Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hakim dalam Senyap

2 Oktober 2018   16:24 Diperbarui: 2 Oktober 2018   16:31 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara kicauan burung sriti masih terdengar riang. Sinar mentari terasa hangat membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan kapur. Rozi masih termenung di ruangannya sejak kemarin sore. Matanya tampak merah dan rambutnya kusut. Laptop kerjanya tertutup rapi. Hanya gerak tangan kirinya yang tiap beberapa menit menggaruk kepala botaknya sambil menyandarkan badannya hingga melengkung kebelakang di kursi kerjanya.

Sejak keputusan rapat dewan guru kemarin siang, hasrat Rozi untuk pulang ke rumah mendadak hilang. Mulutnyapun seolah tidak mau menerima apapun, yang mungkin dapat merubah cita rasa pahitnya. Dia duduk menghadap jendela menatap bukit gersang yang tidak jauh dari sekolahnya.

Suara ketokan pintu tiba-tiba membangkitkanya. Dia berjalan lesu dan membuka pintu ruangannya. Seorang siswinya dengan kemeja kerah kotak-kotak warna abu-abu muncul dari balik pintu.

" Selamat datang Rina. Silahkan masuk! Aku tidak mengira kamu datang sepagi ini. Ini baru jam setengah tujuh."

"Aku tidak ingin teman-teman melihatku. Dan aku mendapat info dari Pak Jarwo tukang kebun kalau bapak tidak pulang semalam." Jawab Rina sambil merundukkan kepala. Tampak sekali wajah remajanya kini telah mulai matang. 

Dengan hati-hati Rina mengambil kursi dan duduk menghadap kursi kerja Rozi. Rambut keritingnya kelihatan masih belum tertata dan sama halnya dengan Rozi, matanyapun tampak merah dan bengkak.

" Ini tentu menjadi momen yang berat buatmu. Sebuah momen yang nanti akan menentukan masa depanmu." Rozi menghadap ke jendela membelakangi Rina.

" Semua sudah terjadi pak. Tentu tidak ada pilihan lain selain menanggung segala akibatnya. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia." Rina kembali menangis. " Akupun tidak akan melupakan ajaran bapak. Bukankah itu yang selalu bapak sampaikan, bahwa seorang remaja harus berani mengambil tanggung jawab agar dapat tumbuh menjadi manusia dewasa?"

" Betul, namun tidak seperti ini yang aku harapkan. Aku berharap kamu tumbuh sebagai seorang perempuan dewasa yang terpelajar. Itu tidak sulit buatmu." Rozi mengambil buku laporan aktifitas pembelajaran dari lacinya dan menaruhnya di hadapan Rina." Lihatlah prestasimu selama ini! Sebuah tindakan kekanak-kanakanmu telah merusak semua masa depanmu."

Rina terdiam memeriksa lembar demi lembar buku laporan itu.

*** 

15 hari sebelumnya ..

Malam itu, perutnya tiba-tiba mual dan kepalanya terasa pusing. Beberapa kali dia memuntahkan isi perutnya yang sudah tidak lagi berwujud. Sebuah sakit yang tidak wajar, pikirnya. 

Ketika entah yang keberapa kalinya dia muntah, tepat ketika suara kentung di pukul, mata Rina tiba-tiba gelap. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan kakinya sudah tidak lagi memiliki tenaga. Dia terjatuh tepat di depan kamar mandi rumahnya. Beruntung, paginya seorang teman sekelasnya  menemukannya saat menjemputnya untuk berangkat sekolah. Temannya itu pula yang kemudian memanggil seluruh tetangganya dan membawanya ke dokter.

Rina terbangun ketika seorang dokter perempuan mengelus rambutnya. Dokter itu menyambutnya dengan senyuman. Gigi putihnya tampak sangat jelas di mata Rina. " Kamu sudah bangun ternyata. Kabarnya orang tuamu sudah membeli tiket dan kemungkinan besok pagi sampai sini. Dia langsung terbang dari Johor ke Surabaya."

Rina merasa canggung mengetahui tingkah dokter perempuan yang sok akrab itu. Dengan sisa tenaga dia memberanikan diri untuk menyambut keakraban dokter itu. " Kamu tahu dari mana dok?"

" Aku mendengarkan tetanggamu bicara." Dokter itu tersenyum. " Sebenarnya, menguping pembicaraan orang tidak baik. Tetapi aku terlanjur mendengarnya. Jadi apa boleh buat." Dokter itu membela diri sebelum Rina angkat bicara. Dia kemudian berdiri meninggalkan Rina. "Owh iya, jangan lupa istirahat. Jangan sampai buah hatimu sakit juga karenamu."

" Apa dok?" Rina dengan sigap bangun dari tempat tidurnya. 

" kamu tetap istirahat. Biar aku yang menghampirimu.  Bisiknya. " Selamat atas kehamilanmu." Dokter itu kemudian mengambil bolpoin yang menempel di jasnya. Dituliskannya sebuah nomer di kertas resep yang sudah tidak terpakai di meja pasien. " Simpan nomerku, barangkali kamu membutuhkannya. Perkenalkan, namaku Santi."

Rina masih terdiam. Dia merasa seolah bangunan Rumah sakit itu perlahan mulai runtuh dan menghimpit dadanya. Tubuhnya terasa semakin lemas, dan keringat dinginnya tiba-tiba keluar. Dipandanginya punggung dokter yang menghilang di balik dinding.

*** 

"Ternyata bapak menyimpan semua piagamku dengan Rapi." Rina terharu mengetahui bahwa semua piagam yang selama ini tidak pernah diambilnya ternyata masih tersimpan di Arsip Rozi. " Aku tidak akan melupakan semua usaha bapak ini."

" kamu jangan berbaik sangka dulu. Rencananya aku ingin menjadikannya jaminan di Bank." Rozi mencoba memecahkan kebekuan suasana pagi itu.

Rinapun tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya tampak menghias mulut simetrisnya dan lesung pipinya semakin dalam dari sebelumnya. Menanggapi itu, Rozi segera melanjutkan candaannya. " Kamu kurus sekali Na. Kondisimu ini akan memperburuk dirimu sendiri. Biarkan aku pesankan sarapan ke Ibu Kantin. Aku juga sudah mulai lapar ini."

" Bapak bisa saja. Boleh pak, biar saya yang ngechat ibu kantin saja pak." Rina berhenti sebentar untuk membuka Gawainya. " Sudah pak." Rina tersenyum. Dia selalu merasa aman dan tentram saat berada di samping Guru Konselingnya itu.

" Begini Na, aku sebenarnya sangat tidak tega dengan kondisimu saat ini. Dengan menimbang sekian banyak prestasimu, aku berharap kamu mau mempertimbangkan permohonan para dewan Guru. Aku di sini hanya ingin menyampaikan keputusan mereka kemarin." Wajah Rozi kembali kusut. 

" Aku sudah tahu keputusannya pak. Aku juga tidak akan menolak keputusan itu." Rina tersenyum, namun air matanya mengalir deras. 

" Kamu tahu dari mana Na?" Rozi kaget. " Bahkan sejak diputuskan kemarin, aku belum keluar sama sekali dari ruangan ini. Harusnya akulah satu-satunya orang yang berhak menyampaikan kabar ini ke kamu. Dengan sangat hormat, akupun sudah meminta Dewan guru untuk merahasiakan hasil rapat kemarin." Rozi menarik napas dalam-dalam. Dia mencoba mengendalikan dirinya.

" Kata Wati, semua orang sudah membicarakannya. Tadi malam dia memberi tahuku, bahwa kabar aku dikeluarkan telah sampai di desa. Orang-orang tampak bahagia mengetahui kondisiku. Bahkan mereka berharap aku dapat keluar dari desa segera." Rina semakin merunduk.

Rozi mukanya memerah. " Mereka benar-benar gila." Namun kemudian kembali pulih setelah dia berhasil mengatur napasnya. "Sebenarnya kamu tidak dikeluarkan Na. Kamu hanya di minta untuk menggurkan kandunganmu saja. Jika kamu mau menggugurkan kandunganmu, maka surat ini yang akan kamu terima." Rozi menyodorkan sebuah surat kepada Rina. " Surat ini berisi panggilan kepada orang tuamu untuk bertemu dengan dewan guru di sekolah. Aku menduga, Ibumu akan diminta pihak sekolah untuk menjagamu di sini." Rozi kemudian berjalan menghampiri Rina dan memegang pundaknya. " Ibumu harus tetap tinggal di desa sampai kamu selesai Ujian Nasional nanti. Ibumu pasti bangga dengan semua prestasimu."

Mengingat Ibunya, Rina tampak tidak tenang.

*** 

14 hari sebelumnya..

Rina terbangun saat alarm gawainya berbunyi kencang. Sebuah alarm yang bertuliskan "Masa tenang untuk bercengkrama." Rina teringat bagaimana tiap jam yang sama dia selalu berlari keluar kelas untuk berkumpul di rumah Toha. Toha memiliki rumah di dekat sekolahan. Rumah yang cukup mewah di lingkungan desanya. Rumah itu selalu kosong karena kedua orang tua Toha juga merantau ke Malaysia sebagaimana orang tua Rina. Sehingga tidak seorangpun dapat mengganggu kebersamaan mereka.

Sejak kelas dua, Rina mengisi waktu istirahat siangnya di bersama Toha. Semua orang mengetahui itu dan terkadang beberapa temannya juga ikut ke rumah Toha, begitu juga teman-teman Toha.  Begitulah kiranya Rina mengisi harinya. Suatu hari saat libur panjang, Rinapun merasa kesepian. Dan saat itulah Rina mengetahui bahwa kebersamaan seperti di rumah itulah yang selama ini di inginkannya. Sebuah keluarga kecil yang tinggal dalam satu rumah.

Rina terbangun dari lamunannya ketika suara pintu kamar Rumah Sakitnya membentur dinding yang mengakibatkan suara keras seperti kaca pecah. Dari tempatnya, terlihat ibunya berjalan dengan cepat menghampirinya dan kemudian menamparnya berkali-kali hingga hidungnya keluar darah dan pandangannya kabur.

" Anak tidak tahu diri. Dipinterin malah buat orang tua malu saja." Bentak ibunya keras.

Rina menangis dan tidak menjawab. Dia menahan rasa panas di pipinya dan mencoba mencari tisu di meja makannya. Setelah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar tisu, dia kemudian menaruhnya di hidung. Dia berharap dapat menahan pendarahannya. Sambil dalam hati, Rina mengukukuhkan dirinya untuk terus bertahan, untuk tidak melawan, untuk tidak memperkeruh keadaan.

Mengetahui Rina diam, ibunya semakin menggila. Dia tampar lagi kepala Rina sekuat tenaga. Dia berhenti ketika Ayah Rina memegang tanganya. " Hentikan!" Bentak ayah Rina. " kau gila, dia ini anakmu." 

" Kau harus menggugurkan anak haram itu!" Ibunya kembali membentak. Kali ini, beberapa penghuni rumah sakit sudah memenuhi kaca jendela. Mereka menyaksikan kegaduhan yang ada di kamar Rina.

" Sudah, hentikan tingkah gilamu itu!" Ayah rina berdiri dan berjalan menuju kerumunan orang. Dia meminta agar kerumunan itu bubar. "sudah tahu akibatnya bukan?" Ayahnya kembali duduk. "Ini hasil tingkah gilamu itu. Orang yang sebelumnya tidak tahu masalah kita menjadi tahu. Kau mempermalukan keluarga dan anakmu sendiri." 

" Kau pikir aku penyebabnya?" Suara ibunya tertahan oleh tatapan tajam ayahnya.

" Sudah, kita bicarakan baik-baik." Ayahnya menengahi. " Rina, alangkah baiknya jika kamu menggugurkan kandunganmu itu. Ayah tidak ingin masa depanmu rusak karena bayi di dalam kandunganmu."

" Bagaimana mungkin bayi yang gerakpun masih belum bisa di salahkan?" Rina membela diri. "Aku tidak mau menggugurkannya Yah."

" Kau sekeras aku rupanya." Ayahnya tersenyum. " apa kamu kuat menghadapi gunjingan masyarakat mengenai kehamilanmu?" 

" Tidak akan ada yang tahu jika Ayah atau ibu tidak cerita ke mereka. Hanya kita dan dokter yang tahu yah." Rina mencoba meyakinkan ayahnya. 

" Nampaknya kamu belum tahu Na. Tadi pagi, Masmu bersama teman-temannya datang ke rumah Toha dan kemudian memukulinya. Dia berpikir dengan begitu dapat membela kehormatan keluarga Kita." Ayahnya melirik ibunya. " Begitulah hasilnya jika kita bertindak dengan emosi."

" Berarti kalian telah mengumumkan kehamilanku kepada semua orang?" Rina menatap ibunya dan menangis.

Ayahnya segera datang menghampirinya. Dia duduk disamping kepalanya sambil membersihkan darah dari hidung yang terus mengalir.

*** 

"Jika aku tidak mau pak?" Rina mendongakkan kepalanya.

Rozi tampak bingung, dia pejamkan matanya cukup lama. " Maka kamu akan menerima surat ini Na." Rozi menyodorkan satu surat lain dengan amplop yang berbeda. Tangannya gemetar ketika menaruh surat itu di atas meja. "Isi surat ini sangat berbeda dengan surat yang pertama. Disini secara jelas menyatakan bahwa kamu dikeluarkan dengan tidak hormat." Rozi memberikan penekanan pada saat melafalkan kalimat "dikeluarkan dengan tidak hormat". "Aku berharap kamu tidak memilih surat yang ini Na." Rozi memalingkan mukanya dari Rina.

" Keputusanku sudah bulat pak, aku tidak ingin menggugurkan kandunganku." Rina memutar-mutar gawainya. " Aku berharap ini pilihanku yang terbaik pak."

Rozi tersenyum. " Aku sudah menduganya. Itu yang membuatku semalam tidak pulang. Aku yakin kamu akan mengambil pilihan ini. Tetapi aku akan merasa sangat bersalah jika kamu memilihnya."

" Maafkan aku pak, keputusanku sudah bulat." Ucap Rina tegas. " Lagi pula, seandainya aku mengambil pilihan yang pertama. Tentu itu tidak akan memperbaiki keadaan. Mereka semua sudah mengetahui kalau aku hamil dan dikeluarkan dari sekolah. Teman-temanku akan menggunjingkanku ketika aku datang ke sekolah." Rina terisak. "Aku wanita bejat. Aku tahu dari banyak status mereka di facebook, whatsapp, line dan instagram. Sekarang tidak hanya teman sekolahku yang tahu kondisiku, tetapi seluruh kecamatan atau bahkan seluruh negeri." Suaranya tertahan oleh tangisnya.

Rozi memberikan selembar tisu padanya. "Kebejatan seseorang tidak dinilai dari seberapa buruknya seseorang memperlakukan dirinya." Rozi memberanikan diri untuk mengelus Rambunya. " Kamu tentu ingat janjiku padamu ketika kelulusan SMPmu?"

Rina memandang Rozi kemudian menggelengkan kepala. Dia hanya ingat kalau Rozi-lah orang yang mewakili orang tuanya untuk mengambil nilai Ujiannya. Memang bukan sebuah kebetulan jika Rozi menjadi walinya. Karena memang secara kekerabatan, keduanya merupakan saudara sepupu.

" Saking bangganya aku pada peringkat UN mu waktu itu, aku berjanji padamu untuk terus menjadi walimu." Rozi memeluk Rina. 

**** 

Suara bentakan masih beberapa kali terdengar dari ruang pasiennya. Sinta mencoba menutup telinganya dengan headset dan memutar lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Nike Ardila. Namun suara teriakan Ibu Rina masih terdengar jelas oleh telinganya. Segera dia berdiri sambil mengambil rokoknya dari laci kerjanya, dan kemudian pergi meninggalkan ruangan menuju kantin Puskesmas. 

Sinta mencoba menenangkan diri, dia telpon teman-teman lamanya sambil berusaha menyalakan rokoknya. Tangannya yang gemetar membuat dia kesusahan untuk menjaga api koreknya membakar ujung rokoknya. Ketika sudah berhasil menyalakan rokoknya, beberapa pengunjung kantin itu memperhatikan pemandangan ganjil itu. Seorang dokter perempuan menghisap rokok di tempat umum. Sintapun tidak menghiraukannya, pikirannya masih terfokus pada gawainya yang berulang kali mengeluarkan suara " maaf, nomer yang anda hubungi sedang sibuk."

Pada saat tubuhnya semakin gemetar, dia teringat dengan teman kecilnya yang telah lama tidak dihubunginya dan kebetulan mengajar di sekolah tempat Rina belajar. Segera dia pilih namanya dan kemudian dia telpon, " Halo, Rozi. Apa kabar?"

" Baik Sin. Tumben kamu menghubungiku terlebih dahulu?"

" Ah, sahabat manalagi yang dapat aku hubungi disaat kondisi seperti ini selain dirimu."

" Suaramu bergetar Sin. Pasti ada masalah serius."

" Kamu kenal Rina anak sekolahmu?"

" Kenal, dia salah seorang muridku." Terdangar Suara Rozi tertahan. " Kenapa dengan dia Sin?"

" Owh tidak, Dia pasienku sekarang. Kurasa kamu akan dengan cepat mengetahui maksudku."

" Ya-- ya.. kabarnya sudah sampai di sekolah." 

Keduanya diam tanpa bicara seolah mengetahui maksud dari satu sama lain. 

" Kamu dimana ini?" Roziqin mencoba mengisi obrolannya.

" Di Kantin Puskesmas." Sinta terisak. " Aku mendengarkan semua pembicaraan mereka. Kau tentu tahu maksudku." 

" Perlukah aku menemuimu di sana?" 

" Tidak usah, aku hanya butuh sedikit pengendalian diri." Pelan-pelan tangannya mulai kaku. Sinta menutup telpon nya dan kemudian menghisap rokoknya dengan hati-hati untuk mengembalikan kendali dirinya pada tubuhnya.

*** 

Pelukan itu terasa menengkan Rina. Air matanya mengalir deras yang mungkin saja membasahi seragam kerja Rozi. Rina merindukan kasih sayang semacam ini, seseorang yang dengan kasihnya mampu menerima bagaimanapun keadaan dirinya. Rina berjanji pada dirinya, tidak akan melupakan Rozi di sisa usianya. " Dulu aku mendapatkan kehangatan saat bersama Thoha. Aku mendapatkan jiwa sosok seorang pemimpin yang mandiri dan penuh tanggung jawab padanya. Aku memilihnya untuk menjadi Ayah dari anak-anakku." Rina kembali tersedu.

Pak Jarwo si tukang kebun itu masuk ke ruangan Rozi dengan tanpa mengetuk pintu. Rozi kaget menyaksikan kehadiran pak Jarwo sambil membawa sarapan yang dia pesan sebelumnya hingga hampir saja melepaskan pelukan Rina. Namun Pak Jarwo mengangkat tangan kanannya dan memberikan tanda agar Rozi tidak perlu canggung. 

Nampaknya Rina masih belum bisa melepaskan pelukannya, sampai beberapa menit kemudian. Rozipun menyadari betapa belakangan dunia berbalik memusuhi Rina dengan kejamnya. Dunia yang sebelumnya memuja kehebatan, kecerdasan, dan kecantikan parasnya itu menyimpan magma yang siap terlontar ketika terdapat sedikit celah untuk dimuntahkannya. Rozi bingung mencari kata yang tepat untuk menenangkan Rina. " Keprihatinan saja tentu tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahanmu. Aku akan sedikit memberikan cerita tentang seorang sahabat kecilku." Rozi mencari pegangan untuk dapat menceritakannya. Dia menunggu respon Rina atas perkataannya. 

Rina mengangkat kepalanya dan kemudian menghapus air matanya. Kali ini Rina menggeser tempat duduknya ke samping tempat duduk Rozi. " Aku tidak peduli jika ada orang yang kedekatan kita." Rina kembali menangis. " Dulu aku sangat malu ketika temanku mengetahui bahwa kamu adalah saudaraku. Sekarang aku sangat bangga, mengetahui kamu menjadi satu-satunya pembelaku." 

*** 

13 hari sebelumnya

Saat suara ayam pertama kali berkokok terdengar, Sinta memasuki kamar Rina. Dia duduk di samping Rina sambil mengelus keningnya. " Semoga kamu lebih kuat." Sinta tidak dapat menahan tangisnya. 

Rina terbangun dari tidurnya dan mencoba mengenali sosok di depannya. "Dokter, ngapain kamu di sini?" Ucap Rina kaget.

" Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Dan nampaknya mukamu memar semua." Sinta mencoba mengobati luka Rina.

" Mengapa lampunya dibiarkan Mati?"

" Aku tidak ingin membangunkan Ibumu." Sinta menarik napas, menahan tangis. " mau kah kamu keluar bersamaku?" 

" Dengan senang hati." 

Keduanya berjalan keluar menuju kantin. Mereka berdua duduk berhadapan. " Jikapun anakku dulu hidup, pasti sekarang sudah seusiamu na." Sinta tersenyum. 

"Kamu punya anak Dok?" Rina kaget. 

" Sepertinya begitu. Aku juga tidak begitu ingat, hanya saja secara medis aku memang terbukti pernah punya anak." Sinta menangis. " Tetapi aku tidak ingat detailnya. Apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah dia hidup atau mati, ditahun berapa dia lahir, semua nya menjadi tidak jelas buatku. Tidak seorangpun pernah bercerita tentangnya. Sampai pada akhirnya, dua tahun lalu aku memohon rumah sakitku yang lama untuk memindah tugaskanku ke sini. Ya, dulu aku asli sini. Dan panggilanku bukan Sinta tetapi Robiah. Abangku memintaku untuk menyingkat nama Robiahku menjadi R. Makanya namaku di ID card jadi Sinta R." Sinta mendorong tubuhnya ke depan. " Jangan bilang siapa-siapa mengenai ini, ini rahasia kita."

Rina justru menemukan sisi lain dari Sinta. Sisi gila dari seorang dokter yang baik hati. " Bagaimana kamu bisa jadi dokter kalau kamu pernah melahirkan lima belas tahun lalu? Aku rasa saat itu kamu masih kuliah." 

" Itulah kelemahanku, aku hanya mampu mengingat masa kuliahku sebagai mahasiswa kedokteran. Aku tidak bisa lagi mengingat masa-masa sebelum itu. Kecuali hari dimana aku melahirkan anakku dan di dampingi oleh Adikku. Ya, aku punya seorang adik yang usianya dua tahun di bawahku. Dia sekarang memiliki dua orang anak."

Rina merasa tertarik mendengarkan cerita Sinta. Namun suara gawai Sinta berdering. " Ya, ada apa?"

" Kamu gak pulang?"

" Aku pulang sebentar lagi."

" Ayo Rin, kita kembali. Aku sudah dipanggil pengasuhku." Sinta membopong Rina.

" Suamimu?" Tanya Rina.

" Bukan, dia Abangku." Sinta tersenyum. " Dia memang sering bawel kalau aku terlambat pulang. " Aku tidak menikah."

**** 

Rencana untuk mengakhiri hidupnya telah memuncak, sampai pada detik itu saat dia memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya ke Pundak Rozi. Dia berpikir kalau hidupnya telah berakhir dan   hanya ingin mengulur waktu beberapa saat untuk bersama dengan keluarga yang benar-benar dengan tulus menyayanginya. Tidak seperti ibunya yang hanya mengharapkan kebaikan darinya.

Dia merasa sangat bersalah jika membiarkan Rozi merasa tidak mampu membantunya. Dia ingin berterima kasih atas upaya Rozi selama ini untuk membantunya. Diapun berulang kali mengucapkan syukur atas karunia Tuhan. Dia merasa Rozi adalah sosok malaikat yang dikirim Tuhan untuk melindunginya. Hanya saja, mengapa selama ini dia merasa Jijik pada Rozi? Apakah karena semua orang mengatakan kalau Rozi sebagai anak seorang pelacur? 

Rozi adalah anak dari adik ibunya yang ditinggal mati suaminya saat Rozi masih bayi. Untuk menghidupi anaknya, Ibunya Rozi rela menjajakan tubuhnya untuk lelaki di Desa sampai pada suatu hari dipergoki oleh salah seorang penduduk desa dan kemudian diusir dari desa. Ibunya kemudian pergi ke kota dan menjadi Pelacur di sana. Sejak saat itulah, keluarga Rina memutus hubungan kekerabatan dengan keluarga Rozi. Bahkan menganggap Rozi sebagai anak sampah yang tak patut untuk dianggap keluarga. Mungkin selama ini Rina terbawa oleh pandangan itu. Rina menangis, merasa kalau dia telah salah menilai Rozi.

" Sudah bolehkah aku bercerita?" Rozi mengangkat kepala Rina. Rina menganggukan kepala. " Tetapi tidak di sini, aku akan menceritakan semuanya setelah kamu mau bersamaku pulang ke Rumahku. Aku akan menampungmu di Rumahku. 

Rina kaget, dia mendongakkan kepala. " Biar di sini saja." Rina tidak ingin rencananya untuk mengakhiri hidup setelah balik dari sekolah gagal.

" Ayo, ikut aku." Rozi memaksa dan menarik tangan Rina. 

Rumah Rozi, cukup mewah bila di banding dengan rumah di sekitarnya. Sejak Rina kecil, sama sekali dia tidak pernah menginjakkan kaki di Rumah itu. Biasanya ketika lewat rumah itu, Rina hanya memandang dari kejauhan sambil meludah di sisinya. Dia selalu berpikir bahwa rumah Rozi adalah rumah setan, yang tidak patut untuk dikunjungi. Tapi semua itu sudah tidak penting sekarang, Rina sudah jauh lebih buruk dari setan. Mungkin dia sekarang telah sama seperti Ibu Rozi, sama pelacurnya.

" Silahkan duduk!" Rozi mendudukkan Rina di Sofa. Tidak berselang lama, Agni istri Rozi datang menghampiri Rina. " Owh, ini Rina. Rozi selalu menceritakan tentangmu. Kamu memang cantik, secantik ibumu. Matamu biru layaknya nenekmu." Agni mencium kening Rina.

" Aku bukan lagi bunga yang indah. Aku bunga yang telah dipetik dan kemudian dibuang." Jawab Rina ketus. Rina masih jijik dengan Agni, di desa Agni terkenal sebagai salah satu biang kerok atas perceraian dan rusaknya puluhan rumah tangga masyarakat desa. Agni selalu datang ke rumah perempuan yang bermasalah dengan suaminya untuk menawarkan bantuan hukum sehingga mereka bisa menceraikan suaminya. 

" Ah, kau pasti sudah banyak mendengarkan cerita tentangku." Agni melirik Rina. 

Rinapun kaget karena serasa Agni telah membaca pikirannya. " Bukan, Bukan, aku tidak berpikir demikian. Tapi kamu memang sering dibicarakan di desa. Terakhir namamu sangat terkenal ketika berhasil membuat Yai Ahmad masuk penjara karena menampar istrinya. Semua orang mengutukmu saat itu." 

" Owh ya? Wah, sepopuler itukah diriku?" Agni tersenyum bahagia. " Kamu kalau butuh apa-apa ambil saja di kulkas. Maaf, aku tidak memasak." Agni duduk di samping Rina sambil memainkan gawainya.

Rina merasa benar-benar canggung dengan keluarga gila ini. Suaminya sangat baik, istrinya tidak karuan tingkahnya, ibunya mereka seorang pelacur. Mereka sama sekali tidak takut dengan kutukan ataupun pandangan miring orang sekitarnya. Rina mulai merasa berkumpul bersama dengan orang yang senasib dengannya, merasa nyaman bersamanya.

Rozi datang dengan kaos warna biru. Setelah mandi, dia tampak lebih baik dari sebelumnya. Rambutnya rapi dan mukanya bersih, tidak sekusam saat di sekolah. " Hei, masih ingin mendengarkan ceritaku?"

Rina mengangguk.

" Dulu aku punya seorang sahabat sejak lahir." Rozi menunjukkan foto bayi kembar yang ditaruh di atas televisi. " Dia lahir bersamaku, di hari yang sangat panjang. Hari yang melahirkan generasi penerus dan akhir dari generasi sebelumnya. Karena pada hari yang sama, Ayahku mengalami kecelakaan sehingga kemudian membuatnya menghembuskan napas terakhir." 

" Bukankah kalian kembar?" Rina berdiri menghampiri foto dua orang bayi itu.

 " Bisa dibilang begitu, tetapi sejatinya kami lebih dari saudara. Dialah satu-satunya temanku sampai lulus SMP. Saat itu tidak seorangpun mau bermain dengan kami karena citra buruk Ibu kami." Rozi tersenyum. "Beruntung keluarga Almarhum Ayahku cukup mapan ekonominya. Sehingga membuat kami tidak perlu ke jalan untuk mengemis belas kasihan."

" Ibumu bukan pelacur?" Rina kaget.

" Dulu banyak masyarakat desa yang merasa terancam dengan keadaan ibu yang janda. Faktanya, hampir semua lelaki di desa sekitar sini selalu mencari kesempatan untuk mendekati ibuku. Sampai suatu hari, ibuku di tuduh menggoda salah seorang suami penduduk desa dan kemudian di arak keliling kampung." Rozi berhenti seolah mencoba untuk mengingat sesuatu. " Kakek dan nenekku dari Ayah kemudian mengetahui hal itu, mereka kemudian datang ke desa dan menjemput ibuku. Untuk diajari mengelola bisnis mereka. Sedangkan aku dan kakakku ditinggal di desa bersama dengan seorang perawat. Kamu pasti kenal dengan perawat kami, mbok Jinah. Dia juga yang seharusnya merawat dan membesarkanmu." Rozi berdiri seolah mencari pegangan yang dapat digunakan untuk bersandar. 

" Iya, dia tetangga samping Rumahku. Dia sering menjenguk dan merawatku saat sakit setelah kepergian ibu dan bapakku ke Malaysia." Rina semakin penasaran.

" Saat masuki jenjang SMA, kami diminta ibu untuk pindah ke kota. Namun kakakku, diam-diam jatuh hati dengan Rohman. Anak tertua dari keluargamu, sehingga dia tidak mau meninggalkan desa. Dia ingin tetap tinggal biar bisa tetap dekat dengan Rohman, walaupun cintanya tanpa balas." Rozi meminum air putih yang dihidangkan oleh istrinya dengan sekali tegukan. " Puncaknya, ketika malam perpisahan SMA mereka. Kakakku mencari kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Rohman. Dia meminta Rohman untuk datang ke Rumah ini. Di sinilah dia mengungkapkan isi hatinya." Rozi mulai meneteskan air mata. " Namun nampaknya, Rohman hanya menyukai tubuh kakakku."

" Sebentar, aku tidak pernah mengetahui kalau orang tuaku mempunyai anak bernama Rohman." Rina memotong cerita Rozi.

" Kamu tidak akan mendengarkan cerita tentangnya, karena Rohman aib bagi keluargamu. Bahkan ayahmu merantaupun karena malu dengan tingkah Rohman. Ayahmu orang yang sangat baik." Rozi menarik napasnya dalam-dalam. " baik, aku akan melanjutkan ceritanya. Malam itu Rohman berjanji kepada Kakakku akan menerima cintanya dan akan menikahinya, namun dengan satu syarat. Kakakku harus mampu membuktikan seberapa besar cintanya dengan tidur dengannya. Maka semua terjadi saat itu juga. Sebuah benih tertanam dalam rahim kakakku." Rozi tatapannya semakin kosong. " Di lain sisi, kakakku ketrima kuliah di kedokteran dan Rohman diterima di Akademi militer. Sampai saat aku menjemput kakakku, Rohman masih berdiri di sini dan ikut menyampaikan salam perpisahan dengan kakakku layaknya sepasang kekasih." Rozi kembali terdiam beberapa saat. "Semua petaka terjadi di bulan ketujuh kakakku di kota, saat dia selesai perkaderan di Fakultas kedokteran dan perutnya mulai tumbuh membesar. Ibuku mulai curiga dengan perubahan fisik kakakku, namun dia semakin hari semakin tertutup." Rozi menghampiri Rina. "maka ibu memanggilku untuk menghadap. Dia menanyaiku tentang lelaki yang dekat dengan kakakku. Akupun menyebutkan nama Rohman. Ibu tidak ingin menambah masalah kakakku dengan memarahinya. Ibu memilih untuk pergi ke desa dan mendatangi Rohman dan menyuruhku untuk tetap tinggal di kota mendampingi kakakku." Rozi berdiri sambil memegang pipi Rina. " Di desa itulah tragedi tragis keluarga kita terjadi. Rohman tidak mau mengakui kalau dia telah meniduri Kakakku. Rohman di depan ibuku bilang kalau kakakku yang keturunan pelacur yang telah mencemarkan nama baik keluarganya pantas untuk mengalami hal itu. Maka dengan sigap, ibuku langsung membabat habis Rohman dengan samurai yang telah dia persiapkan. Ayahmu yang hendak melerainyapun berakhir dengan terpotongnya salah satu jari tangannya. Kamu dapat mengecek kebenaran ceritaku dengan menghitung jumlah jari orang yang kamu panggil Ayah. Selesai membunuh Rohman, Ibuku kemudian mengakhiri hidupnya di sini. Di Rumah ini." Rozi menangis kembali. 

Tubuh Rina bergetar, dia merasa tidak mampu mendengarkan cerita ini lebih lanjut. Agni menghampirinya dan memeluknya.

" Kakakku merasa sangat terpukul dengan tragedi yang terjadi pada masa itu. Dia merasa bahwa kematian ibu dan Rohman adalah kesalahan dia seorang. Entah berapa kali aku harus menggagalkan Kakakku bunuh diri. Gagal dengan cara satu dia mencoba cara lain. Sampai pada bulan ke delapan kehamilannya, dia mulai tampak linglung. Dia kehilangan kewarasannya. Sejak bangun sampai tidur lagi dia hanya duduk di jendela kamar rumah kami di kota. Kakek dan nenekku yang saat itu masih hidup sangat prihatin mengetahui kondisi kakakku. Mereka kemudian mendatangkan ahli kejiwaan untuk melakukan pengobatan Rumah dan mengirimkan surat permohonan cuti ke kampusnya. Tidak ada yang tahu kalau kakakku pernah gila, kecuali aku dan istriku. Sejak saat itu pula kakakku kehilangan sebagian ingatannya." Rozi merebahkan badannya.

" Diakah Dokter Sinta?" Rina penasaran.

" Betul, dia dokter Sinta. Dialah wanita yang melahirkanmu saat kesadarannya masih belum sempurna." 

Rina menangis, dia merasa bersalah karena selama ini telah merasa jijik dengan keluarga yang melahirkannya. " Bagaimana ceritanya aku bisa jatuh ke tangan kedua orang tua itu?"

" Ayahmu prihatin dengan kondisi kakakku, dia meminta untuk membesarkanmu di Rumahnya dan menjadikanmu sebagai anak. Di desa dia memberitahukan bahwa kamu adalah anak dari kerabatnya yang di kota. Tidak seorangpun diijinkannya untuk menceritakan asal-usulmu demi ketenangan dan kebaikan masa depanmu. Namun dia mengetahui kalau Robiah atau Sintalah dokter yang merawatmu. Dia sempat bertemu dengan Robiah dan kemudian meminta untuk bertemu denganku. Mengetahui tingkah ibumu yang menganiayamu, Ayahmu memintaku untuk menceritakan semua ini dan membawamu ke kota. Sebelum balik ke Malaysia, dia menitipkan sebuah surat untukmu." Rozi merogoh sakunya dan mengambil sebuah kertas yang kemudian disodorkan kepada Rina. 

Rina membaca surat itu dengan hati-hati.

" Aku tahu, kamu berencana untuk bunuh diri sebagaimana Nenekmu dulu mengakhiri hidupnya. Ketahuilah aku adalah Kakekmu dan sahabat dekat Nenekmu sekaligus kakak iparnya. Aku menemukan diri Zaid kakekmu yang penuh keberanian dan kecerobohan serta rasa putus asa Laila Nenekmu. Kami bertiga dulu bersahabat dekat, bahkan sampai hari kematian Laila. Aku tidak ingin, kau penghubung alamiku dengan kedua orang sahabatku mengakhiri hidupnya dengan cara bodoh. Kembalilah kamu pada keluarga kecilnya dan kelak saat ada kesempatan aku akan menemuimu. - Yudi kakekmu-"

Rina terdiam tanpa suara sambil membayangkan Dokter Sinta yang sangat antusias mengobati luka memar di mukanya dan Rozi yang berlari tergopoh-gopoh untuk naik panggung saat nama wali nya dipanggil untuk menerima penghargaan atas prestasinya saat SMP. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun