Dalam ilustrasi tersebut diceritakan bagaimana karya-karya tulis dihasilkan untuk dibaca atau dibacakan di depan khalayak, ditularkan dari individu ke individu, dari kelompok ke kelompok, dari generasi ke generasi.Â
Bagaimana 'bacaan-bacaan' itu dipatrikan dalam batu, disenandungkan di hadapan banyak orang, didiktekan sampai dibaca dalam hati. Pada ruang ini pun terdapat video animasi mengenai pengaruh membaca terhadap struktur otak manusia.
Ruangan terasa sunyi, belum banyak orang yang masuk di ruang ini, kecuali Deappa dan satu anak perempuan berumur kira-kira 8 tahun bersama ayahnya. Deappa memanfaatkan kesempatan ini untuk membaca penuh perhatian. Tiba-tiba beberapa huruf, R,p,m,a,d,z,b,k dan masih banyak lagi, melompat dari layar ke arah Deappa.Â
Merasa dirinya dalam keadaan bahaya, ia bergerak mundur dan berusaha menangkis huruf-huruf itu agar tidak menyentuhnya. Â Huruf-huruf itu mengerti gerakkan Deappa, mereka berputar, melompat lebih tinggi, dan semua berhasil menempel di baju Deappa.Â
Refleks Ia mundur, kakinya terhentak keras di lantai, menimbulkan suara berisik "Duk-duk!", tangannya mengibas-ngibas bajunya agar huruf-huruf itu terlepas, Huruf-huruf itu melompat-lompat, bergantian malah 'mencium' pipinya.Â
Deappa mengangkat tangan kanannya berusaha menyapu huruf-huruf yang menempel di pipinya. Tiba-tiba, beberapa tombol yang terdapat di gelangnya menyala, dan muncul berita di monitor gelangnya 'Jangan takut itu teman-teman barumu'.
"Maaf, Â ini perpustakaan jangan bikin gaduh ya", Anak perempuan yang sedang ada di ruangan ini pun mengingatkan Deappa.
"Oh ya, maaf", kata Deappa
Dua 'peringatan' itu membuat Deappa bersikap tenang dan tidak takut lagi. Satu peringatan berbunyi 'Jangan takut itu teman-teman barumu' dan satu lagi, 'Hai maaf, ini perpustakaan jangan bikin gaduh ya'.
Deappa termenung sejenak, meskipun semua kejadian ini di luar kendalinya, ada rasa tidak enak di hati Deappa, ia bukan tipe anak pengacau, namun yang jelas gara-gara dia, bacaan  'Ruang Peristiwa Membaca' yang awalnya rapi berubah menjadi 'ompong' dan sangat tidak nyaman untuk dibaca lagi, sebab beberapa hurufnya telah tanggal. Ia ingin segera mengembalikan huruf-huruf itu ke layarnya, tapi bagaimana ?Â
Deappa belum tahu caranya. Ia mencoba menggerakkan tangan kanannya dan menunjuk-nunjuk ke arah layar, tapi huruf-huruf tetap menempel di bajunya.