Mohon tunggu...
Callmehai
Callmehai Mohon Tunggu... Konsultan - Astrophile || Mahasiswa Farmasi STIKES Andini Persada Mamuju

Bercanda bersama kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersama Doa

5 April 2022   22:55 Diperbarui: 5 April 2022   23:09 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#Creepypasta

___


Hari itu, tanggal 21 Maret 2010. Ayahku dibunuh, dan ibuku diperkosa sebelum akhirnya ikut terbunuh. Mereka adalah segerombolan pria berseragam tentara juga bersenjata. Tidak ada wajah yang kuingat satupun. Hanya tato tengkorak di bagian punggung tangan dan bekas irisan pisau di pipi mereka masing-masing, yang bisa kuingat sampai sekarang.

***

"Lucky!"

Aku menoleh. Lelaki bertopi miring  datang dengan senyum tipisnya.

Dia pacarku. Namanya, Rizki. Tiga tahun lebih tua dari usiaku yang kini menginjak 20 tahun.

"Udah lama?"

Aku mengangguk spontan. Yah, karena memang bokongku sudah panas, sekedar duduk menunggunya selama dua jam.

"Maaf, Yaa. Tadi ada kuliah, tiba-tiba."

"Iya. Tapi lain kali, setidaknya infokan agar aku bisa pesen makanan lebih dulu," terangku, memelas.

Dia terkekeh, "Iya-iya. Lapar bangat, gitu?"

"Yap. Saking laparnya, lelaki yang berada di belakangmu itu ingin kulahap."

Dia langsung melongo, lalu membalikkan badan.

Di sana, seorang pria bertubuh kekar sedang duduk bersandar. Kuduga dia tengah makan bersama keluarga kecilnya. Terlihat seorang gadis seumuran anak SMP, juga bocah cowok  yang berumuran sekitar 3 tahun, serta sosok Emak dengan dandanan yang menor. Sedari tadi, aku selalu mengumpat dalam hati melihat keharmonisan itu.

"Cemburu lagi?" Rizki menegur, setelah kembali membalikkan badan.

Kupilih diam.

"Mau pindah?" tanyanya lagi.

"Nggak usah."

"Jangan bertindak sekarang ya, Sayang. Ada banyak wartawan di sini. Mereka bisa menangkap aksimu," jelas Rizki, yang langsung kuhadiahi tatapan malas.

Sepertinya, dia memang melihat apa yang aku lihat di pria itu.

Ya, sekarang memang aku tengah mengontrol emosi. Rasa balas dendam yang sedari awal kupupuk memanas. Bagaimana tidak! Tato tengkorak dan bekas irisan pisau sangat jelas kulihat di tubuh dan pipi kanan si pria itu. Cih. Sempat-sempatnya dia berbahagia sedang diriku sengsara sedari awal. Memalukan!

Rizki? Tentu saja, dia paham. Tidak ada yang kusembunyikan tentang diriku darinya.

"Aku mau dia menemuiku di toilet," ucapku, yang mendapat tatapan kasihan dari Rizki.

"Wartawan akan menangkap aksimu, Sayang."

"Tapi aku benar-benar panas ingin menggorok lehernya."

"Kau bisa membunuhnya di rumahnya. Akan aku bantu cari alamatnya."

***

Dengan malu-malu, senja menampakkan diri setelah fajar tenggelam. Dia menertawakan kopiku yang belum tersentuh sama sekali. Sesekali mengejekku yang selalu menunggu notif pesan dari Rizki. Ah. Aku kesal!

Segera kusebet jaket hitam tebal dan langsung meloloskan kaki ke dalam sandal suwallo. Aku mesti bertindak malam ini. Tidak menutup kemungkinan, bisa saja Rizki sedang sibuk mengurus skripsinya.
Aku harus menemuinya, untuk memastikan.

***

Untuk yang pertama kali, kakiku berada di teras rumah Rizki. Rumah mewah bertingkat tiga, dengan cat hitam bercampur putih. Kolam renang ada di halaman depan rumah, lengkap dengan bunga mawar di sekelilingnya. Cantik, dan bersih.

'Tok tok tok.'

"Permisi."

Tidak menunggu lama, pintu terbuka. Sosok Emak tersenyum ramah menyambut.

"Masuk."

Aku mengangguk, lalu mengikutinya.

Setelah duduk di sofa, sesekali kucuri waktu ketika pandangan Emak ini tidak ditujukan padaku. Ya, aku memanfaatkannya mengamati ruangan yang cukup mewah dengan perabotan super mahal.

"Eee, anu, Bu. Apa Rizki ada di rumah?"

Kulihat dia tersenyum. "Rizki sedang keluar, Nak. Mungkin lagi ngurus skripsi."

Benar dugaanku!

"Siapa, Ma?" suara barithon, muncul. Kuterka, itu adalah suara Ayahnya Rizki.

"Teman Rizki, Pa."

Tidak berselang lama, yang dimaksud pun muncul.

Mataku nyaris tidak berkedip. Dia sangat tampan! Dadanya sungguh bidang! Aih. Diam-diam aku merasa bangga memacari anaknya.  

"Pacarnya?"

"Eh? Iya Om," jawabku malu.

Ketika dia duduk di samping istrinya tepat di depanku, senyumku melenyap seketika. Darahku makin mendidih. Tubuhku bergetar ingin mengeluarkan hatter di sela jaket. Ah! Tato tengkorak ada di punggung tangannya! Tidak mungkin! Apakah ini alasan mengapa Rizki selalu menolak ketika aku ingin berkunjung ke rumahnya? Tapi, ke mana bekas irisan pisau di pipinya? Apakah mendapat perawatan khusus hingga bekas itu hilang?

***

"Lucky! Maafkan aku tidak menghubungimu semalam."

Aku hanya mengangguk.

"Hei! Kau marah padaku? Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Tugas skripsiku benar-benar mendesak."

Kuangguki lagi. Dia kemudian menggeser bangkunya hingga makin dekat denganku.

"Maafkan aku, Sayang."

"Itu kebiasaanmu. Mengapa tidak menginfokan padaku kalau kau sibuk?"

"Aku tidak membawa ponsel, saking buru-buru."

Kupalingkan wajahku jengah, "Lalu, bagaimana dengan pria itu?"

"Perihal dia, aku tidak bisa menemukan alamatnya,"

'Bohong! Katakan saja kalau dia pamanmu, bodoh!' batinku, emosi.

"Sudahlah. 'tak mengapa," ektingku.

"Makasih yaa, Sayang. Kau benar-banar pengertian."

Cih. Membuatku ingin muntah.

"Mau makan malam di rumahku?" tanyaku, akhirnya.

"Jika kutolak, kapan lagi kau akan mengajakku makan."

***

"Ini namanya, sup daging langka," ucapku sambil menuangkan sup ke mangkuk. Rizki hanya mengangguk sambil tersenyum, tidak sabar melahap. Yah, siapa yang tidak ingin menyantap sedang aromanya kian memikat.

"Wah, sempurna. Asinnya pas. Kau benar- benar pandai dalam memasak."

Nyaris tawaku meledak, melihatnya tiada jeda menyendokkan sup itu ke mulutnya.

'Kasihan'.

'Tit. Tit. Tit'. Ponselnya berbunyi.

"Mama, nelfon."

"Angkatlah," responku lalu melangkah mengambil hatter.

Tidak menunggu lama, matanya sudah berkaca-kaca. Ponselnya jatuh begitu saja. Dia memandangku yang sedang meringis puas.

"Kau membunuh, Papa?"

"Hm. Pamanmu juga ludes di tanganku tadi malam. Untung saja, ibumu tengah berbelanja ke minimarket hingga nyawanya tidak ikut kulayangkan."

Kulihat wajahnya memerah. Tangannya terkepal.

"Kenapa? Marah? Seharusnya aku yang marah. Kenapa dirimu menghianatiku? Kenapa tidak jujur sedari awal? Agar aku tidak perlu menunggu lama menghabisi mereka."

Wajahnya makin memerah.

"Tapi, aku cukup berterima kasih pada Ayahmu. Dia sangat bejat hingga memberitahu padaku siapa teman-temannya yang waktu itu menghilangkan kebahagiaanku."

"Lucky!!!"

Aku tertawa, "Berteriaklah, Sayang. Mungkin, suaramu akan makin keras jika mengetahui sup apa yang barusan kau makan?"

Matanya melotot. Aih. Membuat hatterku ingin ikut mencungkilnya juga.

"Daging langka?! Kau gadis bang**t, Lucky!!!"

Dia menangis, sambil mencolok lehernya hingga muntah.

"Hilangkan hasrat dendammu, Sayang,"

Aku terkesiap mendengar itu. Begitu pun Rizki. Spontan mata kami mencari di mana asal suara.

"Ikhlaskan Ayah sama Ibu, Sayang."

Liurku kutelan paksa. Mataku mulai memerah menahan tangis.

"Ayah, Ibu!"

Aku berteriak kencang. Tidak salah lagi, itu suara mereka.

"Ayah! Ibu!"

***

"Bangun, Sayang. Bangun!"
 
Pelan, kubuka mata. Langit-langit kamar bercat putih itu terpampang jelas. Hah! syukurlah. Semua hanyalah mimpi.

"Pulas bangat tidurnya. Udah jam delapan, loh. Bukannya kuliah pagi?"

Aku menyengir lalu memeluknya, "Tadi mimpi buruk, Bu. Ayah mana?"

"Sudah dari tadi ke kantor. Lain kali baca doa tidur, Sayang."

"Kenapa harus berdoa?"

"Karena dengannya, kau temukan kedamaian."

"Baiklah. Lain kali, aku akan tidur bersamanya."

Ibu pun terkekeh.

***

Batupapan, 12 Desember 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun