling-paling hanya bersulap di hadapan penonton. Lha ini, sulapan penontonnya seluruh Indonesia raya. Dan yang dibuat sulapan itu uang rakyat, uang rakyat.”
“Aduh, Truk, bicaramu ndakik-ndakik. Tiga milyar tujuh ratus jika dirupakan uang seberapa banyak?”
“Bisa dipakai untuk selimut kalau Anda kedinginan, Mbah. Dana sebesar itu semestinya harus dilakukan lelang. Akan tetapi proyek iki diswakelolakan. Den Mas Suyudono yang menjabat Walikota Ngastinapura membuat MoU bersama Durasta yang berbunyi optimalisasi potensi investasi daerah di wilayah Astinapura dan kerjasama promosi penanaman modal.”
“Kemudian rayi Den Bagus Dursasana yang menjabat sebagai kepala inspektorat Ngastinapura juga setuju dengan ucapan kangmas Suyudana. Bahkan konon, Den Bagus Dursanana yang memberikan usul seperti itu.”
Lalu Petruk bercerita panjang lebar mengenai proyek road show kegiatan promosi dan kerjasama investasi “shining Astinapura investment exhibition 2014 yang menggunakan dana anggaran kota Astinapura tahun 2014 itu. Dalam uraiannya itu sesekali Petruk menggeleng-gelengkan kepala.
Dia masih tak habis pikir dengan keterangan yang dikemukakan oleh salah seorang saksi. Saksi tersebut mengungkapkan bahwa ada dana dari anggaran itu yang diberikan untuk sebuah tim sepakbola dan SKPD-SKPD sejumlah sekian, untuk Dewan sejumlah sekian, dan untuk si kuli tinta sekian, dan sewa pesawat non-budgeter untuk sarana transportasi Pak Wali.
Petruk tidak mengetahui kebenaran hal yang diungkap oleh salah seorang saksi itu. Apakah hakim menjadikan pihak-pihak yang disebut itu sebagai saksi atau tidak, Petruk tidak tahu. Perut Petruk terasa mual mendengar keterangan selama persidangan sehingga dia harus meninggalkan ruang sidang sebelum waktuya. Pertanyaan ‘apakah uang-uang itu, jika benar ada, seperti semacam upeti yang mesti diserahkan’ mengaduk-aduk perut Petruk saat itu.
“Kalau seperti itu ceritamu, Truk, Petruk, apa aku boleh curiga terhadap proyek-proyek yang dilaksanakan saat ini? Mulai dari penggelembungan anggaran hingga kuitansi-kuitansi blong.”
“Curiga boleh, tapi jangan sampai kecurigaan itu menyebabkan pembangunan negeri ini macet. Yang bisa dilakukan adalah ikut aktif mengawasi proyek-proyek yang tengah dikerjakan. Jadi proyek itu bisa transparan. Caranya bagaimana? Yang paling mudah, kalau menjadi vendor atau bintang tamu, jangan mau bertandatangan di atas kuitansi kosong.”
“Tapi jika yang mengawasi disuguhi roti terus jadi mengantuk bagaimana, Truk? Apalagi pulangnya dapat sangu. Ya, lebih enak ikut, brow.”
“Tidur saja, Mbah, sudah mengantuk! Anda membuat saya iri, yang diomongkan sangu terus” kata Petruk sambil menyentil rokoknya jauh-jauh lalu berdiri hendak meninggalkan Cak Gepeng.
“Sebentar! Sebentar! Kamu mau pergi ke mana?”
“Lha, sudah selesai bukan cerita saya? Anda kalau ingin Petruk bercerita, jangan hanya disuguhi kopi dan rokok. Pulang-pergi membutuhkan bensin, Mbah,” kata Petruk sambil terkekeh. Lalu dalam sekejap dia pun melesat ke langit dan lenyap.
Tinggal Cak Gepeng seorang di teras. Tapi dia tidak sendirian. Bagong dan Gareng sedari tadi bersembunyi di balik atap rumah mendengarkan perbincangan mereka. Cak Gepeng mengetahuinya dan membiarkan kedua penekawan itu asyik dalam persembunyiannya.
“Hayoh, segera keluar kalau tidak ingin aku lempar teklek!”
“Ajauw, Mbah,” teriak Gareng yang lalu turun dari atap.
“Mana temanmu yang satu lagi? Kenapa dari tadi mengintip tidak mau turun?”
“Bagong pulang, Mbah, takut ketahuan Petruk. Maksudku tadi kalian aku kageti, tapi kok sepertinya sedang serius. Jadi batal. Bagong sampai tertidur. Lha, ketika tahu Petruk melesat tat tit, Bagong kaget kemudian menyusul pulang.”
“Kamu tidak ikut pulang?”
“Anu, Mbah, itu...” kata Gareng sambil menunjuk gelas kopi yang telah habis.
“Hmm, tidak kakak tidak adik sama saja! Tunggu, sebentar lagi dibuatkan kopi. Aku bangunkan dulu mbah putrimu biar memasak air. Sekarang kamu duduk dulu di sini, ada yang hendak aku tanyakan,” kata Cak Gepeng yang lalu masuk ke dalam.
“Bertanya apa, Mbah?” tanya Gareng setelah Cak Gepeng kembali duduk bersamanya.
“Soal yang dibicarakan Petruk tadi apakah benar? Aku tidak percaya pejabat-pejabat tinggi bertindak jahat. Seharusnya jabatan itu menyandang sifat satria. Mestinya sekolahnya tingga dan ilmunya ngedab-edabi jika sudah memegang jabatan kepala jawatan penanaman modal atau pun kepala inspektorat. Apalagi sekelas Walikota Ngastinapura.”
“Jangan mudah heran, Mbah,” kata Gareng sambil menerima segelas kopi dari Yu Supi, istri Cak Gepeng, yang cemberut karena dibangunkan malam-malam. “Maturnuwum, Mbah Putri. Belum tidur jam segini?”
“Gara-gara kamu aku jadi bangun. Bertamunya apa tidak kurang larut? Meski orang jauh kalau bertamu juga harus tahu waktu.”
“Kok, kawulo yang dimarahi. Lha ini Mbah Kakung yang memanggil kemari.”
“Modelmu! Sama saja kalian berdua. Sudah jangan bangunkan aku lagi. Aku mau tidur.”
“Sumonggo, Mbah Putri, hehehe,” imbuh Gareng sambil cengar-cengir.
“Jangan mudah heran, Mbah,” Gareng melanjutkan. “Di zaman yang banjir bantuan dan modal dari luar negeri ini tidak ada yang tidak mungkin. Ada anggaran yang harus diserap. Ada anggaran yang harus dikelola. Ada anggaran yang harus dihabiskan. Ketersediaan itu harus dimanfaatkan. Mungkin orang-orang yang mengelola uang ratusan juta itu sadar program-program yang diadakan tidak membawa banyak manfaat.
“Karena itu daripada uang itu habis tak berbekas, lebih baik masuk kantong sendi. Siapa tahu bisa dirupakan mobil. Siapa tahu bisa diwujudkan dalam bentuk tanah. Siapa tahu bisa diputar menjadi saham yang menguntungkan. Siapa tahu juga bisa dijadikan modal maju jadi calon Bupati atau Gubernur. Kalau diberikan kepada anda atau saya, apa hasilnya? Paling-paling habis buat makan sehari-hari.”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan itu, Reng, Gareng?”
“Saya ini merasa kasihan terhadap Den Dursara. Baru saja menjabat sebagai kepala penanaman modal, sudah tersandung kasus korupsi. Meski pun saya tidak mendapat bagian proyek, tetap saja saya merasa trenyuh. Jelek-jelek begini, saya juga pernah ikut proyek yang dikerjakan Den Dursara. Den Dursara hanya menjalankan perintah kang bagus Suyudana. Seharusnya kang baguse itu juga harus diperiksa. Dijadikan saksi. Dan jika perlu diusut. Sebab yang memilih Durasta, yang mengepalai perkumpulan depot dan losmen di Astino, ya kang bagus Suyudono.
“Tidak adil namanya jika kang bagus Suyudono tidak terciprat tlutuhnya. Belum lagi rayi tercinta rayi bagus Dursasana yang menjabat sbeagai kepala inspektorat. Seharusnya semua orang yang terlibat dimintai pertanggungjawaban.
“Konon rayi bagus Dursasana berkata kepada Den Dursara: ‘Sudah dilaksanakan saja, kalau ada masalah kan walikota ikut bertanggungjawab menyelesaikan, beliau tidak mau kegiatan ini ditunda lagi’. Tapi kata-kata ini hanya konon, lho, Mbah.”
“Terus maksud kamu Suyudono juga harus diselidiki?”
“Siapa yang berani? Eyang Bisma matanya langsung melotot jika ada yang membicarakan kang bagus Suyudono. Sepertinya sang prabu tidak boleh diganggu gugat. Eyang Bisma memutuskan, perkara ini harus berhenti sampai Den Bagus Dursara, Durasta, atau Durgandha. Jika perlu si anak kusir suryaputra, Karna, dilibatkan. Atau Durmuka, Bogadenta, Kertarmarma. Siapa saja, asal jangan Suyudono. Sebab Suyudono merupakan simbol negara Astinapura. Jika sampai simbol negara tersandung kasus korupsi, lalu pejabat-pejabat di bawahnya seperti apa? Apa kira-kira tidak mencontoh pimpinannya?”
“Sudah, Reng, Gareng, diam dulu! Kepalaku jadi pusing. Lalu Sengkuni ke mana kok tidak nampak batang keningnya?”
“Jangan Sengkuni, Mbah. Kasihan tokoh satu ini. Dalam Baratayudho sudah dijelek-jelekkan, apa tega di zaman twitteran masih kebagian yang jelek-jelek.
“Jadi, Mbah, begini pesanku. Jika diajak mengerjakan proyek, jangan ditolak. Itu namanya rezeki. Tapi kalau diminta menyerahkan kuitansi blong atau kuitansi kosong, jangan mau. Semoga selalu diberi keselamatan. Semoga esok orang-orang menjadi sadar, jika menyerahkan kuitansi penagihan itu yang bisa dibaca oleh orang banyak, alias diisi dengan nilai nominal yang jelas. Jangan hanya bisa dibaca oleh orang yang sudah tinggi ilmunya, alias tulisannya tidak kelihatan.”
Begitu kalimat terakhir Gareng yang ditutup dengan tawa. Lalu setelah menyeruput kopinya yang penghabisan, dia pamit pada Cak Gepeng. Kemudian melesat terbang, kembali ke alam pewayangan.
Sepeninggal Gareng Cak Geoebg berpikir. Kalau perbuatan korupsi tidak disudahi mulai sekarang, mulai detik ini, kapan korupsi benar-benar hilang dari negeri ini? Revolusi mental mutlak diperlukan. Tapi harus ada yang bisa dijadikan sebagai tuladha. Sebagaimana kata pepatah, ing ngarso sung tuladha. Kalau tidak, percuma saja revolusi mental digaungkan di mana-mana. Sebab jika tuladha yang digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi ternyata terbukti melakukan korupsi, siapa lagi yang bisa dijadikan tuladha. Apalagi kalau sampai dipolitisasi dan dikriminalkan.
Atau, jangan-jangan korupsi adalah anak jadah kebudayaan negeri kita. Dia merupakan hasil persetubuhan kemajuan, kebutuhan, dan kesempatan. Dan sekian motif-motif lain yang dapat dilekatkan padanya. Maka ketika ada yang menuding si anak jadah itu, orang dapat berkata: itu adalah jerih payah kekilafan manusia. Tapi ketika dibutuhkan, si anak diberi makan kenyang dan disuruh ini-itu untuk keuntungannya sendiri.
Cak Gepeng menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai berat memikirkan hal itu. Dia tidak sadar ketika pamit tadi tangan Gareng menyahut sebungkus rokoknya yang ditaruh di atas meja. Ketika hendak menyalakannya sebatang Cak Gepeng baru sadar dan memaki: sontoloyo!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H