Hazni duduk di atap toko bukunya. Cahaya oranye mentari sore itu menyinarinya dan gedung-gedung megah kota itu. Dia menatap ke langit utara, jejak awan pesawat itu memanjang dan menjauh.
“Aku jadi tertular hobimu, suka memandang langit, langit utara tempatmu saat ini.” Hazni bicara sendiri sambil tersenyum sedih.
Dia masih sedih selama beberapa hari. Seperti tanpa motivasi dan semangat, tiap malam memandang foto Laras sebelum tertidur. Sabil dan Nana yang melihat perubahan Hazni tidak tega. Hazni yang berjalan sendiri di tengah rintik gerimis malam tiba-tiba ditarik Nana dan dirangkul Sabil untuk mengikuti mereka ke sebuah kafe.
“Hari ini aku dapat rejeki lebih, aku traktir pai enak.” Dia menarik Hazni yang kebingungan tanpa menoleh kepadanya. Sabil cuma beri kode untuk ikut saja.
“Enak kan pai ini? Lagi hits, biasanya ramai, mungkin karena gerimis jadi agak sepi.” Meja bundar itu sudah terisi tiga pai dan 3 minuman, hanya pai Hazni yang masih tersisa banyak karena nafsu makannya turun. Dia menatap hujan yang makin deras di luar.
“Kak, jangan bodoh gini!” Nana tiba-tiba berubah jadi serius yang menyadarkan Hazni dari lamunan.
“Aku tahu kakak sedih, tapi jangan seperti ini terus. Apa Laras bisa bahagia kalau tahu kakak sedih terus.” Nana mencoba membuat Hazni bebas dari kesedihannya.
“Kamu, kamu tahu apa perasaanku?” Hazni bertanya dengan sedikit kesal.
“Haz, kami memang tidak tahu seratus persen apa yang ada di hatimu. Kami cuma tahu kalau kamu atau Laras tidak akan membiarkan salah satu di antara kalian tidak bahagia. Dia sedang berusaha menggapai mimpinya, jangan bersedih dan kamu harusnya dukung dia sepenuh hati. Kamu juga harus berusaha dengan keras untuk mimpimu. Demi kalian berdua.” Sabil ikut memberikan nasihat ke Hazni yang terdiam.
“Ini kak surat dari Laras yang diantar temannya dan dititipkan ke aku tadi.” Nana memberikan amplop putih dengan nama Hazni di depannya.
Surat itu masih terbungkus rapi tergeletak samping foto mereka berdua. Benda berharga itu buatnya ragu untuk membacanya, dia tidak tahu perasaannya nanti ketika membaca itu. Di bangku taman hitam dia duduk sendiri, dinginnya pagi tak buatnya berhenti sejenak menatap langit utara. Dibukanya surat dari Laras.