“Dimarahi? Kenapa?”
“Tabung elpijin romo saya rombeng.”
“Salahmu sendiri kalau sekarang jadi lapar.”
“Iya, Mbah, memang saya salah. Kalau pun benar tapi tidak ada orang yang tahu. Jadi tetap saja salah. Kalau tahu seperti ini, baju Raden Gatotkoco tidak usah saya kembalikan dulu.”
“Sudah, sudah! Kalau lapar segera pergi ke dapur. Mumpung sayurnya baru saja dipanasi.”
“Tidak, Mbah. Itu tadi saya hanya bercanda. Apa iya saya setega itu menjual elpiji romo.”
“Dasar!”
Petruk terkekeh sambil mengambil sebatang rokok di atas meja. Setelah menyalakannya dia duduk di sebelah Cak Gepeng. Dua lelaki dari dua dunia yang berbeda itu segera asyik dalam perbincangan hangat. Seolah-olah kawan lama yang sudah sekian tahun tak saling jumpa.
“Persoalan kuitansi blong,” kata Petruk memulai ceritanya. “Kalau dibilang ada memang benar-benar ada, tapi jika dibuat tidak ada memang kenyataannya tidak ada. Contoh seperti kasus korupsi road show yang diadakan di kota Balikpapan. Seandainya kasus tidak terbongkar, tentu tidak ada cerita tentang kuitansi blong. Yang ada hanyalah suksesnya kegiatan. Padahal menurut hukum ekonomi, suksesnya kegiatan promosi penanaman modal bergantung pada seberapa cepat dan seberapa banyak modal itu kembali dan mendatangkan keuntungan berlipat. Kota yang dipromosikan dalam waktu singkat akan menjadi tujuan pemodal untuk menanamkan investasi di kota itu. Itu kalau saya tidak salam membaca, Mbah.
“Pertanggunjawaban selain secara administratif dalam LPJ, juga harus ada pertanggungjawaban secara ekonomi. Misalnya setahun, dua tahun, atau beberapa tahun lagi terbukti pameran yang diselenggarakan mampu mendatangkan orang-orang dari luar untuk menanamkan modal di kota yang dipromosikan. Tidak hanya megah pamerannya, tapi kosong hasilnya.
“jadi sebelum road show terbukti sukses, sudah terbukti dijadikan ajang bancakan. Ya melalui kuitansi-kuitansi blong yang Anda tanyakan tadi.”