"Wah, sempurna. Asinnya pas. Kau benar- benar pandai dalam memasak."
Nyaris tawaku meledak, melihatnya tiada jeda menyendokkan sup itu ke mulutnya.
'Kasihan'.
'Tit. Tit. Tit'. Ponselnya berbunyi.
"Mama, nelfon."
"Angkatlah," responku lalu melangkah mengambil hatter.
Tidak menunggu lama, matanya sudah berkaca-kaca. Ponselnya jatuh begitu saja. Dia memandangku yang sedang meringis puas.
"Kau membunuh, Papa?"
"Hm. Pamanmu juga ludes di tanganku tadi malam. Untung saja, ibumu tengah berbelanja ke minimarket hingga nyawanya tidak ikut kulayangkan."
Kulihat wajahnya memerah. Tangannya terkepal.
"Kenapa? Marah? Seharusnya aku yang marah. Kenapa dirimu menghianatiku? Kenapa tidak jujur sedari awal? Agar aku tidak perlu menunggu lama menghabisi mereka."