Dia terkekeh, "Iya-iya. Lapar bangat, gitu?"
"Yap. Saking laparnya, lelaki yang berada di belakangmu itu ingin kulahap."
Dia langsung melongo, lalu membalikkan badan.
Di sana, seorang pria bertubuh kekar sedang duduk bersandar. Kuduga dia tengah makan bersama keluarga kecilnya. Terlihat seorang gadis seumuran anak SMP, juga bocah cowok  yang berumuran sekitar 3 tahun, serta sosok Emak dengan dandanan yang menor. Sedari tadi, aku selalu mengumpat dalam hati melihat keharmonisan itu.
"Cemburu lagi?" Rizki menegur, setelah kembali membalikkan badan.
Kupilih diam.
"Mau pindah?" tanyanya lagi.
"Nggak usah."
"Jangan bertindak sekarang ya, Sayang. Ada banyak wartawan di sini. Mereka bisa menangkap aksimu," jelas Rizki, yang langsung kuhadiahi tatapan malas.
Sepertinya, dia memang melihat apa yang aku lihat di pria itu.
Ya, sekarang memang aku tengah mengontrol emosi. Rasa balas dendam yang sedari awal kupupuk memanas. Bagaimana tidak! Tato tengkorak dan bekas irisan pisau sangat jelas kulihat di tubuh dan pipi kanan si pria itu. Cih. Sempat-sempatnya dia berbahagia sedang diriku sengsara sedari awal. Memalukan!