Lalu Petruk bercerita panjang lebar mengenai proyek road show kegiatan promosi dan kerjasama investasi “shining Astinapura investment exhibition 2014 yang menggunakan dana anggaran kota Astinapura tahun 2014 itu. Dalam uraiannya itu sesekali Petruk menggeleng-gelengkan kepala.
Dia masih tak habis pikir dengan keterangan yang dikemukakan oleh salah seorang saksi. Saksi tersebut mengungkapkan bahwa ada dana dari anggaran itu yang diberikan untuk sebuah tim sepakbola dan SKPD-SKPD sejumlah sekian, untuk Dewan sejumlah sekian, dan untuk si kuli tinta sekian, dan sewa pesawat non-budgeter untuk sarana transportasi Pak Wali.
Petruk tidak mengetahui kebenaran hal yang diungkap oleh salah seorang saksi itu. Apakah hakim menjadikan pihak-pihak yang disebut itu sebagai saksi atau tidak, Petruk tidak tahu. Perut Petruk terasa mual mendengar keterangan selama persidangan sehingga dia harus meninggalkan ruang sidang sebelum waktuya. Pertanyaan ‘apakah uang-uang itu, jika benar ada, seperti semacam upeti yang mesti diserahkan’ mengaduk-aduk perut Petruk saat itu.
“Kalau seperti itu ceritamu, Truk, Petruk, apa aku boleh curiga terhadap proyek-proyek yang dilaksanakan saat ini? Mulai dari penggelembungan anggaran hingga kuitansi-kuitansi blong.”
“Curiga boleh, tapi jangan sampai kecurigaan itu menyebabkan pembangunan negeri ini macet. Yang bisa dilakukan adalah ikut aktif mengawasi proyek-proyek yang tengah dikerjakan. Jadi proyek itu bisa transparan. Caranya bagaimana? Yang paling mudah, kalau menjadi vendor atau bintang tamu, jangan mau bertandatangan di atas kuitansi kosong.”
“Tapi jika yang mengawasi disuguhi roti terus jadi mengantuk bagaimana, Truk? Apalagi pulangnya dapat sangu. Ya, lebih enak ikut, brow.”
“Tidur saja, Mbah, sudah mengantuk! Anda membuat saya iri, yang diomongkan sangu terus” kata Petruk sambil menyentil rokoknya jauh-jauh lalu berdiri hendak meninggalkan Cak Gepeng.
“Sebentar! Sebentar! Kamu mau pergi ke mana?”
“Lha, sudah selesai bukan cerita saya? Anda kalau ingin Petruk bercerita, jangan hanya disuguhi kopi dan rokok. Pulang-pergi membutuhkan bensin, Mbah,” kata Petruk sambil terkekeh. Lalu dalam sekejap dia pun melesat ke langit dan lenyap.
Tinggal Cak Gepeng seorang di teras. Tapi dia tidak sendirian. Bagong dan Gareng sedari tadi bersembunyi di balik atap rumah mendengarkan perbincangan mereka. Cak Gepeng mengetahuinya dan membiarkan kedua penekawan itu asyik dalam persembunyiannya.
“Hayoh, segera keluar kalau tidak ingin aku lempar teklek!”