Hadehhh, masalah satu ini akhirnya berlalu begitu saja tanpa ada kesan memojokkan si pelanggar. Tak ada sanksi. Hartomo tetap enjoy dalam belajar. Seolah tak ada masalah yang menindihnya. Apalagi selang beberapa bulan ada siswi baru asal Jakarta. Yang akhirnya jadi cewe dia. Marlina. Berhasil dia luluhkan hatinya. Secara otomatis semua masalahnya, seperti bebean kapas dan tak terasa olehnya.
Dalam pergaulan Hartomo tak membatasi diri. Terbukti teman sekampung saya jadi akrab dengannya. Joker dan Tomi sempat berkunjung ke rumah Hartomo. Bersama saya dan fery. Khusus yang bernama Joker ada kenangan menggelikan. Kesalahpahaman pihak sekolah kami dan dia berbuntut penyerangan. Dia, Joker awalnya berlagak seperti Iskandar Agung yang gagah berani memimpin rekan-rekannya melakukan penyerbuan ke pihak kami. Tiba-tiba saja berbalik haluan dan menyingkir jauh dari medan pertempuran. Indikasi penyebab mundurnya dia karena melihat Hartomo ketika memasuki gerbang sekolah kami.
Joker tak ingin merusak persahabatn.
Awal pertemanan Joker dan Mbah Kung seperti pada umumnya anak-anak remaja. Joker satu RT dengan Fery, anggota Spidol Band yang pertama. Kami sering nongkrong bareng di rumah Fery. Dari Fery pula saya belajar main gitar. Hartomo serta Didi merasa nyaman ketika ikut nongkrong bareng bersama kami. Disitulah jaringan pertemanan berkembang dan tambah luas.
Bahkan tambah akrab tatkala Joker kehilangan uang SPP di suatu malam. Karena tak bisa bantu apa-apa maka saya dan Hartomo mengajaknya ngamen bareng di kota Ngawi. Guna mencari jalan keluar atas masalah yang membelitnya. Soal makan dan tidur tak ada masalah, keluarga Hartomo siap menampung kami. Kebetulan saat itu libur tiga hari. Joker kagum kagum pada rumah Hartomo.
Dindingnya kayu jati, ruangan untuk tamu yang luas. Kamar tersedia banyak. Suasana adem. Pada lantai terlapis batu kali yang permukaannya didesain menjadi bidang datar. Mengilap pula saking rajin penghuninya mengepel. Ornamen dan hiasan dinding kuno tertata apik, terpajang dan menambah kesan klasik nan artistik pada rumah joglo itu. Lampu kuno tergantung. Hampir semua hiasan di rumah termasuk vas bunga berbahan logam kuningan peninggalan leluhur si empunya rumah. Halaman depan udaranya sejuk karena berdiri sebuah pohon dengan gagahnya. Rimbun dedaunannya menjadi payung bagi yang berteduh di bawah pohon itu. Menikmati sore dengan segelas kopi, mengobrol pada bagian balkon. jadi ritual yang mengasyikkan ketika singgah di rumah Hartomo. Disambut keramahan Ibu dan saudara-saudaranya. Apalagi pas lebaran ketika sanak saudara nya dari Ambon berkunjung ke situ.
........................
"Bumi perkemahan Kresek menjadi ajang perayaan kaum muda"
My Mom, juga sering menanyakan tentang keberadaannya. Sifatnya yang tak pernah ibu saya lupakan. Ketika ke rumah saya tanpa harus ditawari. Kalau perutnya sudah lapar dia minta makan. Dari sifat keterbukaan dan terus terang itulah ibu saya kagum akan sikapnya. Bahkan ketika hartomo hendak meminjam tape compo di rumah saya. Buat hiburan saat acara kemah. Tanpa banyak pertanyaan, tahu Hartomo yang akan pinjam langsung dikasih ijin. Ketika itu dia, diajak panitia kemah untuk ikut serta meramaikan suasana. "Apa para pembina Pramuka tak salah ngajak dia?" Keraguan saya langsung timbul akan efek yang kemungkinan terjadi.
Anton Handoko dua minggu lalu nyaris terpukul pengapus papan tulis. Andai pak Nur sasarannya tak meleset, akibat perkataan dia yang terkesan clebungan* memotong cerita. "Bangunlah sebelum burung berkicau....." . "Burung emprit", kata Anton. Kontan penghapus papan melayang membidiknya. Untung saja nasibnya agak mujur. Hanya mengenai dinding yang behimpitan dengan meja bangkunya. Sedikit lebih beruntung dari nasibnya sebelum kejadian itu. Karena sempat membikin gaduh ketika jam pelajaran kosong bersama saya, Amid, serta Dwi Andi alias Poltak (penjual bensin eceran di toko kelontongnya). Kami bernyanyi bersama mendendangkan lagu Iwan Fals, berjudul Lonteku. Kontan seketika itu juga dari arah berlawanan pak Nur yang terasa terganggu ketika mengajar kelas satu. Memberondongkan kerikil ke arah kelas kami. Lalu dengan wajah beringas memanggil para pembuat gaduh, mennyuruh gerombolan itu. Tremasuk saya membuat konser paduan suara dadakan.Disaksikan semua yang ada. Di taman area letter U yang dikelilingi jajaran kelas. Ahhh, betapa malunya kami saat itu. Anton sama layaknya dengan Hartomo. Tukang buat ulah. Provokator ulung untuk kelas remaja seusia kami.
(*) Sebuah istilah dalam bahasa Jawa, yang artinya memotong pembicaraan orang lain. Biasa lewat ucapan kata-kata yang tak selayaknya (tak ada hubungannya) dengan apa yang dibahas / dibicarakan.