Rozi memberikan selembar tisu padanya. "Kebejatan seseorang tidak dinilai dari seberapa buruknya seseorang memperlakukan dirinya." Rozi memberanikan diri untuk mengelus Rambunya. " Kamu tentu ingat janjiku padamu ketika kelulusan SMPmu?"
Rina memandang Rozi kemudian menggelengkan kepala. Dia hanya ingat kalau Rozi-lah orang yang mewakili orang tuanya untuk mengambil nilai Ujiannya. Memang bukan sebuah kebetulan jika Rozi menjadi walinya. Karena memang secara kekerabatan, keduanya merupakan saudara sepupu.
" Saking bangganya aku pada peringkat UN mu waktu itu, aku berjanji padamu untuk terus menjadi walimu." Rozi memeluk Rina.Â
****Â
Suara bentakan masih beberapa kali terdengar dari ruang pasiennya. Sinta mencoba menutup telinganya dengan headset dan memutar lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Nike Ardila. Namun suara teriakan Ibu Rina masih terdengar jelas oleh telinganya. Segera dia berdiri sambil mengambil rokoknya dari laci kerjanya, dan kemudian pergi meninggalkan ruangan menuju kantin Puskesmas.Â
Sinta mencoba menenangkan diri, dia telpon teman-teman lamanya sambil berusaha menyalakan rokoknya. Tangannya yang gemetar membuat dia kesusahan untuk menjaga api koreknya membakar ujung rokoknya. Ketika sudah berhasil menyalakan rokoknya, beberapa pengunjung kantin itu memperhatikan pemandangan ganjil itu. Seorang dokter perempuan menghisap rokok di tempat umum. Sintapun tidak menghiraukannya, pikirannya masih terfokus pada gawainya yang berulang kali mengeluarkan suara " maaf, nomer yang anda hubungi sedang sibuk."
Pada saat tubuhnya semakin gemetar, dia teringat dengan teman kecilnya yang telah lama tidak dihubunginya dan kebetulan mengajar di sekolah tempat Rina belajar. Segera dia pilih namanya dan kemudian dia telpon, " Halo, Rozi. Apa kabar?"
" Baik Sin. Tumben kamu menghubungiku terlebih dahulu?"
" Ah, sahabat manalagi yang dapat aku hubungi disaat kondisi seperti ini selain dirimu."
" Suaramu bergetar Sin. Pasti ada masalah serius."
" Kamu kenal Rina anak sekolahmu?"