“Persoalan kuitansi blong,” kata Petruk memulai ceritanya. “Kalau dibilang ada memang benar-benar ada, tapi jika dibuat tidak ada memang kenyataannya tidak ada. Contoh seperti kasus korupsi road show yang diadakan di kota Balikpapan. Seandainya kasus tidak terbongkar, tentu tidak ada cerita tentang kuitansi blong. Yang ada hanyalah suksesnya kegiatan. Padahal menurut hukum ekonomi, suksesnya kegiatan promosi penanaman modal bergantung pada seberapa cepat dan seberapa banyak modal itu kembali dan mendatangkan keuntungan berlipat. Kota yang dipromosikan dalam waktu singkat akan menjadi tujuan pemodal untuk menanamkan investasi di kota itu. Itu kalau saya tidak salam membaca, Mbah.
“Pertanggunjawaban selain secara administratif dalam LPJ, juga harus ada pertanggungjawaban secara ekonomi. Misalnya setahun, dua tahun, atau beberapa tahun lagi terbukti pameran yang diselenggarakan mampu mendatangkan orang-orang dari luar untuk menanamkan modal di kota yang dipromosikan. Tidak hanya megah pamerannya, tapi kosong hasilnya.
“jadi sebelum road show terbukti sukses, sudah terbukti dijadikan ajang bancakan. Ya melalui kuitansi-kuitansi blong yang Anda tanyakan tadi.”
“Bicaramu seperti orang intelektuil, Truk. Apa benar ada persoalan seperti yang kau ceritakan itu?”
“Ini kejadian nyata, Mbah. Setidak-tidaknya, kejadian nyata di dunia pewayangan. Sekarang kasusnya sudah jelas. Den Bagus Dursara (siapa lagi ini, pikir Cak Gepeng) yang memegang jabatan sebagai kepala jawatan penanaman modal sudah tertangkap. Mitra kerjanya, Durasta, yang mandegani perkumpulan depot dan losmen sudah tertangkap. Durgandha yang menjadi pelaksana teknis yang mengundang artis ibu kota juga sudah ditangkap. Persoalan kuitansi blong iku persoalan sepele, Mbah.”
“lalu, yang bukan persoalan sepele apa, Truk, Petruk?”
“Bab sulapan, Mbah. Pagu anggaran yang semula seratus lima puluh enam juta untuk tujuh pameran berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Bayangkan, Mbah, dari seratus lima puluh juta untuk satu pameran, berubah menjadi tiga milyar tujuh ratus untuk satu pameran. Kalau bukan sulapan, apa namanya ini, Mbah?
“Kemudian pagu anggaran yang semestinya melalui tender atau lelang untuk menentukan pelaksananya, tapi langsung ditunjuk menggunakan dasar MoU. Sulapan Limbad kalah, Mbah. Limbad paling-paling hanya bersulap di hadapan penonton. Lha ini, sulapan penontonnya seluruh Indonesia raya. Dan yang dibuat sulapan itu uang rakyat, uang rakyat.”
“Aduh, Truk, bicaramu ndakik-ndakik. Tiga milyar tujuh ratus jika dirupakan uang seberapa banyak?”
“Bisa dipakai untuk selimut kalau Anda kedinginan, Mbah. Dana sebesar itu semestinya harus dilakukan lelang. Akan tetapi proyek iki diswakelolakan. Den Mas Suyudono yang menjabat Walikota Ngastinapura membuat MoU bersama Durasta yang berbunyi optimalisasi potensi investasi daerah di wilayah Astinapura dan kerjasama promosi penanaman modal.”
“Kemudian rayi Den Bagus Dursasana yang menjabat sebagai kepala inspektorat Ngastinapura juga setuju dengan ucapan kangmas Suyudana. Bahkan konon, Den Bagus Dursanana yang memberikan usul seperti itu.”