"Napas rahim mengalir dari mata setia, apa mungkin sebab wajah yang berbayang di antara suara yang panjang mengajakku menulis jejak-jejak masa silam ini? Ketika ada yang memanggilku pelan, saat itu jua berbilang-bilang takdir cinta seakan berdziki, menerus-terus. ~ @bang_dho"
Â
Jum'at senja pukul Enam Tiga-Puluh, aku sedang mengubah posisi tas punggung ke depan dada saat debu-debu di sekitaran Loket Jasamalindo buyar diterpa angin akibat lalu-lalang penghuni ibukota melaju kendaraannya. Beberapa kali bertanya kepada mereka(Agen) Armada bus jurusan Padang -- Solok menjawab tanya yang sama. Tidak ada bus menuju Solok lagi. Artinya, aku harus menanti meski tak tahu harus berapa lama; Trayek jurusan lain yang juga melalui Kabupaten Solok tempat Anak dan Istriku menikmati bahagia mereka.
Yang aku tau sembari menunggu armada bus apa saja berikutnya, mari berpuisi seusai melaksanakan Tiga raka'at Wajib atasku yang dinamakan Shalat Maghrib. Bisa dibilang candu, bagiku berpuisi sudah mendarah daging sedari bosan merasakan pahitnya cinta untuk yang pertama kalinya. Hehehe ... Want to Know Ajhaaa ...
19.15Wib syukurlah, masih ada armada menuju Solok. Seorang anak paruh baya bersama pasangannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tak mau bergeser dari posisi duduknya yang candu. Yaa, tepat di barisan ke tiga dekat pintu masuk mini bus yang juga aku tumpangi. Bagaimana tidak, posisinya begitu dekat dengan jendela; dimana tiupan bayu mendayu-dayu menyisir rambutnya yang menguning laksana kuah sate yang tertumpah. Sementara waktu, aku Cuma bisa tersenyum sembari berusaha menuju bangku ke empat yang masih dalam posisi kosong; tepat di samping pasangannya; gadis belia mengenakan Swetter Ungu muda. (Rejeki nggak bakalan kemana) itu yang ada di pikiranku senja itu. Hehehe ...
Pelan-pelan, armada yang aku tumpangi mulai melaju. Empat Puluh menit lamanya di tengah perjalanan, sekujur rambut beraroma Melati makin melekat di Bahu kiriku. Sementara, di kanan sana ada tempat dimana seharusnya dia bersandar. Apa mungkin dikarenakan terpaan angin yang semakin menghantarnya ke Bahuku? Atau barangkali karena aroma-aroma nakal ini sedikit menempel ke arahnya? Bisa dikata, bak tarikan maghnetik yang begitu curang menipu butir-butir pasir semaunya. Atau barangkali karena pasangannya lebih memilih menikmati sepoi angin senja di sepanjang Jalur Sitinjau Laut, menghadap ke Jendela dan dengan mudahnya melupakan dia? Bisa saja. Hehehe ...
Sial ..., Di tengah perjalanan, Pengemudi yang masih berjiwa kesatria beranggapan lobang jalanan begitu indah dan datar, lalu menghantamnya begitu saja. Eehh ... yang ada, gadis belia ini terbangun dari tidurnya sontak mengelakkan rebah kepalanya terhadapku. Lalu seketika, tanpa pamrih dan bersuara sedikitpun, ia melemparkan seutas senyuman tanpa berani memandang ke arah mataku melebihi tiga detik waktu berlalu. Yaaps betul, hanya seutas senyuman saja.
"Seperti baru kulihat kelopak mata yang membawa sayap-sayap burung ke dalam keluasan langit. Sedangkan lekuk bibir yang tampak; seakan tengah tafakur di antara rerumputan yang tumbuh membagi sunyi. ~ @bang_dho"
Â
Semisal aku bertanya tentang "ada apa?" tentu tidak lah pantas, sebab dia hanya sekedar perempuan yang duduk berdekatan denganku di satu tumpangan yang kebetulan sama. Namun yang jelas, aku mendengar dia berucap "Aku tak kuat begini terus tentang kita, udahi aja; cukup" yang bunyinya terdengar seiring deru mesin yang tengah berjuang menghantarkan kami ke tempat tujuan masing-masing; Kabupaten Solok.
Dan aku, lebih dulu turun dari mereka yang masih saja menikmati perjalanan. Yah, hanya sekedar berbagi kisah kecil di perjalanan pulang menuju keluarga kecilku.