Bercita-cita masuk kelas IPA namun gagal. Bukan karena nilai ilmu pasti, fisika, kimia, dan biologinya tak memenuhi syarat untuk masuk kelas tegangan tinggi tersebut. Sebuah dunia yang sebetulnya tidak dia ingini dan gemari. Ilmu yang sebenarnya ingin dia perdalam adalah bidang IPA dan matematika. Tapi apalah daya. Keputusan tertinggi ada di tangan pak Joko yang selalu ingin membuat citra kelas IPA tetap terjaga nama baiknya. Hartomo tipe pemberontak, seinrkali melakukan provokasi terhadap teman-teman guna merombak aturan sekolah yang menurut dia tidak relevan buat semuanya. Itu pun berdasarkan cara pikir dia yang masih menunjukkan sifat dominan anak muda. Memutuskan secara sepihak atas dasar pemikiran dia.
Suatu ketika pernah dia memboikot pihak sekolah dengan demo. Aksi bolos dengan mengajak teman-teman satu kelas. Sebab musabab nya dia tak puas dengan sanksi buat murid yang terlambat datang. Karena pada waktu itu hampir tiap hari senin Hartomo sering terlambat ikut upacara. Alasannya klasik sih, namun juga masuk akal. Rumahnya Ngawi, berangkat ke sekolah naik bis lalu oper angkutan umum saat di terminal. Belum dari rumahnya Ngawi sana. Dia juga harus menunggu angkot yang akan membawanya ke terminal dulu sebelum pada akhirnya meluncur ke Madiun. Sebenarnya juga dia cuma terlambat di hari senin. Untuk hari-hari yang lain dia selalu ontime.
Tinggal di sebuah kamar kost'an kecil dari sekolah kami ke arah barat. Hanya dengan berjalan kaki maka sampailah ke tempat menimba ilmu. Dia juga golongan anak yang serius menghadapi pelajaran. Tapi di balik itu semua tetap saja darah pemberontaknya tak bisa tertutupi oleh kerajinan dia. Dari sebab itulah dia menjadi leader saat demonstrasi yang tanpa ada kreasi. Bahkan terkesan basi di mata guru-guru. Tapi apalah mau dikata. Jiwa dan pikirannya sudah terkontaminasi dengan perihal pemberontakkan. Apapun yang menurut dia tak cocok harus dirombak. Walaupun akibatnya harus dia tanggung sendiri. Seperti ketidak setujuan pak Joko memasukkannya di kelas IPA.
Kasihan Bu Rahima juga, walikelas kami. Saat di kelas 1 C, sekaligus guru kimia. Akrab dipanggil bu Ima. Harus menangis dulu agar Hartomo menurut apa kata beliau. Bukan sebab dia tak pernah kerjakan tugas kimia. Melainkan soal penampilan yang selayaknya pelajar di Indoneia pada umumnya. Khususnya yang taat. Hartomo termasuk golongan manusia yang sak karepe dewe, "ya bu besok saya potong rambut saya", tapi itu cuma pemanis bibirnya. Tak ada bukti. Besoknya masih tetap sama gondrong hampir sebahu. "Awas besok gak potong!", ancam bu Ima padanya. Memang kesokan harinya dia memotong rambut. Tapi bukan malah tambah pantes saja penampilannya. Kali ini anting bergelantungan di kupingnya. Diingatkan seketika itu juga, memang akhirnya ia lepas. Namun lusa siapa bisa menerka kalau hiasan asesoris pindah ke hidung. Ahh, dasar manusia tak bisa diatur. "Jiwa seni kebablasan", sindir bu Ima singkat saja pada nya.
Sindiran itu memang terbukti lumayan ampuh untuk meredam penerapan hidup dalam konteks seni dalam pemikiran Hartomo. Ini masih dalam tahap lumayan meredam lho, bukan dalam artian mutlak membuat si pembangkang jera tak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya lagi. Hari pun berganti belum genap seminggu berlalu sindiran bermaksud membangun mental dan pemikiran Hartomo ke arah yang lebih baik. Dari bu Ima, tiba-tiba saja bak buaian angin yang begitu saja berhembus. Tanpa meninggalkan jejak nerupa bentuk. Kata-kata bu Ima bak sesuatu yang tak pernah ada. Kini ganti rambutnya kembali terkena efek pemikiran arti kata pengeksplorasian jiwa seni. Setelah sempat menjadi perbincangan di ruangan guru mengenai perubahan diri yang semula susah dibina menjadi lumayan baik. Ahhh kini kembali ke wujud dan tabiat aslinya. Rambut dari warna khas Indonesia menjadi warna pirang gaya Amrik. Kini habis sudah kesabaran bu Ima. Ketelatenan membimbing dan mengajarkan serta mendidik seorang anak manusia berubah jadi emosi. mending kalau ledakan emosi itu tersalurkan dengan secara tegar memaki si pelanggar, dalam hal ini Hartomo. Ini dia tumpahkan lewat isak tangis. Karena merasa gagal mendidik dan mengajarkan arti sebuah ketaatan akan peraturan pada Hartomo. Bu Ima terlalu sayang dengan semua anak didiknya. Hingga tak tau harus bagaimana lagi mewujudkannya. Hal itu dia buktikan dengan tangisan, suatu pesan moral tersirat di dalamnya. Tanpa harus memaki dan berkata kasar. Cukup dengan perasaan dan segenap hati dia menyampaikan pesan-pesan moral itu. Tangisan itu sebuah gambaran betapa pedulinya seorang guru pada muridnya agar menjadi manusia terdidik yang unggul dalam ilmu dan moral yang baik serta unggul.
Hartomo akhirnya menyerah. Dengan segala keikhlasan dia rela memperbaiki penampilan selayaknya seorang pelajar yang baik dan sadar akan peraturan.
Masih tentang Hartomo. Dia pertama kali kost bersama DIdi anak Indramayu. Setali tiga uang. Sejurus dalam pemikiran dan idealis tentang kehidupan anak muda. Mereka berdua sama-sama menginginkan kebebasan. Tanpa ada yang mengatur jalan hidup mereka. Dalam hal ini Hartomo lebih unggul dalam belajar. Didi. Dari Indramayu datang ke Madiun untuk menimba ilmu. Penggemar klub Inter Milan. Tertarik dengan cewe bernama Meffida, rumahnya dulu depan pasar besar. Sekarang rumah itu telah tergusur. Sejak tujuh tahun yang lalu memang terjadi persengketaan atas tanah wilayah tersebut. Banyak yang pergi dari kampung tersebut, lantaran kalah dalam hal hak kepemilikan tanah yang sah. Entah disebabkan karena memang begitu adanya. Atau karena sebab uang bisa menyulap segala yang tak semestinya terjadi bakal jadi kenyataan. Kebenaran mungkin mudah sekali terbeli di negeri ini. Kalau memang benar itu keadaannya. "Oh, betapa kasihannya negeri ku ini", gumamku.
Meffida memang mempunyai tipikal wajah yang ayu. Hidungnya mungil sedikit mancung. Bak buah stroberi yang baru dipanen, menyisakan tetesan embun pegunungan. Bibirnya berwarna merah segar. Tak urung membuat Didi kesengsem. Tinggi badan Meffida memang tidak tinggi semampai. Mungkin dari sebab itulah dia terkesan seperti peri kecil dalam tidur si Didi. Perkenalan dengan gadis itu juga lewat perantara Hartomo teman satu kost nya. Kebetulan ada saudara hartomo yang tinggal sekampung dengan Meffida. Ahh tapi entah sampai dimana ujung kisah mereka berdua. Jelasnya Didi malah akhirnya membantu Rio setahun kemudian untuk menggebet si peri kecil Meffida.
Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).
Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.
Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.