“Ajauw, Mbah,” teriak Gareng yang lalu turun dari atap.
“Mana temanmu yang satu lagi? Kenapa dari tadi mengintip tidak mau turun?”
“Bagong pulang, Mbah, takut ketahuan Petruk. Maksudku tadi kalian aku kageti, tapi kok sepertinya sedang serius. Jadi batal. Bagong sampai tertidur. Lha, ketika tahu Petruk melesat tat tit, Bagong kaget kemudian menyusul pulang.”
“Kamu tidak ikut pulang?”
“Anu, Mbah, itu...” kata Gareng sambil menunjuk gelas kopi yang telah habis.
“Hmm, tidak kakak tidak adik sama saja! Tunggu, sebentar lagi dibuatkan kopi. Aku bangunkan dulu mbah putrimu biar memasak air. Sekarang kamu duduk dulu di sini, ada yang hendak aku tanyakan,” kata Cak Gepeng yang lalu masuk ke dalam.
“Bertanya apa, Mbah?” tanya Gareng setelah Cak Gepeng kembali duduk bersamanya.
“Soal yang dibicarakan Petruk tadi apakah benar? Aku tidak percaya pejabat-pejabat tinggi bertindak jahat. Seharusnya jabatan itu menyandang sifat satria. Mestinya sekolahnya tingga dan ilmunya ngedab-edabi jika sudah memegang jabatan kepala jawatan penanaman modal atau pun kepala inspektorat. Apalagi sekelas Walikota Ngastinapura.”
“Jangan mudah heran, Mbah,” kata Gareng sambil menerima segelas kopi dari Yu Supi, istri Cak Gepeng, yang cemberut karena dibangunkan malam-malam. “Maturnuwum, Mbah Putri. Belum tidur jam segini?”
“Gara-gara kamu aku jadi bangun. Bertamunya apa tidak kurang larut? Meski orang jauh kalau bertamu juga harus tahu waktu.”
“Kok, kawulo yang dimarahi. Lha ini Mbah Kakung yang memanggil kemari.”