Mohon tunggu...
Bayu Gustomo
Bayu Gustomo Mohon Tunggu... -

Musik, Bola, dan rileks

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Tak Ada Matinya"

28 Februari 2012   14:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas menikmati film War Horseyang barusan tadi saya tonton. Kini saya harus dihadapkan lagi pada sesuatu yang menuntut kesabaran. Menunggu. Pekerjaan yang entah sudah berapa ribu tahun disebut sebagai hal yang menjemukan dalam hidup ini. Kesempatan kali ini saya diharuskan untuk kuat menunggu selama tiga jam. Demi unduhan satu film yang belum pernah saya menontonnya. Berjudul Princes Of Persia. Bertema sand of time. Ya butiran waktu.

Waktu adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidup setiap manusia. Sebab mungkin adalah satu wadah atau tempat menampung setiap peristiwa-peristiwa. Baik yang manis maupun getir. Waktu pula yang terekam dalam pikiran saya, kalian, dan mereka.

Dari lembaran-lembaran waktu pula, saya ingin bercerita. Tapi akan lebih afdhol jika kita nikmati sebuah gita apik dari GIGI. Berjudul Sahabat. Karena para tokoh dalam cerita ini adalah sahabat-sahabat saya.

"Assalamu'alaikum..."

Salam dari bu Restu sebelum memasuki kelas kami 1C. Setelah jawaban atas salam tersebut kami jawab dengan kompak, "Wa'alaikumsalam....", serta dengan penuh kepercayaan diri. Bahwa dengan menjawab salam tersebut, seakan surga ada di depan mata. Bu Restu memperkenalkan siswa yang baru datang itu.

Suasana kelas kembali pada fase serius. Dia, siswa baru itu langsung mengambil tempat, di bangku yang masih menyisakan satu kursi kosong. Entah siapa teman sebangku dia. Saya sudah lupa. Jelasnya bukan anggota DPRD. Sebab dia duduk di kursi kelas bukan kursi yang selalu diperebutkan setiap lima tahunan itu. Namun pada akhirnya kok ujung-ujungnya bikin band bareng saya.

Dari sekilas saya perhatikan penampilan dan gelagatnya. Dia punya potensi. Gairah di bidang seninya tinggi. Paling tepat terkaan saya waktu itu adalah, dia penggemar Iwan Fals. Karena tidak salah lagi, ketika saya dapati cerpen hasil tulisannya. Terpampang di majalah dinding (mading) sekolah. Dengan menggabung-gabungkan judul lagu Iwan Fals hingga terciptalah karya tulis yang enak untuk dibaca. Dia pasti gemar membaca, kutu buku kelas berat. Kacamatanya menguatkan prediksi saya. Tidak salah memang jika pada akhirnya dia tercatat sebagai salah satu murid kreatif.

Ketika ingin menuliskan kisah ini benar-benar saya dihadapkan pada satu kegamangan. Mau dimulai dari mana? Kiri ataukah kanan? Depan atau belakang?

Manusia pada dasarnya seperti listrik. Punya dua potensi energi yang dominan dalam dirinya. Positif dan negatif. Plus dan minus. Itulah kita manusia. Mahkluk yang menghuni sebuah planet bernama bumi ini, yang masuk dalam galaksi Bimasakti.

..............................

Hartomo berjuluk Mbah Kung oleh kami teman satu sekolahnya. SMA COKROAMINOTO MADIUN. Kebetulan selama tiga tahun sekelas dengan saya. Jadi lebih kurangnya saya ingat gimana sepak terjangnya.

Bercita-cita masuk kelas IPA namun gagal. Bukan karena nilai ilmu pasti, fisika, kimia, dan biologinya tak memenuhi syarat untuk masuk kelas tegangan tinggi tersebut. Sebuah dunia yang sebetulnya tidak dia ingini dan gemari. Ilmu yang sebenarnya ingin dia perdalam adalah bidang IPA dan matematika. Tapi apalah daya. Keputusan tertinggi ada di tangan pak Joko yang selalu ingin membuat citra kelas IPA tetap terjaga nama baiknya. Hartomo tipe pemberontak, seinrkali melakukan provokasi terhadap teman-teman guna merombak aturan sekolah yang menurut dia tidak relevan buat semuanya. Itu pun berdasarkan cara pikir dia yang masih menunjukkan sifat dominan anak muda. Memutuskan secara sepihak atas dasar pemikiran dia.

Suatu ketika pernah dia memboikot pihak sekolah dengan demo. Aksi bolos dengan mengajak teman-teman satu kelas. Sebab musabab nya dia tak puas dengan sanksi buat murid yang terlambat datang. Karena pada waktu itu hampir tiap hari senin Hartomo sering terlambat ikut upacara. Alasannya klasik sih, namun juga masuk akal. Rumahnya Ngawi, berangkat ke sekolah naik bis lalu oper angkutan umum saat di terminal. Belum dari rumahnya Ngawi sana. Dia juga harus menunggu angkot yang akan membawanya ke terminal dulu sebelum pada akhirnya meluncur ke Madiun. Sebenarnya juga dia cuma terlambat di hari senin. Untuk hari-hari yang lain dia selalu ontime.

Tinggal di sebuah kamar kost'an kecil dari sekolah kami ke arah barat. Hanya dengan berjalan kaki maka sampailah ke tempat menimba ilmu. Dia juga golongan anak yang serius menghadapi pelajaran. Tapi di balik itu semua tetap saja darah pemberontaknya tak bisa tertutupi oleh kerajinan dia. Dari sebab itulah dia menjadi leader saat demonstrasi yang tanpa ada kreasi. Bahkan terkesan basi di mata guru-guru. Tapi apalah mau dikata. Jiwa dan pikirannya sudah terkontaminasi dengan perihal pemberontakkan. Apapun yang menurut dia tak cocok harus dirombak. Walaupun akibatnya harus dia tanggung sendiri. Seperti ketidak setujuan pak Joko memasukkannya di kelas IPA.

Kasihan Bu Rahima juga, walikelas kami. Saat di kelas 1 C, sekaligus guru kimia. Akrab dipanggil bu Ima. Harus menangis dulu agar Hartomo menurut apa kata beliau. Bukan sebab dia tak pernah kerjakan tugas kimia. Melainkan soal penampilan yang selayaknya pelajar di Indoneia pada umumnya. Khususnya yang taat. Hartomo termasuk golongan manusia yang sak karepe dewe, "ya bu besok saya potong rambut saya", tapi itu cuma pemanis bibirnya. Tak ada bukti. Besoknya masih tetap sama gondrong hampir sebahu. "Awas besok gak potong!", ancam bu Ima padanya. Memang kesokan harinya dia memotong rambut. Tapi bukan malah tambah pantes saja penampilannya. Kali ini anting bergelantungan di kupingnya. Diingatkan seketika itu juga, memang akhirnya ia lepas. Namun lusa siapa bisa menerka kalau hiasan asesoris pindah ke hidung. Ahh, dasar manusia tak bisa diatur. "Jiwa seni kebablasan", sindir bu Ima singkat saja pada nya.

Sindiran itu memang terbukti lumayan ampuh untuk meredam penerapan hidup dalam konteks seni dalam pemikiran Hartomo. Ini masih dalam tahap lumayan meredam lho, bukan dalam artian mutlak membuat si pembangkang jera tak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya lagi. Hari pun berganti belum genap seminggu berlalu sindiran bermaksud membangun mental dan pemikiran Hartomo ke arah yang lebih baik. Dari bu Ima, tiba-tiba saja bak buaian angin yang begitu saja berhembus. Tanpa meninggalkan jejak nerupa bentuk. Kata-kata bu Ima bak sesuatu yang tak pernah ada. Kini ganti rambutnya kembali terkena efek pemikiran arti kata pengeksplorasian jiwa seni. Setelah sempat menjadi perbincangan di ruangan guru mengenai perubahan diri yang semula susah dibina menjadi lumayan baik. Ahhh kini kembali ke wujud dan tabiat aslinya. Rambut dari warna khas Indonesia menjadi warna pirang gaya Amrik. Kini habis sudah kesabaran bu Ima. Ketelatenan membimbing dan mengajarkan serta mendidik seorang anak manusia berubah jadi emosi. mending kalau ledakan emosi itu tersalurkan dengan secara tegar memaki si pelanggar, dalam hal ini Hartomo. Ini dia tumpahkan lewat isak tangis. Karena merasa gagal mendidik dan mengajarkan arti sebuah ketaatan akan peraturan pada Hartomo. Bu Ima terlalu sayang dengan semua anak didiknya. Hingga tak tau harus bagaimana lagi mewujudkannya. Hal itu dia buktikan dengan tangisan, suatu pesan moral tersirat di dalamnya. Tanpa harus memaki dan berkata kasar. Cukup dengan perasaan dan segenap hati dia menyampaikan pesan-pesan moral itu. Tangisan itu sebuah gambaran betapa pedulinya seorang guru pada muridnya agar menjadi manusia terdidik yang unggul dalam ilmu dan moral yang baik serta unggul.

Hartomo akhirnya menyerah. Dengan segala keikhlasan dia rela memperbaiki penampilan selayaknya seorang pelajar yang baik dan sadar akan peraturan.

Masih tentang Hartomo. Dia pertama kali kost bersama DIdi anak Indramayu. Setali tiga uang. Sejurus dalam pemikiran dan idealis tentang kehidupan anak muda. Mereka berdua sama-sama menginginkan kebebasan. Tanpa ada yang mengatur jalan hidup mereka. Dalam hal ini Hartomo lebih unggul dalam belajar. Didi. Dari Indramayu datang ke Madiun untuk menimba ilmu. Penggemar klub Inter Milan. Tertarik dengan cewe bernama Meffida, rumahnya dulu depan pasar besar. Sekarang rumah itu telah tergusur. Sejak tujuh tahun yang lalu memang terjadi persengketaan atas tanah wilayah tersebut. Banyak yang pergi dari kampung tersebut, lantaran kalah dalam hal hak kepemilikan tanah yang sah. Entah disebabkan karena memang begitu adanya. Atau karena sebab uang bisa menyulap segala yang tak semestinya terjadi bakal jadi kenyataan. Kebenaran mungkin mudah sekali terbeli di negeri ini. Kalau memang benar itu keadaannya. "Oh, betapa kasihannya negeri ku ini", gumamku.

Meffida memang mempunyai tipikal wajah yang ayu. Hidungnya mungil sedikit mancung. Bak buah stroberi yang baru dipanen, menyisakan tetesan embun pegunungan. Bibirnya berwarna merah segar. Tak urung membuat Didi kesengsem. Tinggi badan Meffida memang tidak tinggi semampai. Mungkin dari sebab itulah dia terkesan seperti peri kecil dalam tidur si Didi. Perkenalan dengan gadis itu juga lewat perantara Hartomo teman satu kost nya. Kebetulan ada saudara hartomo yang tinggal sekampung dengan Meffida. Ahh tapi entah sampai dimana ujung kisah mereka berdua. Jelasnya Didi malah akhirnya membantu Rio setahun kemudian untuk menggebet si peri kecil Meffida.

Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).

Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.

Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.

Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.

"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".

Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....

..................

Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.

Ingat sebuah cerita, dimana seorang guru bernama ibu Muslimah. Dalam film nya diperankan oleh Cut Mini. Begitu lihainya membakar semangat semangat anak-anak SD Muhamadiyah. Ketika kejenuhan yang teramat sangat mendera. Bangunan sekolah nyaris ambruk jika tak ditopang kayu penyangga tambahan. Namun dalam hal ini Cut Mini, eh sorry Ibu Muslimah mampu mengatasi keadaan dengan cerita nya. Kisah tentang Bung Karno yang mampu menulis buku Indonesia Menggugat ketika presiden pertama negeri ini dijebloskan dalam penjara. Sel yang sempit di kota Bandung. Oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sel yang sempit dan bau serta penuh penderitaan tak membuat semangat sang Ploklamator redup. Semangat untuk terus berjuang guna kemerdekaan yang harus terengkuh. Cerita inspiratif mampu membakar semangat anak-anak Laskar Pelangi.

Pak Nur tak beda jauh dengan adegan tersebut. Cuma dalam konteks, kisah itu masih kalah heroik nya dengan cerita yang ditulis Andre Hirata. Namun juga tak apalah jika saya sedikit agak kepedean menyandingkan kisah itu dengan karya sang Maestro Andrea Hirata toh esensi nya juga gak beda jauh. Mengobarkan semangat.

Atas cerita tersebut Hartomo terlecut untuk berbuat sesuatu. Mumpung masih bulan Oktober. Sumpah Pemuda tinggal menunggu waktu. Gayung bersambut, ternyata Osis juga merencanakan acara tersebut.

.......................

Setelah berlatih dengan konsisten kami Spidol Band. Dengan personil Hartomo dan Fery pada gitar. Maryono pemain bass. Lalu tak ketinggalan Pranata penggebuk drum. Meraih juara satu lomba band di sekolah kami. SMA Cokro dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda saat itu. Hal yang kami sangka sebelumnya. Kami puas. Terutama Hartomo dan Fery sebab mereka berdualah kompak dalam pemilihan lagu

yang kami bawakan. Mahadewi dan Begitu Indah. Semua kami ambil dari kantong album Lain Dunia milik Padi.

Walau pada akhirnya setelah momen ini Pranata jadi gitaris menemani Hartomo. Drumer akhirnya kami percayakan pada Bambang. Sedangkan Fery mengisi posisi bass. Maryono tak terlalu serius itulah perombakan band. Malah pada akhirnya kita ikutan berkompetisi di IKIP Ngawi.

Kebersamaan Fery dan Bambang akhirnya juga ada ujungnya. Sebab mereka satu tingkat di atas kami betiga. Akhirnya nasib Spidol Band berkali-kali mengalami pergantian. Cuma saya dan Hartomo yang konsisten. Sedangkan Pranata mulai sibuk dengan kegiatan balap motornya. Namun kembali bermain band sebagai penggebuk drum lagi saat acara perpisahan. Bersama saya, Hartomo, pengganti Fery yang juga punya nama yang sama dengan pendahulunya. Namanya Fery juga. Dengan posisi yang sama pula pemain bass. Untuk menemani Hartomo bermain gitar kita mendaulat Joko. Sekarang sudah almarhum. Meninggal tahun lalu. Joko termasuk murid kelas IPA. Paling cocok ngamen duet dengan Hartomo, alias Mbah Kung.

..........................

Hartomo kembali bikin ulah...! "Cuma hal yang biasa", begitulah komentar saya. Ketika mendapati dia bikin masalah lagi Dengan percaya diri masuk ruangan kelas tiga. Padahal tidak punya bulti apakah dia naik ke kelas tiga, berupa buku raport. Catatan, rangkuman nilai selama setahun hilang entah kemana man. Sudah gitu dengan pede yang super tinggi masuk ruangan kelas IPS 1 duduk sebelah saya. Setelah pak Joko menggagalkan niatnya masuk IPA. Dia pilih meleburkan diri dalam komunitas pelajar sosial. Kalau masalah dia kepedean sih, mungkin bisa kita tolerir, sebab saya yakin nilainya pasti memenuhi syarat. Terutama ilmu pasti. Tapi kalau bukti otentik berupa buku raport belum dia kumpulkan semenjak kelas dua gimana brotha and sista? Okelah kalau nilainya bagus-bagus, tapi semua kan perlu bukti yang tertulis di buku raport kan?

Tapi dasar dia yang punya masalah sepertinya tak mau ambil pusing. Surat kehilangan atas buku raport nya dari pihak kepolisian tak kunjung dia urus. Bahkan enggan. "Terlalu berbelit-belit", kata nya pada pak Joko. "Masa' sama murid sendiri nggak percaya? Apakah di dunia ini ada seseorang yang menginginkan kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Bila sesuatu itu sangat penting sebab menyangkut masa depannya, termasuk raport?" "Tapi harusnya kamu juga bisa jaga buku raport mu Har". Pak Joko dengan sedikit jengkel beradu argumentasi pada lawan bicaranya. "Ya ini udah dijaga pak, tapi yang namanya hilang mau diapain lagi pak? Pokoknya, saya tetap masuk kelas tiga". Masih juga sikap keras kepalanya, tercermin dari perkataan menukas kalimat Pak Joko.

Hadehhh, masalah satu ini akhirnya berlalu begitu saja tanpa ada kesan memojokkan si pelanggar. Tak ada sanksi. Hartomo tetap enjoy dalam belajar. Seolah tak ada masalah yang menindihnya. Apalagi selang beberapa bulan ada siswi baru asal Jakarta. Yang akhirnya jadi cewe dia. Marlina. Berhasil dia luluhkan hatinya. Secara otomatis semua masalahnya, seperti bebean kapas dan tak terasa olehnya.

Dalam pergaulan Hartomo tak membatasi diri. Terbukti teman sekampung saya jadi akrab dengannya. Joker dan Tomi sempat berkunjung ke rumah Hartomo. Bersama saya dan fery. Khusus yang bernama Joker ada kenangan menggelikan. Kesalahpahaman pihak sekolah kami dan dia berbuntut penyerangan. Dia, Joker awalnya berlagak seperti Iskandar Agung yang gagah berani memimpin rekan-rekannya melakukan penyerbuan ke pihak kami. Tiba-tiba saja berbalik haluan dan menyingkir jauh dari medan pertempuran. Indikasi penyebab mundurnya dia karena melihat Hartomo ketika memasuki gerbang sekolah kami.

Joker tak ingin merusak persahabatn.

Awal pertemanan Joker dan Mbah Kung seperti pada umumnya anak-anak remaja. Joker satu RT dengan Fery, anggota Spidol Band yang pertama. Kami sering nongkrong bareng di rumah Fery. Dari Fery pula saya belajar main gitar. Hartomo serta Didi merasa nyaman ketika ikut nongkrong bareng bersama kami. Disitulah jaringan pertemanan berkembang dan tambah luas.

Bahkan tambah akrab tatkala Joker kehilangan uang SPP di suatu malam. Karena tak bisa bantu apa-apa maka saya dan Hartomo mengajaknya ngamen bareng di kota Ngawi. Guna mencari jalan keluar atas masalah yang membelitnya. Soal makan dan tidur tak ada masalah, keluarga Hartomo siap menampung kami. Kebetulan saat itu libur tiga hari. Joker kagum kagum pada rumah Hartomo.

Dindingnya kayu jati, ruangan untuk tamu yang luas. Kamar tersedia banyak. Suasana adem. Pada lantai terlapis batu kali yang permukaannya didesain menjadi bidang datar. Mengilap pula saking rajin penghuninya mengepel. Ornamen dan hiasan dinding kuno tertata apik, terpajang dan menambah kesan klasik nan artistik pada rumah joglo itu. Lampu kuno tergantung. Hampir semua hiasan di rumah termasuk vas bunga berbahan logam kuningan peninggalan leluhur si empunya rumah. Halaman depan udaranya sejuk karena berdiri sebuah pohon dengan gagahnya. Rimbun dedaunannya menjadi payung bagi yang berteduh di bawah pohon itu. Menikmati sore dengan segelas kopi, mengobrol pada bagian balkon. jadi ritual yang mengasyikkan ketika singgah di rumah Hartomo. Disambut keramahan Ibu dan saudara-saudaranya. Apalagi pas lebaran ketika sanak saudara nya dari Ambon berkunjung ke situ.

........................

"Bumi perkemahan Kresek menjadi ajang perayaan kaum muda"

My Mom, juga sering menanyakan tentang keberadaannya. Sifatnya yang tak pernah ibu saya lupakan. Ketika ke rumah saya tanpa harus ditawari. Kalau perutnya sudah lapar dia minta makan. Dari sifat keterbukaan dan terus terang itulah ibu saya kagum akan sikapnya. Bahkan ketika hartomo hendak meminjam tape compo di rumah saya. Buat hiburan saat acara kemah. Tanpa banyak pertanyaan, tahu Hartomo yang akan pinjam langsung dikasih ijin. Ketika itu dia, diajak panitia kemah untuk ikut serta meramaikan suasana. "Apa para pembina Pramuka tak salah ngajak dia?" Keraguan saya langsung timbul akan efek yang kemungkinan terjadi.

Anton Handoko dua minggu lalu nyaris terpukul pengapus papan tulis. Andai pak Nur sasarannya tak meleset, akibat perkataan dia yang terkesan clebungan* memotong cerita. "Bangunlah sebelum burung berkicau....." . "Burung emprit", kata Anton. Kontan penghapus papan melayang membidiknya. Untung saja nasibnya agak mujur. Hanya mengenai dinding yang behimpitan dengan meja bangkunya. Sedikit lebih beruntung dari nasibnya sebelum kejadian itu. Karena sempat membikin gaduh ketika jam pelajaran kosong bersama saya, Amid, serta Dwi Andi alias Poltak (penjual bensin eceran di toko kelontongnya). Kami bernyanyi bersama mendendangkan lagu Iwan Fals, berjudul Lonteku. Kontan seketika itu juga dari arah berlawanan pak Nur yang terasa terganggu ketika mengajar kelas satu. Memberondongkan kerikil ke arah kelas kami. Lalu dengan wajah beringas memanggil para pembuat gaduh, mennyuruh gerombolan itu. Tremasuk saya membuat konser paduan suara dadakan.Disaksikan semua yang ada. Di taman area letter U yang dikelilingi jajaran kelas. Ahhh, betapa malunya kami saat itu. Anton sama layaknya dengan Hartomo. Tukang buat ulah. Provokator ulung untuk kelas remaja seusia kami.

(*) Sebuah istilah dalam bahasa Jawa, yang artinya memotong pembicaraan orang lain. Biasa lewat ucapan kata-kata yang tak selayaknya (tak ada hubungannya) dengan apa yang dibahas / dibicarakan.

Mengetahui Hartomo ikut kemah. Anton dengan segenap punggawanya, Amid dan Poltak. Juga tak ketinggalan para drunken master lainnya. Mengunjungi bumi perkemahan tempat di mana sekolah kami menggelar acara bertajuk, kecintaan terhadap alam semesta. Ikut berpartisipasi meramaikan acara api unggunnya. Tentu dengan minuman keras. Hartomo of the Mbah Kung meleburkan diri dalam komunitas pendekar mabuk. Tanpa menyadari bahwa dia telah menyulut api masalah, dalam kemeriahan malam api unggun. Bumi perkemahan Kresek menjadi saksi atas ingar bingar pesta anak muda. Pesta sekelompok anak manusia yang ikut andil dalam pencarian sebuah arti kata eksistensi diri. Tapi tanpa menyadari api masalah menunggu di depan mereka.

...........................

Pak Mawan di senin siang datang ke kelas kami. Menunggu di luar para drunken master yang ikut acara malam api unggun malam minggu lusa lalu. Maksud kedatangan pengajar Bahasa Indonesia itu hendak memanggil personil drunken master kelas kami. Tentu yang juga ikut di malam minggu lusa. Tanpa banyak hambatan semua akhirnya terkumpul lengkap sudah. Hartomo, Anton, Amid, dan Poltak juga sudah siap pula untuk menerima nasib hari ini.

Disaksikan oleh ratusan pasang mata, mereka berolahraga siang. Push up 50 kali. Tapi jangan salah walaupun pak Mawan berlaku sebagai pemberi sanksi namun ternyata beliau juga ikut berolahraga. Juga melakukan push up. Alasannya mendasar sih, pak Mawan cuma ingin menunjukkan pada semuanya. "Bahwa akan lebih baik memberi contoh dalam hal apapun melalui tindakan. Bukan cuma perkataan dan teori. Akan lebih bisa diterima bagi yang diberi contoh. Termasuk memberikan hukuman bagi si pelanggar aturan. Maka yang bertindak memberikan hukuman juga harus turut serta memberikan contoh. Percuma bikin teori bertele-tele bila tak tepat sasaran. Sekarang bagi kaum muda yang terpenting adalah praktek bukan teori". Begitu kata beliau ketika berkesempatan mengajar di kelas kami.

Dari semua pasang mata yang menjadi saksi atas peristiwa tersebut tidak ada yang berkomentar. Kecuali, Rika Gope'. Salah satu teman terbaik kami juga. Gemar lagu-lagu dangdut, disaat senggang terkadang dia juga menghibur kami dengan suaranya. Merdu juga. "Kapokmu kapan we Mbah Kung, sesok dibaleni neh ya?" Mbah Kung cuma cengar-cengir saja meladeni sindiran itu, sebab bagaimanapun juga si Gope' tetap teman yang selalu menghibur kami.

Oh iya hampir gue, eh sorry bukan gue tapi saya. Pengen bilang ke Rika Gope', "sekarang aku lagi seneng dengerin Dangdut Koplo, sumpah asik dan enak menikmati musik tersebut". Cerita tentang SMA kita juga bisa kamu baca disini lho....!

.........................................

Terima kasih kawan teman baikku.

Kau membuatku senang, membuat ceria. Sahabat paling sejati selalu...

Selepas menikmati film War Horseyang barusan tadi saya tonton. Kini saya harus dihadapkan lagi pada sesuatu yang menuntut kesabaran. Menunggu. Pekerjaan yang entah sudah berapa ribu tahun disebut sebagai hal yang menjemukan dalam hidup ini. Kesempatan kali ini saya diharuskan untuk kuat menunggu selama tiga jam. Demi unduhan satu film yang belum pernah saya menontonnya. Berjudul Princes Of Persia. Bertema sand of time. Ya butiran waktu.

Waktu adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidup setiap manusia. Sebab mungkin adalah satu wadah atau tempat menampung setiap peristiwa-peristiwa. Baik yang manis maupun getir. Waktu pula yang terekam dalam pikiran saya, kalian, dan mereka.

Dari lembaran-lembaran waktu pula, saya ingin bercerita. Tapi akan lebih afdhol jika kita nikmati sebuah gita apik dari GIGI. Berjudul Sahabat. Karena para tokoh dalam cerita ini adalah sahabat-sahabat saya.

"Assalamu'alaikum..."

Salam dari bu Restu sebelum memasuki kelas kami 1C. Setelah jawaban atas salam tersebut kami jawab dengan kompak, "Wa'alaikumsalam....", serta dengan penuh kepercayaan diri. Bahwa dengan menjawab salam tersebut, seakan surga ada di depan mata. Bu Restu memperkenalkan siswa yang baru datang itu.

Suasana kelas kembali pada fase serius. Dia, siswa baru itu langsung mengambil tempat, di bangku yang masih menyisakan satu kursi kosong. Entah siapa teman sebangku dia. Saya sudah lupa. Jelasnya bukan anggota DPRD. Sebab dia duduk di kursi kelas bukan kursi yang selalu diperebutkan setiap lima tahunan itu. Namun pada akhirnya kok ujung-ujungnya bikin band bareng saya.

Dari sekilas saya perhatikan penampilan dan gelagatnya. Dia punya potensi. Gairah di bidang seninya tinggi. Paling tepat terkaan saya waktu itu adalah, dia penggemar Iwan Fals. Karena tidak salah lagi, ketika saya dapati cerpen hasil tulisannya. Terpampang di majalah dinding (mading) sekolah. Dengan menggabung-gabungkan judul lagu Iwan Fals hingga terciptalah karya tulis yang enak untuk dibaca. Dia pasti gemar membaca, kutu buku kelas berat. Kacamatanya menguatkan prediksi saya. Tidak salah memang jika pada akhirnya dia tercatat sebagai salah satu murid kreatif.

Ketika ingin menuliskan kisah ini benar-benar saya dihadapkan pada satu kegamangan. Mau dimulai dari mana? Kiri ataukah kanan? Depan atau belakang?

Manusia pada dasarnya seperti listrik. Punya dua potensi energi yang dominan dalam dirinya. Positif dan negatif. Plus dan minus. Itulah kita manusia. Mahkluk yang menghuni sebuah planet bernama bumi ini, yang masuk dalam galaksi Bimasakti.

..............................

Hartomo berjuluk Mbah Kung oleh kami teman satu sekolahnya. SMA COKROAMINOTO MADIUN. Kebetulan selama tiga tahun sekelas dengan saya. Jadi lebih kurangnya saya ingat gimana sepak terjangnya.

Bercita-cita masuk kelas IPA namun gagal. Bukan karena nilai ilmu pasti, fisika, kimia, dan biologinya tak memenuhi syarat untuk masuk kelas tegangan tinggi tersebut. Sebuah dunia yang sebetulnya tidak dia ingini dan gemari. Ilmu yang sebenarnya ingin dia perdalam adalah bidang IPA dan matematika. Tapi apalah daya. Keputusan tertinggi ada di tangan pak Joko yang selalu ingin membuat citra kelas IPA tetap terjaga nama baiknya. Hartomo tipe pemberontak, seinrkali melakukan provokasi terhadap teman-teman guna merombak aturan sekolah yang menurut dia tidak relevan buat semuanya. Itu pun berdasarkan cara pikir dia yang masih menunjukkan sifat dominan anak muda. Memutuskan secara sepihak atas dasar pemikiran dia.

Suatu ketika pernah dia memboikot pihak sekolah dengan demo. Aksi bolos dengan mengajak teman-teman satu kelas. Sebab musabab nya dia tak puas dengan sanksi buat murid yang terlambat datang. Karena pada waktu itu hampir tiap hari senin Hartomo sering terlambat ikut upacara. Alasannya klasik sih, namun juga masuk akal. Rumahnya Ngawi, berangkat ke sekolah naik bis lalu oper angkutan umum saat di terminal. Belum dari rumahnya Ngawi sana. Dia juga harus menunggu angkot yang akan membawanya ke terminal dulu sebelum pada akhirnya meluncur ke Madiun. Sebenarnya juga dia cuma terlambat di hari senin. Untuk hari-hari yang lain dia selalu ontime.

Tinggal di sebuah kamar kost'an kecil dari sekolah kami ke arah barat. Hanya dengan berjalan kaki maka sampailah ke tempat menimba ilmu. Dia juga golongan anak yang serius menghadapi pelajaran. Tapi di balik itu semua tetap saja darah pemberontaknya tak bisa tertutupi oleh kerajinan dia. Dari sebab itulah dia menjadi leader saat demonstrasi yang tanpa ada kreasi. Bahkan terkesan basi di mata guru-guru. Tapi apalah mau dikata. Jiwa dan pikirannya sudah terkontaminasi dengan perihal pemberontakkan. Apapun yang menurut dia tak cocok harus dirombak. Walaupun akibatnya harus dia tanggung sendiri. Seperti ketidak setujuan pak Joko memasukkannya di kelas IPA.

Kasihan Bu Rahima juga, walikelas kami. Saat di kelas 1 C, sekaligus guru kimia. Akrab dipanggil bu Ima. Harus menangis dulu agar Hartomo menurut apa kata beliau. Bukan sebab dia tak pernah kerjakan tugas kimia. Melainkan soal penampilan yang selayaknya pelajar di Indoneia pada umumnya. Khususnya yang taat. Hartomo termasuk golongan manusia yang sak karepe dewe, "ya bu besok saya potong rambut saya", tapi itu cuma pemanis bibirnya. Tak ada bukti. Besoknya masih tetap sama gondrong hampir sebahu. "Awas besok gak potong!", ancam bu Ima padanya. Memang kesokan harinya dia memotong rambut. Tapi bukan malah tambah pantes saja penampilannya. Kali ini anting bergelantungan di kupingnya. Diingatkan seketika itu juga, memang akhirnya ia lepas. Namun lusa siapa bisa menerka kalau hiasan asesoris pindah ke hidung. Ahh, dasar manusia tak bisa diatur. "Jiwa seni kebablasan", sindir bu Ima singkat saja pada nya.

Sindiran itu memang terbukti lumayan ampuh untuk meredam penerapan hidup dalam konteks seni dalam pemikiran Hartomo. Ini masih dalam tahap lumayan meredam lho, bukan dalam artian mutlak membuat si pembangkang jera tak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya lagi. Hari pun berganti belum genap seminggu berlalu sindiran bermaksud membangun mental dan pemikiran Hartomo ke arah yang lebih baik. Dari bu Ima, tiba-tiba saja bak buaian angin yang begitu saja berhembus. Tanpa meninggalkan jejak nerupa bentuk. Kata-kata bu Ima bak sesuatu yang tak pernah ada. Kini ganti rambutnya kembali terkena efek pemikiran arti kata pengeksplorasian jiwa seni. Setelah sempat menjadi perbincangan di ruangan guru mengenai perubahan diri yang semula susah dibina menjadi lumayan baik. Ahhh kini kembali ke wujud dan tabiat aslinya. Rambut dari warna khas Indonesia menjadi warna pirang gaya Amrik. Kini habis sudah kesabaran bu Ima. Ketelatenan membimbing dan mengajarkan serta mendidik seorang anak manusia berubah jadi emosi. mending kalau ledakan emosi itu tersalurkan dengan secara tegar memaki si pelanggar, dalam hal ini Hartomo. Ini dia tumpahkan lewat isak tangis. Karena merasa gagal mendidik dan mengajarkan arti sebuah ketaatan akan peraturan pada Hartomo. Bu Ima terlalu sayang dengan semua anak didiknya. Hingga tak tau harus bagaimana lagi mewujudkannya. Hal itu dia buktikan dengan tangisan, suatu pesan moral tersirat di dalamnya. Tanpa harus memaki dan berkata kasar. Cukup dengan perasaan dan segenap hati dia menyampaikan pesan-pesan moral itu. Tangisan itu sebuah gambaran betapa pedulinya seorang guru pada muridnya agar menjadi manusia terdidik yang unggul dalam ilmu dan moral yang baik serta unggul.

Hartomo akhirnya menyerah. Dengan segala keikhlasan dia rela memperbaiki penampilan selayaknya seorang pelajar yang baik dan sadar akan peraturan.

Masih tentang Hartomo. Dia pertama kali kost bersama DIdi anak Indramayu. Setali tiga uang. Sejurus dalam pemikiran dan idealis tentang kehidupan anak muda. Mereka berdua sama-sama menginginkan kebebasan. Tanpa ada yang mengatur jalan hidup mereka. Dalam hal ini Hartomo lebih unggul dalam belajar. Didi. Dari Indramayu datang ke Madiun untuk menimba ilmu. Penggemar klub Inter Milan. Tertarik dengan cewe bernama Meffida, rumahnya dulu depan pasar besar. Sekarang rumah itu telah tergusur. Sejak tujuh tahun yang lalu memang terjadi persengketaan atas tanah wilayah tersebut. Banyak yang pergi dari kampung tersebut, lantaran kalah dalam hal hak kepemilikan tanah yang sah. Entah disebabkan karena memang begitu adanya. Atau karena sebab uang bisa menyulap segala yang tak semestinya terjadi bakal jadi kenyataan. Kebenaran mungkin mudah sekali terbeli di negeri ini. Kalau memang benar itu keadaannya. "Oh, betapa kasihannya negeri ku ini", gumamku.

Meffida memang mempunyai tipikal wajah yang ayu. Hidungnya mungil sedikit mancung. Bak buah stroberi yang baru dipanen, menyisakan tetesan embun pegunungan. Bibirnya berwarna merah segar. Tak urung membuat Didi kesengsem. Tinggi badan Meffida memang tidak tinggi semampai. Mungkin dari sebab itulah dia terkesan seperti peri kecil dalam tidur si Didi. Perkenalan dengan gadis itu juga lewat perantara Hartomo teman satu kost nya. Kebetulan ada saudara hartomo yang tinggal sekampung dengan Meffida. Ahh tapi entah sampai dimana ujung kisah mereka berdua. Jelasnya Didi malah akhirnya membantu Rio setahun kemudian untuk menggebet si peri kecil Meffida.

Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).

Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.

Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.

Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.

"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".

Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....

..................

Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.

Ingat sebuah cerita, dimana seorang guru bernama ibu Muslimah. Dalam film nya diperankan oleh Cut Mini. Begitu lihainya membakar semangat semangat anak-anak SD Muhamadiyah. Ketika kejenuhan yang teramat sangat mendera. Bangunan sekolah nyaris ambruk jika tak ditopang kayu penyangga tambahan. Namun dalam hal ini Cut Mini, eh sorry Ibu Muslimah mampu mengatasi keadaan dengan cerita nya. Kisah tentang Bung Karno yang mampu menulis buku Indonesia Menggugat ketika presiden pertama negeri ini dijebloskan dalam penjara. Sel yang sempit di kota Bandung. Oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sel yang sempit dan bau serta penuh penderitaan tak membuat semangat sang Ploklamator redup. Semangat untuk terus berjuang guna kemerdekaan yang harus terengkuh. Cerita inspiratif mampu membakar semangat anak-anak Laskar Pelangi.

Pak Nur tak beda jauh dengan adegan tersebut. Cuma dalam konteks, kisah itu masih kalah heroik nya dengan cerita yang ditulis Andre Hirata. Namun juga tak apalah jika saya sedikit agak kepedean menyandingkan kisah itu dengan karya sang Maestro Andrea Hirata toh esensi nya juga gak beda jauh. Mengobarkan semangat.

Atas cerita tersebut Hartomo terlecut untuk berbuat sesuatu. Mumpung masih bulan Oktober. Sumpah Pemuda tinggal menunggu waktu. Gayung bersambut, ternyata Osis juga merencanakan acara tersebut.

.......................

Setelah berlatih dengan konsisten kami Spidol Band. Dengan personil Hartomo dan Fery pada gitar. Maryono pemain bass. Lalu tak ketinggalan Pranata penggebuk drum. Meraih juara satu lomba band di sekolah kami. SMA Cokro dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda saat itu. Hal yang kami sangka sebelumnya. Kami puas. Terutama Hartomo dan Fery sebab mereka berdualah kompak dalam pemilihan lagu

yang kami bawakan. Mahadewi dan Begitu Indah. Semua kami ambil dari kantong album Lain Dunia milik Padi.

Walau pada akhirnya setelah momen ini Pranata jadi gitaris menemani Hartomo. Drumer akhirnya kami percayakan pada Bambang. Sedangkan Fery mengisi posisi bass. Maryono tak terlalu serius itulah perombakan band. Malah pada akhirnya kita ikutan berkompetisi di IKIP Ngawi.

Kebersamaan Fery dan Bambang akhirnya juga ada ujungnya. Sebab mereka satu tingkat di atas kami betiga. Akhirnya nasib Spidol Band berkali-kali mengalami pergantian. Cuma saya dan Hartomo yang konsisten. Sedangkan Pranata mulai sibuk dengan kegiatan balap motornya. Namun kembali bermain band sebagai penggebuk drum lagi saat acara perpisahan. Bersama saya, Hartomo, pengganti Fery yang juga punya nama yang sama dengan pendahulunya. Namanya Fery juga. Dengan posisi yang sama pula pemain bass. Untuk menemani Hartomo bermain gitar kita mendaulat Joko. Sekarang sudah almarhum. Meninggal tahun lalu. Joko termasuk murid kelas IPA. Paling cocok ngamen duet dengan Hartomo, alias Mbah Kung.

..........................

Hartomo kembali bikin ulah...! "Cuma hal yang biasa", begitulah komentar saya. Ketika mendapati dia bikin masalah lagi Dengan percaya diri masuk ruangan kelas tiga. Padahal tidak punya bulti apakah dia naik ke kelas tiga, berupa buku raport. Catatan, rangkuman nilai selama setahun hilang entah kemana man. Sudah gitu dengan pede yang super tinggi masuk ruangan kelas IPS 1 duduk sebelah saya. Setelah pak Joko menggagalkan niatnya masuk IPA. Dia pilih meleburkan diri dalam komunitas pelajar sosial. Kalau masalah dia kepedean sih, mungkin bisa kita tolerir, sebab saya yakin nilainya pasti memenuhi syarat. Terutama ilmu pasti. Tapi kalau bukti otentik berupa buku raport belum dia kumpulkan semenjak kelas dua gimana brotha and sista? Okelah kalau nilainya bagus-bagus, tapi semua kan perlu bukti yang tertulis di buku raport kan?

Tapi dasar dia yang punya masalah sepertinya tak mau ambil pusing. Surat kehilangan atas buku raport nya dari pihak kepolisian tak kunjung dia urus. Bahkan enggan. "Terlalu berbelit-belit", kata nya pada pak Joko. "Masa' sama murid sendiri nggak percaya? Apakah di dunia ini ada seseorang yang menginginkan kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Bila sesuatu itu sangat penting sebab menyangkut masa depannya, termasuk raport?" "Tapi harusnya kamu juga bisa jaga buku raport mu Har". Pak Joko dengan sedikit jengkel beradu argumentasi pada lawan bicaranya. "Ya ini udah dijaga pak, tapi yang namanya hilang mau diapain lagi pak? Pokoknya, saya tetap masuk kelas tiga". Masih juga sikap keras kepalanya, tercermin dari perkataan menukas kalimat Pak Joko.

Hadehhh, masalah satu ini akhirnya berlalu begitu saja tanpa ada kesan memojokkan si pelanggar. Tak ada sanksi. Hartomo tetap enjoy dalam belajar. Seolah tak ada masalah yang menindihnya. Apalagi selang beberapa bulan ada siswi baru asal Jakarta. Yang akhirnya jadi cewe dia. Marlina. Berhasil dia luluhkan hatinya. Secara otomatis semua masalahnya, seperti bebean kapas dan tak terasa olehnya.

Dalam pergaulan Hartomo tak membatasi diri. Terbukti teman sekampung saya jadi akrab dengannya. Joker dan Tomi sempat berkunjung ke rumah Hartomo. Bersama saya dan fery. Khusus yang bernama Joker ada kenangan menggelikan. Kesalahpahaman pihak sekolah kami dan dia berbuntut penyerangan. Dia, Joker awalnya berlagak seperti Iskandar Agung yang gagah berani memimpin rekan-rekannya melakukan penyerbuan ke pihak kami. Tiba-tiba saja berbalik haluan dan menyingkir jauh dari medan pertempuran. Indikasi penyebab mundurnya dia karena melihat Hartomo ketika memasuki gerbang sekolah kami.

Joker tak ingin merusak persahabatn.

Awal pertemanan Joker dan Mbah Kung seperti pada umumnya anak-anak remaja. Joker satu RT dengan Fery, anggota Spidol Band yang pertama. Kami sering nongkrong bareng di rumah Fery. Dari Fery pula saya belajar main gitar. Hartomo serta Didi merasa nyaman ketika ikut nongkrong bareng bersama kami. Disitulah jaringan pertemanan berkembang dan tambah luas.

Bahkan tambah akrab tatkala Joker kehilangan uang SPP di suatu malam. Karena tak bisa bantu apa-apa maka saya dan Hartomo mengajaknya ngamen bareng di kota Ngawi. Guna mencari jalan keluar atas masalah yang membelitnya. Soal makan dan tidur tak ada masalah, keluarga Hartomo siap menampung kami. Kebetulan saat itu libur tiga hari. Joker kagum kagum pada rumah Hartomo.

Dindingnya kayu jati, ruangan untuk tamu yang luas. Kamar tersedia banyak. Suasana adem. Pada lantai terlapis batu kali yang permukaannya didesain menjadi bidang datar. Mengilap pula saking rajin penghuninya mengepel. Ornamen dan hiasan dinding kuno tertata apik, terpajang dan menambah kesan klasik nan artistik pada rumah joglo itu. Lampu kuno tergantung. Hampir semua hiasan di rumah termasuk vas bunga berbahan logam kuningan peninggalan leluhur si empunya rumah. Halaman depan udaranya sejuk karena berdiri sebuah pohon dengan gagahnya. Rimbun dedaunannya menjadi payung bagi yang berteduh di bawah pohon itu. Menikmati sore dengan segelas kopi, mengobrol pada bagian balkon. jadi ritual yang mengasyikkan ketika singgah di rumah Hartomo. Disambut keramahan Ibu dan saudara-saudaranya. Apalagi pas lebaran ketika sanak saudara nya dari Ambon berkunjung ke situ.

........................

"Bumi perkemahan Kresek menjadi ajang perayaan kaum muda"

My Mom, juga sering menanyakan tentang keberadaannya. Sifatnya yang tak pernah ibu saya lupakan. Ketika ke rumah saya tanpa harus ditawari. Kalau perutnya sudah lapar dia minta makan. Dari sifat keterbukaan dan terus terang itulah ibu saya kagum akan sikapnya. Bahkan ketika hartomo hendak meminjam tape compo di rumah saya. Buat hiburan saat acara kemah. Tanpa banyak pertanyaan, tahu Hartomo yang akan pinjam langsung dikasih ijin. Ketika itu dia, diajak panitia kemah untuk ikut serta meramaikan suasana. "Apa para pembina Pramuka tak salah ngajak dia?" Keraguan saya langsung timbul akan efek yang kemungkinan terjadi.

Anton Handoko dua minggu lalu nyaris terpukul pengapus papan tulis. Andai pak Nur sasarannya tak meleset, akibat perkataan dia yang terkesan clebungan* memotong cerita. "Bangunlah sebelum burung berkicau....." . "Burung emprit", kata Anton. Kontan penghapus papan melayang membidiknya. Untung saja nasibnya agak mujur. Hanya mengenai dinding yang behimpitan dengan meja bangkunya. Sedikit lebih beruntung dari nasibnya sebelum kejadian itu. Karena sempat membikin gaduh ketika jam pelajaran kosong bersama saya, Amid, serta Dwi Andi alias Poltak (penjual bensin eceran di toko kelontongnya). Kami bernyanyi bersama mendendangkan lagu Iwan Fals, berjudul Lonteku. Kontan seketika itu juga dari arah berlawanan pak Nur yang terasa terganggu ketika mengajar kelas satu. Memberondongkan kerikil ke arah kelas kami. Lalu dengan wajah beringas memanggil para pembuat gaduh, mennyuruh gerombolan itu. Tremasuk saya membuat konser paduan suara dadakan.Disaksikan semua yang ada. Di taman area letter U yang dikelilingi jajaran kelas. Ahhh, betapa malunya kami saat itu. Anton sama layaknya dengan Hartomo. Tukang buat ulah. Provokator ulung untuk kelas remaja seusia kami.

(*) Sebuah istilah dalam bahasa Jawa, yang artinya memotong pembicaraan orang lain. Biasa lewat ucapan kata-kata yang tak selayaknya (tak ada hubungannya) dengan apa yang dibahas / dibicarakan.

Mengetahui Hartomo ikut kemah. Anton dengan segenap punggawanya, Amid dan Poltak. Juga tak ketinggalan para drunken master lainnya. Mengunjungi bumi perkemahan tempat di mana sekolah kami menggelar acara bertajuk, kecintaan terhadap alam semesta. Ikut berpartisipasi meramaikan acara api unggunnya. Tentu dengan minuman keras. Hartomo of the Mbah Kung meleburkan diri dalam komunitas pendekar mabuk. Tanpa menyadari bahwa dia telah menyulut api masalah, dalam kemeriahan malam api unggun. Bumi perkemahan Kresek menjadi saksi atas ingar bingar pesta anak muda. Pesta sekelompok anak manusia yang ikut andil dalam pencarian sebuah arti kata eksistensi diri. Tapi tanpa menyadari api masalah menunggu di depan mereka.

...........................

Pak Mawan di senin siang datang ke kelas kami. Menunggu di luar para drunken master yang ikut acara malam api unggun malam minggu lusa lalu. Maksud kedatangan pengajar Bahasa Indonesia itu hendak memanggil personil drunken master kelas kami. Tentu yang juga ikut di malam minggu lusa. Tanpa banyak hambatan semua akhirnya terkumpul lengkap sudah. Hartomo, Anton, Amid, dan Poltak juga sudah siap pula untuk menerima nasib hari ini.

Disaksikan oleh ratusan pasang mata, mereka berolahraga siang. Push up 50 kali. Tapi jangan salah walaupun pak Mawan berlaku sebagai pemberi sanksi namun ternyata beliau juga ikut berolahraga. Juga melakukan push up. Alasannya mendasar sih, pak Mawan cuma ingin menunjukkan pada semuanya. "Bahwa akan lebih baik memberi contoh dalam hal apapun melalui tindakan. Bukan cuma perkataan dan teori. Akan lebih bisa diterima bagi yang diberi contoh. Termasuk memberikan hukuman bagi si pelanggar aturan. Maka yang bertindak memberikan hukuman juga harus turut serta memberikan contoh. Percuma bikin teori bertele-tele bila tak tepat sasaran. Sekarang bagi kaum muda yang terpenting adalah praktek bukan teori". Begitu kata beliau ketika berkesempatan mengajar di kelas kami.

Dari semua pasang mata yang menjadi saksi atas peristiwa tersebut tidak ada yang berkomentar. Kecuali, Rika Gope'. Salah satu teman terbaik kami juga. Gemar lagu-lagu dangdut, disaat senggang terkadang dia juga menghibur kami dengan suaranya. Merdu juga. "Kapokmu kapan we Mbah Kung, sesok dibaleni neh ya?" Mbah Kung cuma cengar-cengir saja meladeni sindiran itu, sebab bagaimanapun juga si Gope' tetap teman yang selalu menghibur kami.

Oh iya hampir gue, eh sorry bukan gue tapi saya. Pengen bilang ke Rika Gope', "sekarang aku lagi seneng dengerin Dangdut Koplo, sumpah asik dan enak menikmati musik tersebut". Cerita tentang SMA kita juga bisa kamu baca disini lho....!

.........................................

Terima kasih kawan teman baikku.

Kau membuatku senang, membuat ceria. Sahabat paling sejati selalu...

Selepas menikmati film War Horseyang barusan tadi saya tonton. Kini saya harus dihadapkan lagi pada sesuatu yang menuntut kesabaran. Menunggu. Pekerjaan yang entah sudah berapa ribu tahun disebut sebagai hal yang menjemukan dalam hidup ini. Kesempatan kali ini saya diharuskan untuk kuat menunggu selama tiga jam. Demi unduhan satu film yang belum pernah saya menontonnya. Berjudul Princes Of Persia. Bertema sand of time. Ya butiran waktu.

Waktu adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidup setiap manusia. Sebab mungkin adalah satu wadah atau tempat menampung setiap peristiwa-peristiwa. Baik yang manis maupun getir. Waktu pula yang terekam dalam pikiran saya, kalian, dan mereka.

Dari lembaran-lembaran waktu pula, saya ingin bercerita. Tapi akan lebih afdhol jika kita nikmati sebuah gita apik dari GIGI. Berjudul Sahabat. Karena para tokoh dalam cerita ini adalah sahabat-sahabat saya.

"Assalamu'alaikum..."

Salam dari bu Restu sebelum memasuki kelas kami 1C. Setelah jawaban atas salam tersebut kami jawab dengan kompak, "Wa'alaikumsalam....", serta dengan penuh kepercayaan diri. Bahwa dengan menjawab salam tersebut, seakan surga ada di depan mata. Bu Restu memperkenalkan siswa yang baru datang itu.

Suasana kelas kembali pada fase serius. Dia, siswa baru itu langsung mengambil tempat, di bangku yang masih menyisakan satu kursi kosong. Entah siapa teman sebangku dia. Saya sudah lupa. Jelasnya bukan anggota DPRD. Sebab dia duduk di kursi kelas bukan kursi yang selalu diperebutkan setiap lima tahunan itu. Namun pada akhirnya kok ujung-ujungnya bikin band bareng saya.

Dari sekilas saya perhatikan penampilan dan gelagatnya. Dia punya potensi. Gairah di bidang seninya tinggi. Paling tepat terkaan saya waktu itu adalah, dia penggemar Iwan Fals. Karena tidak salah lagi, ketika saya dapati cerpen hasil tulisannya. Terpampang di majalah dinding (mading) sekolah. Dengan menggabung-gabungkan judul lagu Iwan Fals hingga terciptalah karya tulis yang enak untuk dibaca. Dia pasti gemar membaca, kutu buku kelas berat. Kacamatanya menguatkan prediksi saya. Tidak salah memang jika pada akhirnya dia tercatat sebagai salah satu murid kreatif.

Ketika ingin menuliskan kisah ini benar-benar saya dihadapkan pada satu kegamangan. Mau dimulai dari mana? Kiri ataukah kanan? Depan atau belakang?

Manusia pada dasarnya seperti listrik. Punya dua potensi energi yang dominan dalam dirinya. Positif dan negatif. Plus dan minus. Itulah kita manusia. Mahkluk yang menghuni sebuah planet bernama bumi ini, yang masuk dalam galaksi Bimasakti.

..............................

Hartomo berjuluk Mbah Kung oleh kami teman satu sekolahnya. SMA COKROAMINOTO MADIUN. Kebetulan selama tiga tahun sekelas dengan saya. Jadi lebih kurangnya saya ingat gimana sepak terjangnya.

Bercita-cita masuk kelas IPA namun gagal. Bukan karena nilai ilmu pasti, fisika, kimia, dan biologinya tak memenuhi syarat untuk masuk kelas tegangan tinggi tersebut. Sebuah dunia yang sebetulnya tidak dia ingini dan gemari. Ilmu yang sebenarnya ingin dia perdalam adalah bidang IPA dan matematika. Tapi apalah daya. Keputusan tertinggi ada di tangan pak Joko yang selalu ingin membuat citra kelas IPA tetap terjaga nama baiknya. Hartomo tipe pemberontak, seinrkali melakukan provokasi terhadap teman-teman guna merombak aturan sekolah yang menurut dia tidak relevan buat semuanya. Itu pun berdasarkan cara pikir dia yang masih menunjukkan sifat dominan anak muda. Memutuskan secara sepihak atas dasar pemikiran dia.

Suatu ketika pernah dia memboikot pihak sekolah dengan demo. Aksi bolos dengan mengajak teman-teman satu kelas. Sebab musabab nya dia tak puas dengan sanksi buat murid yang terlambat datang. Karena pada waktu itu hampir tiap hari senin Hartomo sering terlambat ikut upacara. Alasannya klasik sih, namun juga masuk akal. Rumahnya Ngawi, berangkat ke sekolah naik bis lalu oper angkutan umum saat di terminal. Belum dari rumahnya Ngawi sana. Dia juga harus menunggu angkot yang akan membawanya ke terminal dulu sebelum pada akhirnya meluncur ke Madiun. Sebenarnya juga dia cuma terlambat di hari senin. Untuk hari-hari yang lain dia selalu ontime.

Tinggal di sebuah kamar kost'an kecil dari sekolah kami ke arah barat. Hanya dengan berjalan kaki maka sampailah ke tempat menimba ilmu. Dia juga golongan anak yang serius menghadapi pelajaran. Tapi di balik itu semua tetap saja darah pemberontaknya tak bisa tertutupi oleh kerajinan dia. Dari sebab itulah dia menjadi leader saat demonstrasi yang tanpa ada kreasi. Bahkan terkesan basi di mata guru-guru. Tapi apalah mau dikata. Jiwa dan pikirannya sudah terkontaminasi dengan perihal pemberontakkan. Apapun yang menurut dia tak cocok harus dirombak. Walaupun akibatnya harus dia tanggung sendiri. Seperti ketidak setujuan pak Joko memasukkannya di kelas IPA.

Kasihan Bu Rahima juga, walikelas kami. Saat di kelas 1 C, sekaligus guru kimia. Akrab dipanggil bu Ima. Harus menangis dulu agar Hartomo menurut apa kata beliau. Bukan sebab dia tak pernah kerjakan tugas kimia. Melainkan soal penampilan yang selayaknya pelajar di Indoneia pada umumnya. Khususnya yang taat. Hartomo termasuk golongan manusia yang sak karepe dewe, "ya bu besok saya potong rambut saya", tapi itu cuma pemanis bibirnya. Tak ada bukti. Besoknya masih tetap sama gondrong hampir sebahu. "Awas besok gak potong!", ancam bu Ima padanya. Memang kesokan harinya dia memotong rambut. Tapi bukan malah tambah pantes saja penampilannya. Kali ini anting bergelantungan di kupingnya. Diingatkan seketika itu juga, memang akhirnya ia lepas. Namun lusa siapa bisa menerka kalau hiasan asesoris pindah ke hidung. Ahh, dasar manusia tak bisa diatur. "Jiwa seni kebablasan", sindir bu Ima singkat saja pada nya.

Sindiran itu memang terbukti lumayan ampuh untuk meredam penerapan hidup dalam konteks seni dalam pemikiran Hartomo. Ini masih dalam tahap lumayan meredam lho, bukan dalam artian mutlak membuat si pembangkang jera tak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya lagi. Hari pun berganti belum genap seminggu berlalu sindiran bermaksud membangun mental dan pemikiran Hartomo ke arah yang lebih baik. Dari bu Ima, tiba-tiba saja bak buaian angin yang begitu saja berhembus. Tanpa meninggalkan jejak nerupa bentuk. Kata-kata bu Ima bak sesuatu yang tak pernah ada. Kini ganti rambutnya kembali terkena efek pemikiran arti kata pengeksplorasian jiwa seni. Setelah sempat menjadi perbincangan di ruangan guru mengenai perubahan diri yang semula susah dibina menjadi lumayan baik. Ahhh kini kembali ke wujud dan tabiat aslinya. Rambut dari warna khas Indonesia menjadi warna pirang gaya Amrik. Kini habis sudah kesabaran bu Ima. Ketelatenan membimbing dan mengajarkan serta mendidik seorang anak manusia berubah jadi emosi. mending kalau ledakan emosi itu tersalurkan dengan secara tegar memaki si pelanggar, dalam hal ini Hartomo. Ini dia tumpahkan lewat isak tangis. Karena merasa gagal mendidik dan mengajarkan arti sebuah ketaatan akan peraturan pada Hartomo. Bu Ima terlalu sayang dengan semua anak didiknya. Hingga tak tau harus bagaimana lagi mewujudkannya. Hal itu dia buktikan dengan tangisan, suatu pesan moral tersirat di dalamnya. Tanpa harus memaki dan berkata kasar. Cukup dengan perasaan dan segenap hati dia menyampaikan pesan-pesan moral itu. Tangisan itu sebuah gambaran betapa pedulinya seorang guru pada muridnya agar menjadi manusia terdidik yang unggul dalam ilmu dan moral yang baik serta unggul.

Hartomo akhirnya menyerah. Dengan segala keikhlasan dia rela memperbaiki penampilan selayaknya seorang pelajar yang baik dan sadar akan peraturan.

Masih tentang Hartomo. Dia pertama kali kost bersama DIdi anak Indramayu. Setali tiga uang. Sejurus dalam pemikiran dan idealis tentang kehidupan anak muda. Mereka berdua sama-sama menginginkan kebebasan. Tanpa ada yang mengatur jalan hidup mereka. Dalam hal ini Hartomo lebih unggul dalam belajar. Didi. Dari Indramayu datang ke Madiun untuk menimba ilmu. Penggemar klub Inter Milan. Tertarik dengan cewe bernama Meffida, rumahnya dulu depan pasar besar. Sekarang rumah itu telah tergusur. Sejak tujuh tahun yang lalu memang terjadi persengketaan atas tanah wilayah tersebut. Banyak yang pergi dari kampung tersebut, lantaran kalah dalam hal hak kepemilikan tanah yang sah. Entah disebabkan karena memang begitu adanya. Atau karena sebab uang bisa menyulap segala yang tak semestinya terjadi bakal jadi kenyataan. Kebenaran mungkin mudah sekali terbeli di negeri ini. Kalau memang benar itu keadaannya. "Oh, betapa kasihannya negeri ku ini", gumamku.

Meffida memang mempunyai tipikal wajah yang ayu. Hidungnya mungil sedikit mancung. Bak buah stroberi yang baru dipanen, menyisakan tetesan embun pegunungan. Bibirnya berwarna merah segar. Tak urung membuat Didi kesengsem. Tinggi badan Meffida memang tidak tinggi semampai. Mungkin dari sebab itulah dia terkesan seperti peri kecil dalam tidur si Didi. Perkenalan dengan gadis itu juga lewat perantara Hartomo teman satu kost nya. Kebetulan ada saudara hartomo yang tinggal sekampung dengan Meffida. Ahh tapi entah sampai dimana ujung kisah mereka berdua. Jelasnya Didi malah akhirnya membantu Rio setahun kemudian untuk menggebet si peri kecil Meffida.

Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).

Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.

Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.

Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.

"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".

Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....

..................

Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.

Ingat sebuah cerita, dimana seorang guru bernama ibu Muslimah. Dalam film nya diperankan oleh Cut Mini. Begitu lihainya membakar semangat semangat anak-anak SD Muhamadiyah. Ketika kejenuhan yang teramat sangat mendera. Bangunan sekolah nyaris ambruk jika tak ditopang kayu penyangga tambahan. Namun dalam hal ini Cut Mini, eh sorry Ibu Muslimah mampu mengatasi keadaan dengan cerita nya. Kisah tentang Bung Karno yang mampu menulis buku Indonesia Menggugat ketika presiden pertama negeri ini dijebloskan dalam penjara. Sel yang sempit di kota Bandung. Oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sel yang sempit dan bau serta penuh penderitaan tak membuat semangat sang Ploklamator redup. Semangat untuk terus berjuang guna kemerdekaan yang harus terengkuh. Cerita inspiratif mampu membakar semangat anak-anak Laskar Pelangi.

Pak Nur tak beda jauh dengan adegan tersebut. Cuma dalam konteks, kisah itu masih kalah heroik nya dengan cerita yang ditulis Andre Hirata. Namun juga tak apalah jika saya sedikit agak kepedean menyandingkan kisah itu dengan karya sang Maestro Andrea Hirata toh esensi nya juga gak beda jauh. Mengobarkan semangat.

Atas cerita tersebut Hartomo terlecut untuk berbuat sesuatu. Mumpung masih bulan Oktober. Sumpah Pemuda tinggal menunggu waktu. Gayung bersambut, ternyata Osis juga merencanakan acara tersebut.

.......................

Setelah berlatih dengan konsisten kami Spidol Band. Dengan personil Hartomo dan Fery pada gitar. Maryono pemain bass. Lalu tak ketinggalan Pranata penggebuk drum. Meraih juara satu lomba band di sekolah kami. SMA Cokro dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda saat itu. Hal yang kami sangka sebelumnya. Kami puas. Terutama Hartomo dan Fery sebab mereka berdualah kompak dalam pemilihan lagu

yang kami bawakan. Mahadewi dan Begitu Indah. Semua kami ambil dari kantong album Lain Dunia milik Padi.

Walau pada akhirnya setelah momen ini Pranata jadi gitaris menemani Hartomo. Drumer akhirnya kami percayakan pada Bambang. Sedangkan Fery mengisi posisi bass. Maryono tak terlalu serius itulah perombakan band. Malah pada akhirnya kita ikutan berkompetisi di IKIP Ngawi.

Kebersamaan Fery dan Bambang akhirnya juga ada ujungnya. Sebab mereka satu tingkat di atas kami betiga. Akhirnya nasib Spidol Band berkali-kali mengalami pergantian. Cuma saya dan Hartomo yang konsisten. Sedangkan Pranata mulai sibuk dengan kegiatan balap motornya. Namun kembali bermain band sebagai penggebuk drum lagi saat acara perpisahan. Bersama saya, Hartomo, pengganti Fery yang juga punya nama yang sama dengan pendahulunya. Namanya Fery juga. Dengan posisi yang sama pula pemain bass. Untuk menemani Hartomo bermain gitar kita mendaulat Joko. Sekarang sudah almarhum. Meninggal tahun lalu. Joko termasuk murid kelas IPA. Paling cocok ngamen duet dengan Hartomo, alias Mbah Kung.

..........................

Hartomo kembali bikin ulah...! "Cuma hal yang biasa", begitulah komentar saya. Ketika mendapati dia bikin masalah lagi Dengan percaya diri masuk ruangan kelas tiga. Padahal tidak punya bulti apakah dia naik ke kelas tiga, berupa buku raport. Catatan, rangkuman nilai selama setahun hilang entah kemana man. Sudah gitu dengan pede yang super tinggi masuk ruangan kelas IPS 1 duduk sebelah saya. Setelah pak Joko menggagalkan niatnya masuk IPA. Dia pilih meleburkan diri dalam komunitas pelajar sosial. Kalau masalah dia kepedean sih, mungkin bisa kita tolerir, sebab saya yakin nilainya pasti memenuhi syarat. Terutama ilmu pasti. Tapi kalau bukti otentik berupa buku raport belum dia kumpulkan semenjak kelas dua gimana brotha and sista? Okelah kalau nilainya bagus-bagus, tapi semua kan perlu bukti yang tertulis di buku raport kan?

Tapi dasar dia yang punya masalah sepertinya tak mau ambil pusing. Surat kehilangan atas buku raport nya dari pihak kepolisian tak kunjung dia urus. Bahkan enggan. "Terlalu berbelit-belit", kata nya pada pak Joko. "Masa' sama murid sendiri nggak percaya? Apakah di dunia ini ada seseorang yang menginginkan kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Bila sesuatu itu sangat penting sebab menyangkut masa depannya, termasuk raport?" "Tapi harusnya kamu juga bisa jaga buku raport mu Har". Pak Joko dengan sedikit jengkel beradu argumentasi pada lawan bicaranya. "Ya ini udah dijaga pak, tapi yang namanya hilang mau diapain lagi pak? Pokoknya, saya tetap masuk kelas tiga". Masih juga sikap keras kepalanya, tercermin dari perkataan menukas kalimat Pak Joko.

Hadehhh, masalah satu ini akhirnya berlalu begitu saja tanpa ada kesan memojokkan si pelanggar. Tak ada sanksi. Hartomo tetap enjoy dalam belajar. Seolah tak ada masalah yang menindihnya. Apalagi selang beberapa bulan ada siswi baru asal Jakarta. Yang akhirnya jadi cewe dia. Marlina. Berhasil dia luluhkan hatinya. Secara otomatis semua masalahnya, seperti bebean kapas dan tak terasa olehnya.

Dalam pergaulan Hartomo tak membatasi diri. Terbukti teman sekampung saya jadi akrab dengannya. Joker dan Tomi sempat berkunjung ke rumah Hartomo. Bersama saya dan fery. Khusus yang bernama Joker ada kenangan menggelikan. Kesalahpahaman pihak sekolah kami dan dia berbuntut penyerangan. Dia, Joker awalnya berlagak seperti Iskandar Agung yang gagah berani memimpin rekan-rekannya melakukan penyerbuan ke pihak kami. Tiba-tiba saja berbalik haluan dan menyingkir jauh dari medan pertempuran. Indikasi penyebab mundurnya dia karena melihat Hartomo ketika memasuki gerbang sekolah kami.

Joker tak ingin merusak persahabatn.

Awal pertemanan Joker dan Mbah Kung seperti pada umumnya anak-anak remaja. Joker satu RT dengan Fery, anggota Spidol Band yang pertama. Kami sering nongkrong bareng di rumah Fery. Dari Fery pula saya belajar main gitar. Hartomo serta Didi merasa nyaman ketika ikut nongkrong bareng bersama kami. Disitulah jaringan pertemanan berkembang dan tambah luas.

Bahkan tambah akrab tatkala Joker kehilangan uang SPP di suatu malam. Karena tak bisa bantu apa-apa maka saya dan Hartomo mengajaknya ngamen bareng di kota Ngawi. Guna mencari jalan keluar atas masalah yang membelitnya. Soal makan dan tidur tak ada masalah, keluarga Hartomo siap menampung kami. Kebetulan saat itu libur tiga hari. Joker kagum kagum pada rumah Hartomo.

Dindingnya kayu jati, ruangan untuk tamu yang luas. Kamar tersedia banyak. Suasana adem. Pada lantai terlapis batu kali yang permukaannya didesain menjadi bidang datar. Mengilap pula saking rajin penghuninya mengepel. Ornamen dan hiasan dinding kuno tertata apik, terpajang dan menambah kesan klasik nan artistik pada rumah joglo itu. Lampu kuno tergantung. Hampir semua hiasan di rumah termasuk vas bunga berbahan logam kuningan peninggalan leluhur si empunya rumah. Halaman depan udaranya sejuk karena berdiri sebuah pohon dengan gagahnya. Rimbun dedaunannya menjadi payung bagi yang berteduh di bawah pohon itu. Menikmati sore dengan segelas kopi, mengobrol pada bagian balkon. jadi ritual yang mengasyikkan ketika singgah di rumah Hartomo. Disambut keramahan Ibu dan saudara-saudaranya. Apalagi pas lebaran ketika sanak saudara nya dari Ambon berkunjung ke situ.

........................

"Bumi perkemahan Kresek menjadi ajang perayaan kaum muda"

My Mom, juga sering menanyakan tentang keberadaannya. Sifatnya yang tak pernah ibu saya lupakan. Ketika ke rumah saya tanpa harus ditawari. Kalau perutnya sudah lapar dia minta makan. Dari sifat keterbukaan dan terus terang itulah ibu saya kagum akan sikapnya. Bahkan ketika hartomo hendak meminjam tape compo di rumah saya. Buat hiburan saat acara kemah. Tanpa banyak pertanyaan, tahu Hartomo yang akan pinjam langsung dikasih ijin. Ketika itu dia, diajak panitia kemah untuk ikut serta meramaikan suasana. "Apa para pembina Pramuka tak salah ngajak dia?" Keraguan saya langsung timbul akan efek yang kemungkinan terjadi.

Anton Handoko dua minggu lalu nyaris terpukul pengapus papan tulis. Andai pak Nur sasarannya tak meleset, akibat perkataan dia yang terkesan clebungan* memotong cerita. "Bangunlah sebelum burung berkicau....." . "Burung emprit", kata Anton. Kontan penghapus papan melayang membidiknya. Untung saja nasibnya agak mujur. Hanya mengenai dinding yang behimpitan dengan meja bangkunya. Sedikit lebih beruntung dari nasibnya sebelum kejadian itu. Karena sempat membikin gaduh ketika jam pelajaran kosong bersama saya, Amid, serta Dwi Andi alias Poltak (penjual bensin eceran di toko kelontongnya). Kami bernyanyi bersama mendendangkan lagu Iwan Fals, berjudul Lonteku. Kontan seketika itu juga dari arah berlawanan pak Nur yang terasa terganggu ketika mengajar kelas satu. Memberondongkan kerikil ke arah kelas kami. Lalu dengan wajah beringas memanggil para pembuat gaduh, mennyuruh gerombolan itu. Tremasuk saya membuat konser paduan suara dadakan.Disaksikan semua yang ada. Di taman area letter U yang dikelilingi jajaran kelas. Ahhh, betapa malunya kami saat itu. Anton sama layaknya dengan Hartomo. Tukang buat ulah. Provokator ulung untuk kelas remaja seusia kami.

(*) Sebuah istilah dalam bahasa Jawa, yang artinya memotong pembicaraan orang lain. Biasa lewat ucapan kata-kata yang tak selayaknya (tak ada hubungannya) dengan apa yang dibahas / dibicarakan.

Mengetahui Hartomo ikut kemah. Anton dengan segenap punggawanya, Amid dan Poltak. Juga tak ketinggalan para drunken master lainnya. Mengunjungi bumi perkemahan tempat di mana sekolah kami menggelar acara bertajuk, kecintaan terhadap alam semesta. Ikut berpartisipasi meramaikan acara api unggunnya. Tentu dengan minuman keras. Hartomo of the Mbah Kung meleburkan diri dalam komunitas pendekar mabuk. Tanpa menyadari bahwa dia telah menyulut api masalah, dalam kemeriahan malam api unggun. Bumi perkemahan Kresek menjadi saksi atas ingar bingar pesta anak muda. Pesta sekelompok anak manusia yang ikut andil dalam pencarian sebuah arti kata eksistensi diri. Tapi tanpa menyadari api masalah menunggu di depan mereka.

...........................

Pak Mawan di senin siang datang ke kelas kami. Menunggu di luar para drunken master yang ikut acara malam api unggun malam minggu lusa lalu. Maksud kedatangan pengajar Bahasa Indonesia itu hendak memanggil personil drunken master kelas kami. Tentu yang juga ikut di malam minggu lusa. Tanpa banyak hambatan semua akhirnya terkumpul lengkap sudah. Hartomo, Anton, Amid, dan Poltak juga sudah siap pula untuk menerima nasib hari ini.

Disaksikan oleh ratusan pasang mata, mereka berolahraga siang. Push up 50 kali. Tapi jangan salah walaupun pak Mawan berlaku sebagai pemberi sanksi namun ternyata beliau juga ikut berolahraga. Juga melakukan push up. Alasannya mendasar sih, pak Mawan cuma ingin menunjukkan pada semuanya. "Bahwa akan lebih baik memberi contoh dalam hal apapun melalui tindakan. Bukan cuma perkataan dan teori. Akan lebih bisa diterima bagi yang diberi contoh. Termasuk memberikan hukuman bagi si pelanggar aturan. Maka yang bertindak memberikan hukuman juga harus turut serta memberikan contoh. Percuma bikin teori bertele-tele bila tak tepat sasaran. Sekarang bagi kaum muda yang terpenting adalah praktek bukan teori". Begitu kata beliau ketika berkesempatan mengajar di kelas kami.

Dari semua pasang mata yang menjadi saksi atas peristiwa tersebut tidak ada yang berkomentar. Kecuali, Rika Gope'. Salah satu teman terbaik kami juga. Gemar lagu-lagu dangdut, disaat senggang terkadang dia juga menghibur kami dengan suaranya. Merdu juga. "Kapokmu kapan we Mbah Kung, sesok dibaleni neh ya?" Mbah Kung cuma cengar-cengir saja meladeni sindiran itu, sebab bagaimanapun juga si Gope' tetap teman yang selalu menghibur kami.

Oh iya hampir gue, eh sorry bukan gue tapi saya. Pengen bilang ke Rika Gope', "sekarang aku lagi seneng dengerin Dangdut Koplo, sumpah asik dan enak menikmati musik tersebut". Cerita tentang SMA kita juga bisa kamu baca disini lho....!

.........................................

Terima kasih kawan teman baikku.

Kau membuatku senang, membuat ceria. Sahabat paling sejati selalu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun