Mohon tunggu...
Bayu Gustomo
Bayu Gustomo Mohon Tunggu... -

Musik, Bola, dan rileks

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Tak Ada Matinya"

28 Februari 2012   14:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).

Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.

Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.

Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.

"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".

Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....

..................

Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.

Ingat sebuah cerita, dimana seorang guru bernama ibu Muslimah. Dalam film nya diperankan oleh Cut Mini. Begitu lihainya membakar semangat semangat anak-anak SD Muhamadiyah. Ketika kejenuhan yang teramat sangat mendera. Bangunan sekolah nyaris ambruk jika tak ditopang kayu penyangga tambahan. Namun dalam hal ini Cut Mini, eh sorry Ibu Muslimah mampu mengatasi keadaan dengan cerita nya. Kisah tentang Bung Karno yang mampu menulis buku Indonesia Menggugat ketika presiden pertama negeri ini dijebloskan dalam penjara. Sel yang sempit di kota Bandung. Oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sel yang sempit dan bau serta penuh penderitaan tak membuat semangat sang Ploklamator redup. Semangat untuk terus berjuang guna kemerdekaan yang harus terengkuh. Cerita inspiratif mampu membakar semangat anak-anak Laskar Pelangi.

Pak Nur tak beda jauh dengan adegan tersebut. Cuma dalam konteks, kisah itu masih kalah heroik nya dengan cerita yang ditulis Andre Hirata. Namun juga tak apalah jika saya sedikit agak kepedean menyandingkan kisah itu dengan karya sang Maestro Andrea Hirata toh esensi nya juga gak beda jauh. Mengobarkan semangat.

Atas cerita tersebut Hartomo terlecut untuk berbuat sesuatu. Mumpung masih bulan Oktober. Sumpah Pemuda tinggal menunggu waktu. Gayung bersambut, ternyata Osis juga merencanakan acara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun